Paskah tahun ini diperingati bersamaan dengan Hari Kartini yaitu pada tanggal 21 April 2019. Hari Kartini merupakan peringatan hari emansipasi wanita di Indonesia. Lewat upayanya untuk menyuarakan pemikirannya melalui surat-surat yang ia tuliskan, maka Kartini ditetapkan sebagai ikon pergerakan dalam hak politik perempuan. Momen Paskah tahun ini menjadi sangat menarik ketika kita mengingat Hari Kartini dan membaca teks Kebangkitan Yesus khususnya yang dituliskan di Lukas 24 : 1-12. Lukas memberikan tekanan tersendiri tentang kondisi perempuan saat mereka dipakai Tuhan untuk mewartakan berita kebangkitan Yesus.

Habis Derita Terbitlah Berita

Dalam teks tersebut, para perempuan (Maria dari Magdala, Yohana, dan Maria ibu Yakobus, dan perempuan-perempuan lain) datang ke kubur Yesus untuk mengurapi jasad Yesus. Ternyata Yesus tidak ada dan mereka ditemui oleh dua orang yang memakai pakaian berkilau-kilauan yang mengatakan bahwa Yesus hidup, Yesus tidak ada di antara orang-orang mati. Tetapi mengapa mereka datang ke sana? Kegalauan mereka akan penderitaan Yesus menyentuh perasaan mereka, mereka ingin mengurapi Yesus dan memberikan yang terbaik bagi-Nya. Ayat 1 mengatakan “tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu…” menyiratkan kegelisahan dalam diri perempuan-perempuan tersebut karena kepergian Yesus. Kesedihan mendalam menuntun mereka untuk datang ke sana membawa rempah-rempah dan mengurapi jasad-Nya. Mereka belum siap untuk kehilangan sosok penuh kasih yang banyak menguatkan mereka.

Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yakobus dan perempuan-perempuan lain adalah representasi dari para murid. Mereka mencari jasad Yesus karena mereka benar-benar sayang dan terguncang dengan peristiwa penderitaan Gurunya yang begitu sensasional. Guru yang revolusioner itu mati di tangan pemerintah dan para pemuka agama. Ia menjadi sosok yang dibuang dan dimatikan secara politis karena mengganggu keselarasan sistem penindasan tak kasat mata yang mengungkung kehidupan masyarakat pada saat itu. Ajaran cinta kasih yang begitu kuat Ia wartakan terutama pada berbagai golongan kecil yang mengalami diskriminasi membuat golongan elit resah dan gelisah. Yesus sadar sejak awal bahwa jalan yang dipilih-Nya adalah jalan menuju penderitaan. Namun itu bukanlah sebuah persoalan. Selama Ia bersama-sama dengan murid-murid-Nya, Ia terus menguatkan mereka bahwa penderitaan itu bukan akhir. Bahwa kematian bukan kekalahan. Bahwa maut bukanlah tanda seseorang berdosa dan dihukum.

Namun murid-murid memang belum sanggup untuk mengerti dan menerima apa yang Yesus ajarkan. Terbukti dari apa yang dikatakan oleh sosok berkilauan yang menemui para perempuan. “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga,” (ayat 5b-7). Kematian Yesus dianggap sebagai suatu akhir karya Yesus oleh para perempuan (dan juga para murid). Kesedihan dan kemungkinan besar keputusasaan membuat mereka lupa akan perkataan-perkataan Yesus semasa mereka bersama.

Perjumpaan para perempuan dan dua sosok yang pakaiannya berkilau-kilauan itu mendatangkan satu hal penting yakni berita. Setelah penderitaan yang dialami Yesus, yang membuat harapan tentang kehidupan dalam diri para perempuan (dan para murid lainnya) sempat mati, dua sosok berkilauan tadi menyampaikan berita tentang Yesus yang hidup. Meski berita itu disampaikan dengan nada teguran, tetapi kedua sosok itu sedang mengingatkan mereka untuk kembali percaya bahwa karya Yesus tidak berakhir karena kematian. Berita itulah yang seharusnya menjadi fokus para perempuan, bukan ratapan dan kemurungan atas penderitaan Yesus.

Pantaskah Jika Perempuan Mewartakannya?

Tentu berita yang diterima para perempuan ini sebuah berita gembira. Yesus tidak mati! Ia hidup di antara orang mati! Kesedihan yang tadinya menguasai mereka kini bertransformasi menjadi kesukacitaan tak tertahankan. Mereka segera menemui murid-murid Yesus dan mewartakan berita tersebut. Namun apa yang terjadi? Perkataan Maria dari Magdala, Yohana, Maria ibu Yakobus, dan perempuan-perempuan lain tidak dipercaya oleh para rasul. Bagi mereka, perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong (ayat 11).

