Bacaan: Kejadian 1:27-28
Manusia dan Kondisi Saat Ini
Manusia seringkali hanya terpaku pada pemenuhan kebutuhan di masa kini dan hanya bagi dirinya sendiri. Kita melihat bagaimana banyak orang mengambil dan menghabiskan sumber daya alam (SDA) demi keuntungan sesaat, alih-alih peka dan sadar akan kebutuhan sesama dan tanggung jawab pada generasi mendatang. Jika kita melihat kondisi alam sekarang dan berkaca ke belakang, kita juga akan melihat bagaimana kerusakan alam sekarang adalah akumulasi dari eksploitasi berlebihan para pendahulu kita.
Seringkali kita juga melihat dan memperhatikan bagaimana sikap abai orang-orang, terutama umat Kristen, lahir dari paham bahwa manusia lebih tinggi daripada alam. Pemahaman ini menyebabkan banyak orang merasa berhak untuk menyedot seluruh sumber daya alam tanpa mempedulikan pemulihan alam. Alam dianggap hanya objek pemenuhan yang tidak perlu dipedulikan kebutuhannya karena alam adalah anugerah Allah yang dapat dinikmati sepuasnya tanpa perlu kita bertanggung jawab atasnya. Namun, apakah benar demikian? Apakah benar tugas manusia di bumi yang diberikan Allah hanyalah mengeksploitasi alam?
Tugas dan Hakikat Manusia
Dari bacaan kita saat ini, kita bisa melihat pesan yang begitu jelas bahwa manusia adalah ciptaan yang unik. Pertama, kita diciptakan ketika segalanya telah dijadikan oleh Allah. Kedua, manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Ketiga, manusia tidak hanya sekedar dibentuk, namun diberi tugas dan wewenang atas bumi dan isinya.
Ketiga keunikan ini merupakan suatu penanda akan hakikat dan tanggung jawab manusia. Pertama, manusia sangat bergantung dan memerlukan alam yang dihadirkan Allah sebelum manusia itu sendiri. Tentu manusia akan menjadi sangat kesulitan dan menderita jika manusia diciptakan ketika alam masih kosong melompong dan belum siap mendukung kehidupan manusia. Lewat hal ini juga, manusia diingatkan untuk tidak berlaku semena-mena terhadap alam melainkan harus berlaku bijak dan mau menjaga keseimbangan alam.
Kemudian, adanya gambar dan rupa Allah dalam diri manusia berimplikasi dua hal. Pertama, manusia memiliki martabat yang perlu dijaga. Martabat ini hadir oleh karena dari diri manusia-lah ciptaan dapat melihat dan mengenal bagaimana rupa Allah. Kedua, manusia juga memiliki daya cipta layaknya Allah, meskipun dalam ukuran yang jauh lebih kecil. Daya inilah yang harus diolah demi menjaga martabat manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang mahakasih.
Terakhir, dan yang paling penting, manusia mendapat wewenang dan tugas untuk berkuasa serta “menaklukkan” bumi serta segala isinya. Namun, apa arti “menaklukkan” di sini? Banyak orang yang memahami bahwa menaklukkan di sini artinya hanya mengambil keuntungan dan kepentingan manusia tanpa memikirkan kepentingan ciptaan yang lebih “rendah”. Namun dalam buku Pengantar Ekologi Teologi, Gerrit Singgih memaparkan kepada kita kemungkinan untuk membaca kata “menaklukkan” (dari bahasa ibraninya rabasy) sebagai mengusahakan dan mengayomi, dan bukan sekadar menguasai dan mengeksploitasi. Bertolak dari pemahaman ini, wewenang yang Tuhan berikan kepada manusia dapat kita baca sebagai wewenang yang bersifat solider kepada sesama ciptaan.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana hubungan dengan alam menjadi satu aspek yang penting dan berhubungan erat dengan bagaimana manusia membangun hubungan dengan Tuhan. Ada perintah untuk tidak hanya mencari keuntungan satu pihak namun juga mengusahakan keberlanjutan bagi setiap makhluk dan membina relasi yang solider dengan alam. Karena hanya lewat inilah, gambar citra Allah dalam diri manusia dapat dirasakan, baik bagi sesama maupun bagi diri sendiri.
Ajakan untuk Menjaga Keseimbangan bagi Alam, Sesama, dan Diri Sendiri
Dalam Dies Natalis tahun ini, UKDW mengusung tema “Profitability (keuntungan), Solidarity (solidaritas), and Sustainability (Keberlanjutan)”. Ketiga hal ini terikat dalam sebuah keseimbangan unik dengan aspek-aspek kehidupan manusia. Tentu kita sudah ketahui bersama bahwa dalam pekerjaan dan usaha kita, kita membutuhkan keuntungan. Namun, jika kita hanya berfokus pada pencarian keuntungan, maka nantinya kita hanya menimbulkan kerusakan dan abai pada kepentingan semua pihak.
Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan dua aspek lain yaitu solidaritas dan keberlanjutan. Solidaritas ini artinya kita juga turut merasakan kehadiran sesama kita dan berempati pada apa yang mereka rasakan serta butuhkan. Solidaritas ini tidak hanya berlaku untuk sesama manusia, namun juga kepada alam sebagai sesama ciptaan. Kita merasakan kehadiran orang lain dan alam bukan semata hanya alat atau objek pemenuhan kebutuhan kita, namun sebagai individu dan subjek yang memiliki kebutuhannya sendiri. Hal ini tidak hanya menjadi kewajiban bagi kita, melainkan kebutuhan kita sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan topangan dan saling ketergantungan satu sama lain.
Aspek terakhir yang sama-sama penting adalah aspek keberlanjutan. Aspek ini mencakup bagaimana kita menjaga, melanjutkan, dan mengembangkan apa yang ada pada diri kita secara positif. Kita tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan di masa sekarang, namun juga menjaga dan mempersiapkannya untuk kebutuhan masa depan. Hal ini seringkali luput ketika orang hanya fokus pada pencarian keuntungan semata. Orang lupa bahwa masih ada hari esok yang memiliki kebutuhannya sendiri, dan ada generasi masa depan yang pada mereka kita berhutang. Berhubungan dengan aspek kedua, keberlanjutan ini juga mencakup bagaimana kita menjaga kelangsungan hidup sesama kita sebagai bentuk bela rasa dan solidaritas.
Penutup
Ketiga aspek ini perlu dijaga keseimbangannya dalam kehidupan kita sebagai gambar dan rupa Allah. Kita melihat bagaimana ketiga aspek ini penting dalam kehidupan kita dan sesama. Kita tidak bisa mengabaikan satu di bawah yang lain. Maka marilah dalam momentum Dies Natalis ini, kita mengingat tugas dan hakikat kita sebagai manusia dengan menjaga keseimbangan aspek profitability, solidarity, and sustainability dalam setiap kerja dan bakti kita. (Moshe-PKK)