Bacaan: Kejadian 2:7
(…) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Salam SORBUM!
Warga UKDW yang terkasih, pengalaman seringkali dipandang sebagai guru kehidupan yang paling ampuh untuk kita bisa mengambil sikap dalam setiap tantangan kehidupan hari lepas hari. Baik itu pengalaman yang dibagikan orang lain kepada kita, maupun pengalaman kita sendiri yang kita renungkan sebagai pelajaran hidup. Di masa-masa merebaknya COVID-19 sejak tahun lalu dan berlanjut di tahun 2021 ini, kami bersyukur diberikan pengalaman hidup yang unik dari Yang Maha Kuasa. Kami terpapar COVID-19! Tanpa permisi, tanpa pemberitahuan sebelumnya ternyata tubuh kami, entah bagaimana caranya, telah dinyatakan positif terpapar COVID-19 berdasarkan hasil tes SWAB Antigen yang kami jalani di salah satu Rumah Sakit di Yogyakarta beberapa minggu yang lalu. Kami berpikir sebelumnya bahwa tidak mungkin kami akan terpapar COVID-19, tidak mungkin virus itu akan sampai di tubuh kami, atau tidak mungkin virus ini bisa masuk ke UKDW.
Ternyata kemustahilan itu tidak terbukti. Siapapun tanpa terkecuali dapat terpapar COVID-19. Bisa jadi karena kita tertular dari orang lain, bisa jadi saat perjalanan menggunakan kendaraan umum, bisa jadi tertular saat berbicara dengan teman sekantor tanpa menggunakan masker karena kita menganggap diri tidak sopan bicara dengan kolega sendiri sambil menutup mulut dan hidung dengan masker. Bisa jadi kita terpapar saat berbicara secara akrab dan penuh canda tawa dengan saudara kandung/saudara dekat kita yang lama tidak bersua kala kita libur Natal dan Tahun Baru yang lalu. Kita menganggap, mereka adalah saudara saya yang juga sehat seperti saya, sehingga tidak mungkin jika kami saling menularkan penyakit ini. Bisa jadi kita terpapar COVID-19 saat kita bertransaksi dengan seorang pedagang di pasar tradisional yang kita kunjungi tiap minggu sekali. Jelasnya, ada banyak kemungkinan tubuh kita bisa terpapar COVID-19 baik secara langsung maupun tidak langsung. Permasalahannya sekarang, masih banyak beredar baik di kalangan masyarakat pada umumnya dan di lingkungan kampus UKDW pada khususnya sebuah pandangan yang menganggap bahwa kondisi tubuh terpapar COVID-19 sebagai sebuah aib yang patut disembunyikan dari orang lain, dengan alasan agar tidak menimbulkan kepanikan yang tidak perlu.
Kami tertegun dan kaget ketika mengetahui pandangan semacam ini masih ada dan dibiarkan beredar secara luas. Menurut kami, kondisi tubuh yang terpapar COVID-19 bukanlah sebuah aib. Justru sebaliknya, keadaan tubuh seperti ini harus disampaikan dan dikomunikasikan secara informatif kepada pihak-pihak yang secara resmi telah ditunjuk oleh kampus untuk menanganinya (GUGUS TUGAS COVID-19 UKDW).
Salah satu hal yang tidak kalah penting adalah edukasi serta penyebaran informasi yang jelas dan terpercaya tentang perbedaan antara kondisi tubuh yang terpapar dan yang terinfeksi COVID-19. Tubuh yang terpapar COVID-19 biasanya disertai gejala-gejala awal yang ringan (demam tinggi, flu, pilek, mundurnya indra penciuman dan pengecap, kelelahan ringan) atau bisa juga tanpa gejala awal, misalnya kasus mereka yang dikelompokkan dalam kategori orang tanpa gejala (OTG). Mereka ini biasanya dianjurkan untuk segera melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing, perbanyak istirahat, makan makanan dengan gizi seimbang serta tidak lupa mengkonsumsi obat-obatan dan vitamin dari dokter. Sebaliknya, tubuh yang terinfeksi COVID-19 menunjukkan gejala-gejala yang cukup berat seperti sesak nafas, tubuh tidak bisa digerakkan, kelelahan yang berlebihan, dan lainnya. Jika hal ini terjadi maka orang tersebut harus segera dilarikan ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan darurat yang diperlukannya. Banyak orang masih rancu terhadap kedua hal ini dan menganggap keduanya sama saja. Tentu saja hal Ini tidak betul dan harus diluruskan oleh pihak-pihak pengambil keputusan yang ada di kampus UKDW ini.
Warga UKDW yang terkasih, peristiwa ini semua membawa kami ke sebuah perenungan bagaimana rapuhnya tubuh, hidup, dan pemikiran manusia itu. Sudah bukan hal baru memang, namun bagaimana kira-kira kita bisa memaknai secara baru kerapuhan dan keterbatasan diri kita ini ketika diperhadapkan dengan keabadian dan ketidakterbatasan Allah. Jika memang pada hakikatnya manusia itu rapuh dan tidak abadi maka itulah manusia yang sebenarnya. Kerapuhan manusia bukanlah sebuah aib yang harus ditutup-tutupi, disembunyikan, dan tabu untuk dibicarakan. Sudah seharusnya kerapuhan manusia itu direngkuh, diterima, dipeluk, dan dirayakan dalam sebuah kesederhanaan hati yang berpasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Perenungan kami kali ini ingin mengantarkan kita bersama ke dalam peringatan hari Rabu Abu sebagai pertanda awal kita memasuki masa pra-Paskah. Hari Rabu Abu merupakan salah satu peringatan keagamaan Kristiani dalam kalender Gerejawi kita. Tahun ini hari Rabu Abu jatuh pada tanggal 17 Februari 2021. Bagi umat Kristiani yang memperingatinya, hari Rabu Abu mengingatkannya kembali untuk melakukan laku pertobatan, baik secara pribadi maupun komunal, dan bertekun dalam doa.
