“Opportunities don’t happen, you create them”
Kecintaan pada dunia fesyen sejak kecil membawa Evi Natalia L atau akrab disapa Evi, Alumnus Program Studi (Prodi) Desain Produk Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta angkatan 2011 ini berhasil menyulap kain perca jadi fesyen berkelas dengan merek “Tailor Moon”. Karya Evi, pada bulan September lalu baru saja menjadi salah satu brand fesyen yang berkesempatan tampil di gelaran Jakarta Fashion and Food Festival (JF3) Fashion Festival di Jakarta. Pencapaian ini berhasil Evi peroleh setelah melewati tiga kali kurasi, dari 14 besar (7 creative mind & 7 creative founder), 7 besar (2 creative mind & 5 creative founder), hingga akhirnya Tailormoon berhasil menjadi 3 besar dalam ajang ini (Tailor Moon – creative mind dan 2 creative founder).
Capaiannya dalam ajang bergengsi JF3 berangkat dari kecintaan Evi terhadap dunia fesyen yang tumbuh karena berbagai cerita, salah satunya adalah kenangan masa kecil bersama ayahanda Alm. Ambrosius Joko Darminto yang dulu sering membuatkan pakaian yang nyaman untuk putrinya, “Beliau seperti pesulap bagi saya saat itu,” kata Evi. Tak hanya mengubah kain menjadi pakaian, almarhum juga suka mengumpulkan potongan kecil kain sisa produksi (kain perca) dari teman-temannya yang memiliki konveksi, dan menyulapnya menjadi selimut-selimut yang menghangatkan pemakainya.
Rupanya, keterampilan sang Ayah juga diikuti oleh Evi. Walaupun saat itu ia tidak mau menjadi seperti ayahnya, namun diam-diam, ia suka mengambil kain sisa milik sang ayah, kemudian ia buat menjadi bandana, cincin, dan aksesoris lain untuk ia pakai ke sekolah. Keterampilan inilah yang membawa Evi memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di jurusan Desain Produk di UKDW Yogyakarta. Keputusan Evi untuk menjadi mahasiswa jurusan Desain Produk UKDW membuat Evi mampu menemukan personal heritage-nya. “Mata kuliah eco-design yang diampu oleh Pak Eko (Ir. Eko Agus Prawoto, M.Arch., IAI) dan Alm. Ibu Pipit (Puspitasari), melatih kami untuk dapat menjadi desainer yang sadar sekitar. Melihat lagi ke diri sendiri, apa yang kita produksi dan apa yang kita buang, menghitung lagi sampah yang kita hasilkan dan memikirkan harus diapakan”, ujar Evi. Pengetahuan dan didikan inilah yang sampai saat ini menjadi sebuah kebiasaan Evi sampai sekarang, selain mengumpulkan dan membersihkan sampah rumah tangga untuk disalurkan ke perusahaan pengolah sampah, ia juga terbiasa untuk mengumpulkan potongan-potongan kain sisa miliknya sendiri setelah berkarya.
Tidak begitu saja setelah lulus Evi langsung berkarir di dunia fesyen. Setelah lulus dari UKDW tahun 2016, Evi sempat melanjutkan pekerjaan freelance yang sebelumnya telah ia jalani 2014. Tahun 2017, Evi mulai menapakkan karirnya sebagai sebagai desainer buku anak di Kompas Gramedia Group Jakarta. Meski tidak bekerja di dunia fesyen, pekerjaannya menjadi desainer buku anak tidak membuat benih kecintaan Evi terhadap dunia fesyen berhenti bertumbuh. Sebaliknya, passion yang ia miliki semakin besar. Sehingga, tahun 2019, setiap hari Sabtu Evi meluangkan waktu di sela-sela pekerjaannya untuk belajar membuat baju secara profesional dengan mengambil short course kelas pattern making di Italian Fashion School Jakarta.
Barulah pada akhirnya tahun 2021, Evi memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya sebagai desainer buku anak karena ia ingin belajar berwirausaha dan meneruskan kecintaannya terhadap dunia fesyen. Setelah beberapa kali mencoba mencari keunikan dalam membuat baju, suatu hari Evi teringat lagi tentang kain-kain sisa yang sudah ia kumpulkan selama ini. Momen ini menjadi awal dari terbentuknya Tailor Moon. Berkat pengalaman kerja di dunia buku anak, Evi dapat menceritakan kisah sulap Tailor Moon dengan personifikasi berupa ilustrasi seorang perempuan yang suka menjahit. Sambil menyusun strategi bisnis, branding tersebut ia bawa untuk mencari bimbingan melalui inkubasi bisnis. Selain itu Tailor Moon juga mulai bergabung dengan komunitas yang concern-nya sama, yaitu mengolah limbah fashion, serta mulai menjalin kerjasama dengan teman-teman konveksi agar kain sisa produksinya bisa Tailor Moon olah menjadi baju-baju yang menarik untuk dijual.
