“ ….berilah orang bijak nasihat, maka ia akan menjadi lebih bijak,
ajarilah orang benar, maka pengetahuannya akan bertambah.” (Amsal 9:9)
Sobat-sobat DUTA WACANA sekalian….Salam SORBUM! Tanpa terasa kita sudah akan memasuki bulan terakhir di tahun ini. Di bulan November ini kami ingin mengajak Anda sekalian untuk berefleksi bersama tentang profesi seorang guru. Memang sudah lazim kalau di bulan November biasanya tema refleksi kita adalah hari Pahlawan yang jatuh tiap tanggal 10 November. Namun jangan lupakan bahwa tiap tanggal 25 November kita juga memiliki satu hari peringatan yang tidak kalah pentingnya yaitu Hari Guru. Guru seringkali kita sebut sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Mungkin tidak salah jika kali ini kita ingin melihat lebih dekat potret para guru. Pertanyaan utama yang menuntun refleksi kita di rubrik ini adalah ‘siapakah guru itu? Seorang pengajar atau seorang pendidik?’
Sobat UKDW yang terkasih, beberapa waktu yang lalu kita dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh polah tingkah seorang Ibu dari Sulawesi Utara yang bernama Ibu Nurlella Jusuf atau yang lebih dikenal di dunia maya sebagai Tante Lala. Tante Lala dengan susah payah dan penuh ekspresi kocak mencoba mengajar anak laki-lakinya yang bernama Rafa untuk menghafalkan kelima sila Pancasila. Jangankan semua sila Pancasila, Rafa yang adalah putra dari Tante Lala belum mampu dan tidak tuntas menghafalkan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Kita juga dibuat gemas oleh tingkah polah Rafa yang juga dengan sangat polos mencoba sekuat tenaga untuk berusaha melafalkan kembali tiap kata dari sila pertama yang tak kunjung dia bisa hafalkan. Otot leher Tante Lala yang tampak menggembung menahan amarah, sayang, dan sejuta perasaan lainnya berbanding sejajar dengan volume suaranya yang semakin lama semakin tinggi. Belum lagi ditambah dengan ekspresi bibir Tante Lala ketika dia mendorong Rafa untuk kesekian kalinya mengulangi lagi membaca sila pertama Pancasila. Video Tante Lala mendadak viral dan akun IG beliau mendadak juga bertambah ratusan followers hingga muncul video-video di YouTube yang mengulas detik demi detik dari video Tante Lala serta memberikan tanggapan dan apresiasi mereka.
Sebenarnya apa yang sedang kita saksikan dari video Tante Lala ini. Viralnya video Tante Lala ini seakan-akan membukakan cakrawala pemikiran kita bahwa masa pandemi ini telah membawa banyak pergeseran dalam kehidupan tiap-tiap keluarga Indonesia. Pergeseran peran seorang guru yang semula mengajar di hadapan para muridnya di sebuah kelas lalu, oleh karena pandemi COVID-19, peran tersebut dialihkan kepada para orang tua/wali murid di rumah mereka masing-masing. Tanpa memiliki persiapan apapun, masing-masing orang tua kemudian harus melakukan banyak manuver agar tuntutan pembelajaran dari putra-putri mereka bisa tercapai saat putra putri mereka belajar secara daring dari rumah masing-masing. Tante Lala juga sempat mengeluhkan sistem belajar online dan mempertanyakan kapan kegiatan sekolah akan berjalan kembali. Video aksi kocak Tante Lala ini diunggah oleh akun facebook Irvan Basri dan telah dibagikan sebanyak 3.600 kali serta 180.000 kali tayang. Sampai hari ini video YouTube Tante Lala ini sudah dilihat lebih dari 600.000 kali.