Di zaman itu, perempuan memang dilihat sangat rendah. Perempuan tidak punya porsi dalam kehidupan keagamaan. Perempuan tidak bisa masuk ke ruang-ruang tertentu di Bait Allah, perempuan tidak bisa mengikuti ibadah di sinagoge. Kalaupun bisa, akan ada sekat yang dibuat yang memisahkan perempuan dari bagian sinagoge lainnya. Pandangan-pandangan seperti ini cukup kuat mempengaruhi pemikiran para murid. Para murid terbiasa merendahkan perempuan, mengabaikan apa yang dipikirkan atau dikatakan perempuan. Walaupun berita itu sejalan dengan apa yang diucapkan Yesus sebelum Ia menerima penderitaan salib, mereka mengabaikan perkataan itu. Hanya Petrus yang mempertimbangkan berita yang ia dengar kemudian pergi ke kubur untuk mengecek kebenarannya.

Injil Lukas memang punya tekanan khusus pada pembelaan hak-hak kelompok yang didiskriminasi di dalam Alkitab. Salah satunya pada kelompok perempuan. Cerita tentang kebangkitan Yesus di kitab Injil lainnya punya tekanan yang berbeda. Matius menuliskan bahwa para perempuan bertemu Yesus dan diminta untuk menyampaikan kabar kebangkitan-Nya pada para murid. Markus menuliskan bahwa para perempuan bertemu dengan seorang muda yang memakai jubah putih yang menyampaikan kabar kebangkitan Yesus. Para perempuan diminta untuk menyampaikan kabar namun mereka tidak menyampaikannya pada siapa-siapa karena mereka takut. Yohanes menuliskan bahwa para perempuan hanya melihat kubur kosong dan menduga jasad Yesus diambil orang dan entah diletakan di mana. Perempuan memang sama-sama disebutkan dan diberi porsi. Namun hanya Lukas yang secara terbuka menunjukan apa yang terjadi kepada para perempuan ketika mereka mengabarkan berita kebangkitan Yesus pada murid-murid-Nya.

Ketidakpercayaan para murid serta anggapan mereka bahwa perkataan tersebut seakan-akan omong kosong merupakan cara Lukas untuk menunjukan konteks kehidupan perempuan di masa itu. Perempuan tersingkir, tidak diperhitungkan, dan tidak dipercaya. Namun ironisnya, merekalah yang pertama-tama menerima kabar kebangkitan. Merekalah yang mendapatkan perintah dari dua sosok yang ada di dekat kubur Yesus untuk mewartakan berita kemenangan Yesus akan kematian. Merekalah saksi pertama di kubur Yesus yang melihat kuburnya kosong. Allah memakai mereka (yang tidak diperhitungkan dan tidak dipercaya) untuk mewartakan berita kebangkitan dan menyalakan pengharapan pada diri para murid yang kecewa melihat “Jagoannya” mati.

Apa yang diceritakan pada teks ini sejalan dengan apa yang dikaryakan Allah saat kelahiran Yesus. Para gembala, kelompok yang juga dianggap remeh secara strata sosial, juga dipakai Allah untuk mewartakan berita kelahiran Sang Mesias. Kehadiran Yesus, Putra Allah yang membebaskan manusia dari belenggu dosa adalah kehadiran yang membebaskan. Cara-Nya menghadirkan diri-Nya pun dengan memberdayakan orang-orang yang mengalami tekanan sosial. Ia bukan hanya mengajarkan, tetapi benar-benar menyatakan cinta kasih yang membebaskan dan menghidupkan pengharapan. Allah memperlihatkan bahwa semua orang dari golongan apapun pantas untuk menyatakan berita yang menghidupkan pengharapan bagi orang lain.

Paskah: Kristus Bangkit, Perempuan Bangkit!

Paskah yang umat Kristiani peringati sebagai hari Kebangkitan Yesus adalah poin teologis terpenting dalam agama Kristen. Yesus Kristus yang menebus dosa manusia di kayu salib menyatakan dengan jelas tentang cinta kasih yang sarat pengorbanan. Kebangkitan-Nya dari kematian adalah tanda kemenangan atas maut. Tanda kemenangan atas dosa, atas kematian harapan, dan atas penindasan. Yesus Kristus menjadi dasar umat Kristen untuk senantiasa berpengharapan dan bergerak secara progresif memperjuangkan kebenaran dan cinta kasih. Yesus Kristus adalah dasar kebangkitan setiap orang yang disepelekan, diabaikan, dan tak diperhitungkan. Yesus Kristus adalah teladan umat dalam memperjuangkan kesetaraan hak untuk memperoleh kehidupan yang penuh kasih. Di momen Paskah yang bertepatan dengan Hari Kartini pada tahun ini, kiranya kebangkitan Kristus mendorong bangkitnya kesadaran setiap orang untuk menghargai perempuan. Kiranya kebangkitan Kristus mendorong bangkitnya pergerakan progresif di pemerintahan (tingkat nasional maupun lokal) untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan hidup perempuan. Kiranya kebangkitan Kristus mendorong bangkitnya semangat perempuan untuk terus berkarya dan menginspirasi lingkungan sekitarnya. (PKK/EN)

Pin It on Pinterest

Share This