Nama Tailor Moon untuk usaha yang Evi rintis dimaknai sebagai sebuah mantra yang menjawab banyak ketakutan. Ketakutan untuk dibatasi dengan spesifikasi produk tertentu, ketakutan untuk berujung “hanya” menjadi seorang penjahit. Evi berani bermimpi tinggi hingga ke bulan untuk menjadi pembuat baju. “Pieces of Magic” menjadi tagline Tailor Moon, untuk selalu mengusahakan memori penuh keajaiban, dengan menciptakan pakaian yang bukan sekedar nyaman, tetapi juga memberikan keajaiban dalam setiap proses dan hasilnya. Tailor Moon bukan hanya memposisikan dirinya sebagai penjahit, tapi juga sebagai desainer dan juga seniman yang memberikan nilai seni lebih terhadap produknya. Evi juga bukan hanya sekedar mendesain produk fesyen, tetapi juga mengkurasi sampai melukis menggunakan kain sisa produksi rekanan Tailor Moon atau yang dinamakan patchwork.
Berbagai prestasi dalam dunia fesyen juga sebelumnya telah diraih oleh Evi, tahun 2019 sebelum merintis Tailor Moon, ia telah menjuarai kompetisi pattern making di Italian Fashion School dengan tema Mini Dress Jackie O. Inspiration, dan menjadi Top 5 dalam kompetisi desain baju menggunakan tenun dan batik Baduy tahun 2021. Pada bulan September 2022, karya Tailor Moon yang dirintis Evi berhasil menjadi Top 3 dalam program PINTU Incubator, yang merupakan program kolaborasi antara LAKON Indonesia dan Kedutaan Besar Perancis melalui Institut Francais d’Indonesie (IFI).
Tentunya tidak berhenti sampai disitu saja, saat ini Evi mengaku sedang menyusun strategi bisnis untuk mengembangkan Tailor Moon miliknya. Setelah proaktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat membantu membuka kesempatan Tailor Moon untuk tumbuh dan berkenalan dengan mentor-mentor dan bisnis owner yang hebat, Evi sebagai creator Tailor Moon menjadi merasa harus belajar lagi. “Saya ingin memiliki kesempatan untuk belajar bisnis, dan yang paling penting belajar memperkaya skills saya dalam men-develop sisa kain produksi. Harapan ini tumbuh sangat besar, karena saya ingin bisa menampung lebih banyak kain sisa roduksi konveksi teman-teman yang ternyata selama ini berkarung-karung sisaan-nya selalu terbuang. Saya juga berharap bisa membuka lapangan pekerjaan, mengajarkan skills kepada karyawan saya nanti agar bisa bermimpi lebih tinggi juga”. Tentunya, usaha Evi untuk mewujudkan mimpinya dan pencapaian awal yang saat ini ia peroleh tak lepas dari dukungan berbagai pihak, mulai dari sang suami, komunitas, rekan, dan teman-teman barunya di bidang fesyen yang selalu saling support.
Terakhir, Evi mempercayai bahwa kesempatan atau peluang tidak terjadi begitu saja, tetapi kita harus ciptakan kesempatan tersebut. Sekaligus ini adalah pesan dari Evi untuk mahasiswa UKDW lainnya, “UKDW menjadi tumpuan pertamaku berlatih untuk berani keluar dari box, sampai tanpa sadar menjadi unstopable in a good way. Keluar dari “box pemalu” dengan mengikuti UKM teater, “box introvert” yang bisa dibuka dengan menjadi anggota himpunan mahasiswa, “box pasif” yang sekaligus terbuka ketika berperan aktif di dalam himpunan sehingga pelan-pelan bisa jadi orang yang punya kepekaan/inisiatif, dan lain sebagainya. Gunakan kesempatan yang ada di sekitar kita untuk mengembangkan diri, jadilah unstopable, maka kita bisa menemukan peluang-peluang baru yang berguna untuk masa depan kita,” ujarnya. [Nadia]