Tante Lala tidak luput tersorot sebagai salah seorang dari jutaan orang tua murid yang harus mendampingi putra-putrinya yang berusia sekolah untuk belajar secara daring dari rumah mereka masing-masing. Tidak sedikit orang tua mengalami kelelahan fisik dan mental ketika harus memberi ekstra perhatian dan bimbingan kepada anak-anak mereka yang sedang belajar di rumah. Beban kerja yang sudah berat di tempat kerja masing-masing, masih ditambah dengan beban harus mendampingi anak belajar dan mengerjakan PR hingga larut malam. Belum lagi tugas-tugas sebagai ibu rumah tangga yang tidak kunjung selesai datang silih berganti. Tante Lala adalah gambaran dari jutaan ibu yang tidak mau menyerah kalah dengan keadaan dan mau berusaha sekeras mungkin agar putra-putri mereka lancar dalam belajar dan mampu membanggakan orang tua dengan hasil belajar mereka. Dalam hal ini, Ibu Lala tidak hanya menjadi seorang pengajar tapi juga sebagai pendidik. Karena antara dia dan anaknya ada semacam chemistry antara ibu dan anak yang tidak bisa dipungkiri hadir saat keduanya saling beradu suara.
Lain dengan cerita Tante Lala, kita juga membaca kisah yang kurang populer lainnya, yaitu kisah seorang guru di daerah Toba Samosir yang sejak awal masa pandemi telah memilih metode lain dalam mengajarkan pelajaran kepada anak didik mereka. Salah satu dari mereka bernama Morinta Purba. Hal ini dia lakukan karena melihat kekurangan yang dimiliki oleh sebagian besar anak didiknya yang belum mempunyai alat pendukung pembelajaran daring seperti smartphone, laptop, tablet, dll. Di daerah pedesaan di mana banyak anak didiknya tinggal, belum banyak yang memiliki ponsel-ponsel canggih. Jangankan ponsel canggih, untuk membeli makanan sehari-hari saja banyak dari orang tua para anak didiknya yang harus lebih dulu bekerja keras. Memahami situasi mereka, tergeraklah hati Morinta Purba untuk memakai metode ‘jemput bola’. Morinta mendatangi satu demi satu anak-anak didiknya di rumah mereka masing-masing guna memberikan materi pelajaran, tugas/pekerjaan rumah, dan mengumpulkan tugas-tugas yang sudah dikerjakan anak-anak didiknya. Sesampai di rumah dia harus membaca setiap PR yang terkumpul, memberi nilai dan esoknya dia harus kembali melakukan rutinitas seperti itu.
Luar biasa berat memang yang dialami oleh, baik Tante Lala dan guru Morinta Purba. Keduanya mewakili sosok-sosok pejuang di belakang layar yang dengan penuh kerja keras berusaha mengutamakan putra-putri dan anak didik mereka sehingga setiap anak mendapatkan porsi belajar yang kurang lebih seimbang. Biar bagaimanapun keduanya juga berusaha untuk menjadi pendidik dan pengajar. Namun sebelum kita melangkah lebih jauh, apa itu makna menjadi seorang pendidik dan seorang pengajar?
Kami ingin menjelaskan perbedaan keduanya melalui sebuah contoh pengalaman pribadi kami sendiri dalam mendampingi seorang mahasiswa yang kebetulan mengalami permasalahan dalam perkuliahan yang kami ampu di UKDW. Mahasiswa ini ternyata tidak mengikuti UTS dan tidak hadir saat kelompoknya menyampaikan salah satu topik perkuliahan. Sebagai pengajar yang dituntut untuk mengikuti aturan universitas yang berlaku maka dengan mudah kami bisa saja ‘menutup mata’ dan bersikap seakan-akan dia dan permasalahannya bukanlah tanggung jawab kami. Bisa saja kami bersikap acuh, karena yang memiliki kepentingan sebenarnya adalah mahasiswa dan bukan kami yang menjadi dosen. Namun di lubuk hati kami yang terdalam ada rasa tidak enak muncul ketika kami mencium ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan justru ini yang lebih penting. Naluri sebagai dosen mengusik kami untuk bertanya kembali ke mahasiswa tersebut tentang alasan yang sebenarnya. Karena dia ternyata ada di Yogyakarta maka kami mengundangnya untuk datang ke kampus dan bertatap muka dengan kami sambil tetap menerapkan protokol kesehatan yang wajib ditaati dengan tegas.
