Membaca Ulang Teks Kejadian 3 di Tengah Konteks Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Kini
Seorang wanita berani pernah berkata di jamannya : “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya.” (Penggalan Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901)
Perjuangan akan kehidupan yang lebih baik bagi tiap manusia sebagaimana diurai Kartini, apapun identitas gendernya, terus berlangsung sampai saat ini terutama dalam berjuang melawan cara berpikir perempuan sebagai sumber dosa di tengah kekerasan yang terjadi. “Saya merasa dituduh – dinyatakan bersalah sebelum saya terbukti tidak bersalah”, demikian pengakuan seorang korban perkosaan yang menjalani proses pengadilan yang disebabkan oleh eksplorasi laki-laki terhadap makna kejantanan lewat perkosaan. Gadis tersebut berusia dua belas tahun yang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar, baik secara finansial maupun psikologis, guna menuntut keadilan bagi dirinya. Gadis tersebut harus mengulangi seluruh kisah kekerasan seksual itu di hadapan publik dalam masa-masa persidangan pengadilan tinggi. Mengulangi kronologi kisah kekerasan tersebut tentu dibarengi dengan munculnya rasa malu berulang kali pula. Namun, guna membuktikkan tuduhan, pengadilan pada umumnya menganggap bahwa kata-kata si pengadu terhadap si tertuduh belum cukup untuk membuktikannya. Perempuan korban perkosaan justru dimintai keterangan dengan pengujian poligrafi (semacam alat menguji kebohongan) karena mereka dicurigai berbohong. Melalui contoh proses peradilan yang sedemikian rupa, perempuan diajarkan untuk bertanggungjawab atas sesuatu yang tidak menjadi tanggungjawab mereka. Perempuan diajarkan untuk melihat laki-laki secara alami telah memiliki agresivitas sedangkan perempuan adalah pihak yang perlu ekstra menjaga diri agar tidak terkena dampak buruk dari agresivitas laki-laki tersebut. Dalam budaya perkosaan seperti ini, perempuan dinyatakan sebagai pihak yang bersalah sebab tidak dapat menjaga dirinya. Dengan kata lain, terdapat pola pengajaran dimana perempuan terlibat dalam perilaku agresif laki-laki terhadap perempuan yang dilakukan secara terselubung. Hal ini dilakukan terhadap perempuan dalam rangka membangun citra diri perempuan sebagai pihak yang selalu bersalah. Sehingga kemudian akan lebih banyak didapati kaum perempuan yang lebih memusatkan keberadaannya dalam mencegah terjadinya perkosaan ketimbang perempuan yang menuntut pengadilan atas kekerasan yang mereka alami.
Secara khusus mari melihat testimoni dari kisah malu yang ditimbulkan dari kekerasan terhadap perempuan namun yang sekaligus menyebabkan rasa bersalah pada diri perempuan sendiri. Diane Langberg mencatat kisah korban kekerasan terhadap perempuan yang bertahan hidup: “ia dipersalahkan, ia dipermalukan. Orang-orang yang seharusnya memberikan pertolongan kepadanya malah justru meninggalkannya sendirian. Ia diminta untuk tidak membicarakan kejadian itu. Ia diminta untuk tidak merasa terganggu oleh peristiwa itu”; “kalau saya tidak keluar pada malam itu, hal itu tidak akan terjadi. Ketika itu orang tua saya menyuruh saya tinggal di rumah. Saya tidak mendengarkan. Semua itu kesalahan saya”; “Ah itu karena perempuan berpakaian terbuka sehingga mengundang perhatian laki-laki dan perilaku kekerasan”. Kisah-kisah ini menjadi pengantar terhadap pola perempuan yang dilabeli sebagai sumber dosa yang ditemukan kuat dalam konstruksi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ada logika berpikir yang diwarisi turun temurun dengan kecurigaan terhadap perempuan sebagai pelaku kekerasan seksual itu sendiri, dalam artian perempuan sebagai sumbernya, pihak yang menimbulkan kekerasan, sehingga identik menjadi pihak yang bersalah. Pewarisan turun-temurun ini menemukan kekuatannya dalam mentalitas agresor dan superior laki-laki yang sudah mengideologi di tengah masyarakat yang perlu didekonstruksi.
Apakah yang disebut dengan kekerasan? Menurut KBBI, kekerasan dikaitkan dengan tiga definisi, yakni perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, juga dapat berarti paksaan. Bagi definisi kedua, kekerasan diidentikkan dengan hal-hal fisik, sedangkan untuk definisi pertama dan yang terakhir terdapat celah bagi pengertian kekerasan di ranah non-fisik. Celah bagi kekerasan non-fisik inilah yang menjadi jalan masuknya kekerasan terhadap perempuan yang dimulai dari ranah konseptual, tidak selalu fisik, dalam hal ini mentalitas superior.
