Bacaan: Ibrani 13: 1-5

Semakin hari ketika melihat situasi dan kondisi dunia, semakin kita merasa perdamaian semakin sulit diwujudkan. Kita melihat bahwa perdamaian semakin ditelan oleh kerakusan dan keegoisan manusia. Ini terjadi dalam konteks pandemi, di mana dalam keadaan yang semakin sulit dan terkekang, masih ada saja orang-orang yang menyulut konflik demi kepentingan pribadi serta golongan. Perdamaian bukannya terwujud, malah semakin menjauhi kita. Misalnya saja kasus Bansos yang menyeret nama mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Orang-orang yang mengalami kesulitan ekonomi menjadi semakin melarat dan semakin sulit mempertahankan kelangsungan hidupnya karena bantuan yang seharusnya diberikan malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Ini juga menghasilkan efek domino di mana warga menjadi semakin abai dengan protokol kesehatan ataupun saling berebut lapangan pekerjaan yang jumlahnya semakin sedikit.

Namun, bukan berarti perdamaian tak bisa lagi kita wujudkan. Masih ada harapan, dan harapan inilah yang tiap tahun diingat dalam hari perdamaian yang jatuh pada tanggal 21 September. PBB sebagai penggagas lahirnya hari perdamaian tahun ini mengusung tema “Recovering Better for an Equitable and Sustainable World”, yang lekat kaitannya dengan pemulihan pasca pandemi COVID-19. 

Ada satu hal penting dalam Alkitab yang erat kaitannya dengan pemulihan perdamaian. Hal tersebut ialah rasa kasih persaudaran. Rasa persaudaraan ini seyogyanya dipandang sebagai yang dihadirkan oleh Tuhan bagi setiap yang percaya pada-Nya, tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, gender, maupun tingkat ekonomi. Tuhan menjadikan semuanya satu, dalam darah Kristus yang telah ditumpahkan bagi penebusan kita. Rasa persaudaraan ini disadari oleh para rasul di jaman Gereja mula-mula sebagai sebuah daya yang harus terus-menerus diupayakan demi terwujudnya damai Allah di Bumi.

Surat Ibrani, sebagai surat yang ditujukan khusus bagi umat Kristen berlatar belakang Yahudi, juga berusaha mengingatkan umat tentang semangat tersebut. Penulis menyadari betapa pentingnya kasih persaudaraan dibangun dalam komunitas umat Kristen, terutama dalam rangka menghadapi konflik-konflik dan persoalan dalam dunia. Ini terutama sekali, terasa pada ayat yang menjadi perenungan kita saat ini.

Perikop ini dimulai dengan sebuah seruan “Peliharalah kasih persaudaraan!”. Menarik bahwa di sini tidak hanya digunakan kata “persaudaraan” tapi juga “kasih persaudaraan”. Ini menunjukkan betapa luasnya kasih yang dihadirkan Allah. Tidak hanya kasih Allah bagi manusia, namun juga kasih antara sesama umat yang telah ditebus oleh-Nya. 

Makna persaudaraan ini juga diperluas dan diperinci di ayat-ayat berikutnya. Persaudaran di sini tidak hanya melibatkan mereka yang memiliki garis keturunan yang sama, namun juga kepada mereka sesama manusia. Hospitalitas terhadap tamu dan pendatang pun menjadi satu tradisi yang mengakar kuat sejak zaman Perjanjian Lama, yang kemudian dikuatkan pada ayat 2. Ini secara tidak langsung menjadi simbol semangat kristiani, yaitu semangat untuk menerima sebanyak mungkin orang untuk datang dan mengenal diri dalam diri kita. 

Kasih persaudaraan ini pun tidak dikecualikan bagi mereka yang sedang menerima hukuman. Di sini ditunjukkan bahwa meskipun seseorang berbuat salah, tidak berarti ia kehilangan kemanusiaannya, termasuk hak untuk dikasihi sesamanya. Ini mengenalkan kita pada salah satu wujud kasih yaitu pengampunan. Perdamaian pun nyatanya dimulai dari pengampunan dan penerimaan pada yang terhukum, dengan melihat kemanusiaannya lebih daripada kesalahan yang telah diperbuatnya. Masih segar dalam ingatan kita beberapa minggu lalu berita tentang terbakarnya Lapas di Tangerang yang menewaskan 41 orang narapidana. Di antara banyaknya reaksi masyarakat terhadap berita tersebut, ada saja yang malah membiarkan dan mensyukuri kejadian tersebut dengan anggapan bahwa orang-orang tersebut pantas mati karena telah berbuat jahat. Padahal kita semua tahu, terhukumnya seseorang tidak lantas membuat derajat orang tersebut rendah dan tidak berhak mendapat pengampunan. Pengampunan berhak diberikan bagi mereka yang meminta dengan tulus dan bersedia untuk berubah menjadi lebih baik, baik oleh Tuhan maupun manusia.  