Ketika datang ke kampus dan setelah sejenak berbincang-bincang dengannya ternyata kami mendapati bahwa mahasiswa ini memiliki trauma masa kecil yang cukup berat untuk dia lupakan begitu saja. Selain faktor pengalaman pernah di bully saat dia di SD-SMA, mahasiswa tersebut juga mengungkapkan bagaimana dalamnya perasaan kehilangan yang dialami ketika sahabat terbaiknya wafat terlalu cepat karena menjadi korban penyalahgunaan minuman keras. Dua hal ini yang ternyata membuat prestasi belajar mahasiswa ini terjun bebas. Dia perlu ditolong, dan yang bisa menolong tidak lain adalah kami sendiri yang pertama harus mengulurkan tangan kepadanya. Gayung bersambut, uluran tangan kami disambutnya dan dia sekarang sudah mulai kembali ke ritme belajar yang lebih teratur. Kami ajak mahasiswa tersebut melihat bagaimana dia menempatkan dirinya di antara kedua narasi masa lalu yang saat ini sedang menghimpitnya. Setelah itu, dia kami ajak untuk merangkul dan menerima situasi buruk yang memang sedang dialami saat ini. Dia juga kami arahkan untuk melihat potensi-potensi jalan keluar yang ada di hadapannya. Selanjutnya kami juga beri dia dorongan untuk berani mengambil sikap dan komitmen untuk melakukan perubahan. Pilihan memang dengan jelas kami tekankan ada di tangannya sendiri. Jadi jika dia mau berubah maka dia harus mengambil keputusan dan berani bersikap. Jika dia tidak mau berubah maka dia juga kami beri pemahaman akan konsekuensi-konsekuensi logis yang akan mengikuti keputusannya tersebut. Puji Tuhan, akhirnya mahasiswa ini mengambil langkah untuk mau berubah dan kepadanya kami berikan satu kesempatan lagi untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya yang masih kurang. Di posisi kami seperti itu, kami harus menempatkan diri kami bukan sebagai pengajar namun sebagai pendidik.
Dari pengalaman di atas maka menjadi pengajar bermakna memenuhi kewajiban akademis dan menyelesaikan segenap tuntutan silabus secara detail dan rinci tanpa ada cacat satupun. Secara legalistis, ini berarti kami harus mengikuti Rencana Pengajaran Semester secara dingin tanpa ada kompromi atau rasa apapun. Hal ini tentu saja kami lakukan juga. Namun dalam kasus-kasus tertentu, kami memilih untuk dengan sadar menambahkan satu variabel yang tidak bisa kita hilangkan begitu saja. Bukan perhitungan matematis pembelajaran di kelas, tetapi variabel hati nurani. Di titik inilah, menurut hemat kami, yang menjadi titik pembeda antara seorang pengajar dan pendidik. Seorang pengajar memberikan materi pelajaran dengan sebaik-baiknya, sedangkan seorang pendidik menularkan unsur-unsur karakter baik dan positif kepada mahasiswanya.
Kami mendasarkan pendekatan tersebut pada pemahaman kami bahwa saat kita memberikan seporsi kepercayaan kepada mahasiswa maka kita sebenarnya sedang memantik api inspirasi dan harapan baru dalam diri anak didik kita sekalian. Mungkin inspirasi dari Kitab Amsal di atas“ ….berilah orang bijak nasihat, maka ia akan menjadi lebih bijak, ajarilah orang benar, maka pengetahuannya akan bertambah.” (Amsal 9:9) bisa kita jadikan dorongan bagi kita sekalian yang bekerja sebagai dosen maupun sebagai PPA yang menjadi orang tua dari putra-putri anda sekalian yang masih berusia sekolah. Kami memahami cuplikan Kitab Amsal di atas sebagai dorongan bagi kami untuk tidak hanya puas menjadi seorang pengajar namun juga membaktikan waktu dan perhatian kami demi pengembangan karakter dan budi baik dari para mahasiswa yang UKDW telah percayakan kepada kami.
Semoga di hari guru di tahun Corona ini, tiap-tiap pengajar di seluruh pelosok NKRI mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan sebagai seorang pengajar dan sekaligus sebagai pendidik. Semoga di tahun pandemi ini para guru/dosen/pengajar/pendidik akan menemukan momentum kebangkitannya. Tuhan memberkati kita sekalian! SORBUM! (PKK/A.K. Satria)