Keunikan dari peringatan Rabu Abu ialah ketika para peserta ibadah menerima torehan abu di dahinya. Dalam sebuah liturgi Rabu Abu seorang Pendeta akan menerakan abu ke dahi umat sambil mengucapkan kalimat “Ingatlah, engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:19). Abu yang diterakan ke masing-masing dahi umat merupakan simbol pengingat kepada tiap umat akan kefanaan, kerapuhan, dan keberdosaannya. Sedangkan di sisi yang lain, abu yang diterakan ke dahi tiap umat tersebut merupakan undangan bagi tiap umat supaya mau terbuka dan menyambut anugerah keselamatan Allah yang diwujudnyatakan dalam pengampunan yang diberikan-Nya pada manusia.
Tahun ini, dikarenakan pandemi COVID-19 masih menggantung di langit-langit bumi Nusantara, maka tidak memungkinkan bagi kami untuk mengadakan peringatan hari Rabu Abu yang mengundang banyak orang di Kapel Atas UKDW seperti di tahun-tahun sebelumnya. Kontak fisik harus dihilangkan dan kerumunan harus dihindari, demikian protokol kesehatan yang harus kami taati. Kami di Pusat Kerohanian Kampus (PKK) masih terus mencari cara terbaik agar peringatan hari Rabu Abu tahun ini masih bisa dilaksanakan secara simbolis dan diikuti oleh semua warga UKDW tanpa harus berbondong-bondong datang ke Kapel Atas UKDW.
Segenap keterbatasan dalam hal peringatan hari Rabu ini semakin menambahkan gaung dari bacaan Alkitab kita saat ini: (…) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7). Cuplikan dari kisah penciptaan manusia ini kurang tepat jika dibaca lepas dari rangkaian kisah karya penciptaan yang dilakukan oleh Allah di bagian-bagian sebelumnya. Hal ini dikarenakan manusia tidak bisa dilepaskan dari ciptaan Allah lainnya, manusia pada hakikatnya adalah ciptaan dan hamba Allah dan Tuhan Allah menjadi Tuhan yang mereka sembah. Jika dilihat dari kacamata kisah penciptaan maka ayat di atas ingin menggarisbawahi “debu”, yang adalah benda mati, dan “nafas”, yang memberikan kehidupan. Debu yang fana dan nafas Ilahi yang menghidupkan ini merupakan bahan dasar utama yang membentuk hakikat kemanusiaan kita dari sejak masa penciptaan, saat ini dan hingga masa yang akan datang. Jika dilihat dari kacamata kebangkitan Kristus maka dua unsur ini, debu dan nafas, menemukan gaungnya kembali dalam peringatan Rabu Abu. Dalam peringatan Rabu Abu, materi/unsur bendawi dari debu kita temukan kembali dan akan diterakan di dahi kita masing-masing, sebagai pengingat akan kefanaan jasmani kemanusiaan kita. Sedangkan unsur nafas Ilahi yang menghidupkan kita temukan kembali dalam undangan yang Allah berikan kepada tiap umat untuk kembali bertobat dan mau menerima anugerah pengampunan dari Allah. Nafas Ilahi yang menghidupkan ini adalah pengampunan yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia tanpa kecuali.
Nafas Ilahi (baca: pengampunan Allah) ini menghidupkan dan memberikan makna baru bagi kefanaan, kerapuhan, dan keterbatasan manusia. Makna baru ini kita temukan kala kita mau juga menyadari bahwa tanpa anugerah pengampunan Allah kita hanyalah debu yang tanpa arti. Namun debu itu akan bermakna jika dijiwai oleh nafas Ilahi yang mendorongnya untuk memberikan pengampunan kepada manusia lainnya yang pernah membuatnya terluka dan jatuh.
Warga UKDW yang kami kasihi, akhir kata melalui perenungan singkat ini kami ingin mengundang Anda sekalian untuk mulai menelaah kembali segenap praduga dan prasangka yang kita miliki terhadap mereka yang secara klinis dinyatakan positif terpapar COVID-19. Ilmu pengetahuan kita sudah semakin maju dan sudah memiliki pemahaman yang lebih akurat akan segala sesuatu yang berkenaan dengan COVID-19. Waspada itu perlu, tetapi jangan sampai kepanikan menguasai akal sehat kita. Mereka yang terpapar COVID-19 tidak sedang menyandang aib dan apa yang sedang mereka alami bukanlah hal yang tabu sehingga tidak pantas untuk dibicarakan secara terbuka dan bertanggung-jawab. Semakin kita berani untuk membicarakannya secara terbuka, maka semakin kita ditantang untuk melihat perkembangan-perkembangan baru dalam dunia ilmu pengetahuan tentang COVID-19. Jangan hanya nyaman dalam zona nyaman Anda, jangan hanya diam meringkuk dalam tempurung keras pemikiran tradisional Anda. Mari kita saling belajar terbuka di masa pandemi ini tentang COVID-19. Mari kita cari bersama informasi-informasi terpercaya (bukan HOAX) yang bisa kita gunakan untuk membekali pemahaman kita akan COVID-19 secara lebih baik lagi.
Selamat menjalani masa-masa puasa, pertobatan melalui doa, memasrahkan diri pada Tuhan, serta masa-masa di mana kita menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib. Selamat berziarah. Tuhan memberkati kita sekalian.
Salam SORBUM!
(A.K. Satria_PKK_Februari 2021)