Prapaham perempuan sebagai sumber dosa dan pihak yang salah menjadi semakin marak terlebih melalui pembacaan akan teks Kejadian yang dianggap sebagai bukti bahwa tokoh Hawa adalah tokoh yang dilekati dengan sifat penggoda yakni melalui pasal 1 ayat 9, sebagaimana digambarkan bahwa Hawa yang memberikan buah pohon pengetahuan baik dan jahat itu kepada suaminya. Bahwa pelanggaran manusia hingga jatuh ke dalam dosa dipelopori oleh Hawa melalui sudut pandang ini. Terdapat anggapan akan perempuan sebagai sumber dosa. Ular digambarkan sebagai hewan yang penuh tipu muslihat sebab membujuk perempuan, Hawa, untuk makan buah pengetahuan baik dan jahat yang sudah dilarang untuk dimakan oleh Allah. Jika mengikuti logika ini maka Hawa pun juga digambarkan sebagai pihak yang membujuk laki-laki, Adam, untuk makan buah pengetahuan baik dan jahat yang sudah dilarang untuk dimakan. Sehingga hasil dari semuanya itu ialah manusia yang jatuh ke dalam dosa, ular yang dikutuk oleh Allah.
Terdapat penafsiran yang mendukung kebersalahan pihak perempuan seperti misalnya akibat diidentikkannya kekalahan perempuan dalam beradu argumen dengan ular, dimana ular dipersamakan dengan setan. Karena si ular sudah sejak lama diidentikkan dengan Setan, maka kekalahan si perempuan dalam tukar pikiran ini dianggap sebagai sesuatu yang merugikan, bencana bagi keturunan umat manusia. Memang jika kita melihat dalam Kejadian 3 : 1- 6, ular tampak sebagai aktor yang berhasil mempengaruhi perempuan. Argumen yang dinyatakan perempuan mengenai perintah Allah, “jangan kamu makan atau raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej 3:3), kalah dengan argumen ular “matamu akan terbuka dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej 3:5). Jika mengikuti penafsiran ini maka kentaralah alurnya bahwa perempuan adalah sumber dari dosa sebab mengikuti pengaruh setan dan melanggar perintah yang benar. Perempuan, yang diwakili Hawa, menjadi figur yang menandai awal mulamasuknya manusia ke dalam kejatuhan dosa sehingga dapat dilihat sebagai pihak yang bersalah.
Namun jika melihat alur dari narasi Kejadian 3, Hawa adalah perempuan yang digambarkan memiliki rasa penasaran akan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Rasa keingintahuan ini tidak sama dengan rasa ingin menyamai kedudukan Allah. Jika Hawa ingin menyamai kedudukan Allah maka tentu hal ini dapat dianggap sebagai dosa dan perempuanlah sumbernya. Menjadi seperti Allah memang dianggap sebagai dosa dan pemberontakan dalam Perjanjian Lama. Namun Hawa tidak taat terhadap perintah Allah tidak dalam rangka hendak menyamai kedudukan Allah, namun karena pada dasarnya buah pohon pengetahuan baik dan jahat tersebut menarik hatinya sebab menyajikan pengetahuan. “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian” (Kej 3 : 6). Rasa keingintahuan Hawa didasari atas pengetahuan akan baik dan jahat sebagaimana ditunjukkan teks melalui perspektif Hawa “perempuan itu melihat….. pohon itu menarik hati karena memberi pengertian” (Kej 3:6). Teks secara eksplisit tidak menyebutkan bahwa Hawa adalah penyebab jatuhnya manusia ke dalam dosa dan sumber dari dosa itu sendiri. Tidak ada relevansi antara pelanggaran aturan dengan dosa asal yang dipersalahkan terhadap pihak perempuan saja. Keputusannya untuk mengambil dan memakan buah itu serta membagikannya kepada Adam dilandasi rasa penasaran dan keingintahuannya terhadap keberadaan buah tersebut. Hawa bahkan dapat pula dikatakan sebagai pencipta suatu budaya sebab ia yang digambarkan oleh teks sebagai tokoh yang melahirkan rasa keingintahuan dan mencari pengetahuan hingga sampai pada lahirnya rasa malu akibat ketelanjangan, pekerjaan manusia di luar taman Eden, dan proses reproduksi. Kejadian 3 menggambarkan pergerakan dari dunia yang teratur menuju dunia yang tidak statis, dinamis.