Mengadakan perdamaian pun dapat diwujudkan melalui perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Kita diajak melalui ayat ini untuk berdiri bersama mereka yang diperlakukan sewenang-wenang dan berpihak padanya. Kita juga melihat bahwa perdamaian tak akan pernah bisa diwujudkan jika masih ada perlakuan sewenang-wenang kepada sesama. Maka dari itu lah, sudah menjadi tugas panggilan kita sebagai umat percaya untuk menghadirkan perdamaian selama kita masih ada di dunia dengan melawan pihak-pihak yang berlaku sewenang-wenang.

Kedamaian dan kasih persaudaraan pun perlu diwujudkan dalam lingkungan sekitar kita. Ini digambarkan lewat perintah di ayat 4. Kita diminta untuk terlebih dahulu memelihara rasa hormat dan kesetiaan dari relasi yang paling dekat dengan kita, yaitu relasi rumah tangga. Dengan memelihara kesetiaan, dapat terwujud keharmonisan mulai skala yang kecil dalam masing-masing keluarga, hingga skala yang besar dalam tatanan masyarakat. Kesetiaan yang dijaga seperti inilah, yang mendatangkan perkenanan Allah. 

Sebagaimana disebutkan juga di awal, perdamaian akan semakin jauh ditelan oleh kerakusan dan keserakahan manusia. Manusia punya kecenderungan untuk menjadi serakah untuk urusan uang dan harta. Namun penulis surat Ibrani ini yakin dan sadar, bahwa ada yang mampu mengubah hati manusia, yaitu kasih penyertaan manusia. Keinginan manusia tidak akan pernah ada habisnya, namun jika ia yakin dan percaya bahwa kasih Tuhan selalu hadir setiap hari, maka ia selalu akan selalu merasa cukup. 

Rasa cukup inilah yang kemudian mendorong pada timbulnya rasa perdamaian dan menjaga relasi. Dengan diingatkan bahwa relasi dengan Tuhan sebagai sesuatu yang lebih besar daripada harta, manusia juga diajak untuk semakin menguatkan relasi dengan sesama ciptaan Tuhan. Relasi yang tulus dan tidak mengejar keuntungan inilah, yang menjadi dasar bagi hadirnya perdamaian di tengah masyarakat. 

Refleksi: membangun relasi yang tulus dan membawa perdamaian 

Ketika Tuhan menebus manusia dan manusia menerima penebusan tersebut, kita secara otomatis menerima semua yang juga menerima karya penebusan sebagai saudara dalam darah Kristus. Penerimaan ini penting sebagai dasar bagi terwujudnya relasi yang membawa perdamaian. Seringkali, rasa damai sulit diwujudkan ketika masih ada keraguan dan ketidak tulusan dalam membangun relasi. Kita masih memikirkan kepentingan diri dan merasa tidak cukup atas apa yang Tuhan beri, hingga kita pun mengorbankan orang lain demi memenuhi keinginan kita. 

Untuk itulah, saudara-saudara, perlulah bagi kita untuk terlebih dahulu mengutamakan ketulusan dan rasa persaudaraan dalam membangun relasi. Dengan kita mengutamakan ketulusan dan rasa persaudaraan, kita tidak membiarkan diri kita kalah dari rasa kuatir dan rasa serakah. Kemudian, ini membuat kita lebih mampu mengelola konflik dengan kepala dingin dan rasa empati sehingga konflik tersebut tidak membuat relasi memburuk melainkan malah menguatkan dan menghadirkan kedamaian di tengah-tengah kita.

Maka, marilah kita mengingat terus rasa persaudaraan dalam diri kita. Kita jadikan momen hari perdamaian ini sebagai peringatan untuk membagikan kasih persaudaraan kepada semua orang dengan tulus dan tak memandang perbedaan. Kita bagikan kasih tersebut kepada sesama kita, mulai dari yang terdekat sampai orang-orang yang jauh dari kita. Sehingga, lewat kita, perdamaian yang sejati dapat mewujud dan hadir di tengah-tengah dunia ini. Tuhan Yesus Memberkati. (PKKUKDW/Moshe)

Pin It on Pinterest

Share This