Dalam Kejadian 3 terdapat gambaran akan dunia (Taman Eden) yang bertentangan dengan dunia setelah manusia menerima konsekuensi pelanggaran makan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Jika konsekuensi mendatangkan kesusahan pada manusia, maka gambaran sebelum peristiwa tersebut ialah dunia yang jauh dari susah payah melahirkan dan susah payah bekerja. Dalam Kejadian 3 ditunjukkan adanya pergerakan dari dunia yang tidak didapati peranan sosial dan gender di dalamnya, menuju dunia yang penuh dengan pembagian peran sosial berdasarkan gender. Peran gender ini mulai muncul dari konsekuensi yang Allah sebutkan, yakni untuk perempuan, “susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kej 3:16); dan pada laki-laki “dengan susah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu” (Kej 3:17). Terdapat pergerakan dari dunia yang lama menuju dunia yang baru ini dipelopori oleh keingintahuan dan pengetahuan yang didapatkan perempuan, Hawa, yang menghasilkan kehidupan yang lebih aktif, baru dan menantang melampaui kehidupan di taman Eden. Dengan dimakannya buah pohon pengetahuan baik dan jahat maka dimulailah kehidupan sosial dengan peranan sosial laki-laki dan perempuan yang baru dengan terbentuknya kebudayaan. Hal ini dicirikan oleh lahirnya pengetahuan akan yang baik dan yang jahat (Kejadian 3:5-7), membuat pakaian lewat daun pohon ara dan membuat cawat (Kejadian 3:7), pembuatan pakaian dari kulit binatang (Kejadian 3:21), serta adanya pembagian peran gender antara laki-laki dan perempuan. Laki laki digambarkan mengambil peran dengan bersusah payah mencari rezeki seumur hidupnya serta yang kepadanya istrinya dapat birahi (Kejadian 3:17-19), sedangkan perempuan digambarkan sebagai yang dapat mengandung dan melahirkan, tidak berarti harus melahirkan (Kejadian 3: 16).
Ketika perempuan seringkali mendapat gambaran sebagai pihak yang menjadi penyebab laki-laki jatuh ke dalam dosa, melalui pembacaan ulang ini justru teks Kejadian 3 menunjukkan bahwa perempuan menjadi penyebab bangkitnya pengetahuan dan kebudayaan. Ketika laki-laki seringkali digambarkan sebagai pihak yang aktif melancarkan mental agresivitasnya terhadap perempuan dan berkuasa atas perempuan, teks Kejadian 3 justru menyuarakan kepasifan laki-laki dengan tidak mempertanyakan dimakannya buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Bahkan bersikap membela diri ketika ditanya oleh Allah tentang pertanggungjawaban pelanggaran aturan memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Laki-laki yang diwakili oleh tokoh Adam tidak menjadi tokoh yang aktif dalam keputusan untuk memakan buah, tapi kemudian menjadi aktif sebagai tokoh yang membela diri saat dimintakan pertanggungjawaban atas dirinya. “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan” (Kejadian 3:12). Melalui perkataanya tidak dapat dibuktikan, an sich, bahwa perempuanlah sumber dosa, sumber kebersalahan itu. Justru perkataan Adam menjadi bukti sumber kepasifan laki-laki. Jika perempuan adalah sumber kebersalahan itu maka seharusnya laki-laki mempertanyakan bahkan menolak diberikannya buah pohon itu kepada dirinya untuk ikut melanggar aturan. Namun laki-laki justru ambil bagian di dalam keputusan yang secara sadar melanggar aturan Allah, dikatakan sadar sebab keduanya mengetahui aturan yang diberikan Allah. Pada akhirnya yang hendak ditujukan oleh Kejadian 3 ialah tanggungjawab yang harus dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan mengingat perubahan kehidupan mereka ke luar dari Taman Eden. Dan di tengah pembagian tanggungjawab tersebut, perempuan seharusnya dilihat sebagai pihak yang justru ikut menentukan kehidupan dan bukan sebagai pihak yang dipersalahkan atas keterlibatannya dalam kehidupan.
Berbicara mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan, masing-masing merupakan pengalaman otentik yang tidak dapat diuniversalkan konteks dan asal mula. Namun dari contoh budaya perkosaan yang terus tersedia di sekitar kita serta respons terhadap penanganan kekerasan yang tidak efektif, menimbulkan kesadaran bagi pentingnya peningkatan upaya dekonstruksi ideologi akan perempuan sebagai pihak yang selalu dipersalahkan. Setelah memberikan tinjauan teologis yang menawarkan alternatif untuk mendekonstruksi ideologi perempuan sebagai sumber dosa, didapati bahwa konstruksi posisi perempuan sebagai pihak yang bersalah merupakan konstruksi mentalitas yang perlu untuk ditinggalkan. Berefleksi dari kisah Kejadian, kita melihat bahwa perempuan justru dapat pula berperan sebagai aktor yang aktif dalam melahirkan kemajuan bagi dunia yang lebih dinamis. Maka bersama-sama, tiap manusia perlu bekerja untuk hari depan yang lebih baik, melawan cara pandang yang tidak adil terhadap posisi masing-masing orang dalam kehidupan bersama. Sebagaimana dihimbau Kartini kepada kita…
Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi. Pergilah. Berjuang dan menderitalah. (Penggalan Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901)