Bacaan: Yohanes 6:68-69 “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” |
Warga UKDW yang terkasih, Salam Sorbum!
Jumpa lagi dalam rubrik siraman rohani yang kali ini ingin menelisik lebih jauh sisi-sisi masa kenormalan baru (new normal) yang belakangan ini gencar kita dengar di media sosial di sekitar kita. Bagi kita di UKDW banyak perubahan yang terjadi semenjak diterapkannya protokol kesehatan di lingkungan kampus UKDW. Walaupun semua kegiatan belajar mengajar yang melibatkan mahasiswa dan dosen tetap dilakukan secara jarak jauh, pihak rektorat, para pimpinan unit-unit kerja, kepala pusat-pusat studi, dan para pegawai pendukung akademik, semua harus menyesuaikan diri untuk bekerja sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan kampus. Termasuk keharusan mengenakan masker dan pelindung wajah (face shield) sehingga terhindar dari segala macam bentuk droplets.
Menurut saya, penting bagi kita untuk memperhatikan semua peraturan baru dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak rektorat guna menanggulangi kemungkinan penyebaran COVID-19 di lingkungan kampus UKDW. Anggap saja ini sebagai persiapan menuju apa yang saat ini oleh media sosial sering disebut sebagai era new normal atau era kenormalan baru. Kita tidak tahu dan belum tahu ke mana kita harus melangkah di era kenormalan baru ini. Belum lagi ditambah dengan pertanyaan apa yang harus kita lakukan dan bagaimana kita harus melakukannya. Kita seakan diperhadapkan dengan situasi di mana kita harus terus melangkah ke depan dan tidak menengok ke belakang. Semua hal teknis ini tidak boleh kita abaikan dan anggap remeh. Semua harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi demi terputusnya mata rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia.
Kita perlu cepat tanggap tentang hal-hal di atas, namun sebagai individu jangan lupakan juga pentingnya merawat spiritualitas kita masing-masing selama pandemi ini berlangsung. Era kenormalan baru menghadapkan kita pada tantangan yang tidak kita nyana-nyana sebelumnya. Inspirasi apa yang dapat kita gali dari Alkitab tentang hal kenormalan baru ini?
Warga UKDW yang terkasih,
Di dalam Injil Yohanes ditemukan satu kisah di mana Petrus sedang berdialog dengan Kristus. Dalam perjumpaan ini Petrus mengungkapkan keseriusannya untuk berjalan mengikuti jejak kaki Kristus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh. 6:68-69). Seakan Petrus ingin menyampaikan bahwa Kristus adalah kompas bagi hidupnya. Kristus adalah titik utara bagi kehidupan Petrus.
Ungkapan Petrus ini seakan menjawab pertanyaan retoris Kristus kepada kedua belas murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh. 6: 67). Saat itu Kristus melihat gelagat dari para pengikut-Nya (di luar kelompok 12 murid inti Kristus) yang satu persatu mulai menjauh dan meninggalkan-Nya. Mereka pergi setelah mengetahui bahwa mengikuti jejak Kristus itu ternyata sulit dan berat. Apalagi ditambahkan di bagian berikutnya tentang pemberitahuan akan dunia yang akan membenci dan akan menyesah-Nya (Yoh. 7:6-7). Apakah mereka tidak siap untuk ikut menderita bersama Kristus? Mungkinkah mereka mengira bahwa ikut Kristus berarti hidup tanpa penderitaan? Atau bisa jadi mereka sudah tahu sejauh mana kekuatan mereka sehingga memutuskan untuk mundur saat itu juga daripada nanti berhenti di tengah jalan.
Didorong oleh hati yang saleh dan cinta yang menyala-nyala kepada Kristus, Petrus berikrar untuk tetap setia pada Kristus dan sabda-Nya, karena bagi Petrus di luar Kristus tidak ada yang dapat memberikan pengajaran seperti Kristus. Baik kaum Farisi, Saduki, maupun para ahli Taurat semua dianggapnya korup dan tidak dapat membimbingnya ke jalan kebajikan. Bagi Petrus, Kristus memberinya ajaran-ajaran yang dapat membawanya berjalan di jalan kebajikan. Bagi Petrus, mengikuti Kristus berarti harus siap pergi dan membawa bagasinya sekaligus. Bagasi ini mungkin saja berisi dukacita maupun sukacita, namun juga pengalaman-pengalaman iman tak terduga yang hanya bisa dialami jika seseorang berada dalam relasi yang intim dengan Kristus sendiri.
Berbicara masalah kenormalan baru, kira-kira pengalaman kenormalan baru seperti apa yang dialami Petrus dalam hubungannya dengan Kristus? Apakah Petrus juga mengalami kenormalan baru seperti yang sedang kita alami saat ini? Pengalaman dan tantangan hidup Petrus di zamannya tentu tidak sama dengan zaman kita sekarang. Namun dia mengalami satu pengalaman yang mengubah hidupnya (life changing event) yang terjadi secara mendadak dan tanpa dinyana-nyana, yaitu berita penderitaan Kristus yang akan diberitakan-Nya kemudian (lihat Yoh. 7: 6-8; bandingkan Yoh. 16:22). Istilah lain dari pengalaman pengubah hidup adalah contingency yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kemungkinan atau hal yang kebetulan. Kata ini juga mengandung unsur ketidaktentuan, mengandaikan hal yang mungkin bisa terjadi di masa yang akan datang namun tetap tidak bisa diprediksikan sebelumnya. Pengalaman pandemi COVID-19 agaknya juga membuat kita terpapar pada peristiwa-peristiwa yang penuh dengan ketidaktentuan ini.
Kristus menyampaikan ke Petrus dan para murid-Nya yang lain kalau Dia tidak akan selamanya berada di tengah mereka. Di mata Petrus, tidak layak bagi Yesus untuk menderita, dia terpanggil untuk membelanya, bahkan dengan pedang jika perlu (Yoh. 18:11). Agaknya sulit bagi Petrus untuk melihat penderitaan Kristus, apalagi hidup tanpa bisa lagi melihat Kristus di dekatnya. Kenormalan baru bagi Petrus berarti bahwa dia harus menemukan keseimbangan baru secara spiritual tanpa kehadiran Kristus secara fisik di dekatnya. Kenormalan baru bagi Petrus adalah memahami derita, aniaya, kebencian yang akan dialami Yesus di kemudian hari, bahkan hingga wafat-Nya di atas salib. Ini berarti Petrus harus beradaptasi dengan kenormalan baru ini dengan kreatif.
Warga UKDW yang terkasih,
Sebagaimana Petrus harus beradaptasi dengan tantangan konteks di zamannya, demikian juga kita secara spiritual juga ditantang untuk berpikir kreatif tentang bagaimana caranya agar kondisi spiritual kita tetap sehat dan menjaganya dengan cara yang sederhana serta tepat guna di tengah konteks menjelang diterapkannya masa kenormalan baru ini.
Mungkin perlu dijelaskan secara sederhana apa yang dimaksud dengan spiritualitas dalam rubrik kita kali ini. Spiritualitas yang dimaksud ini bermakna lebih luas dari hanya sekadar berhubungan dengan hal-hal agamawi saja (ikut ibadah online, berdoa pribadi, baca Alkitab, ikut persekutuan online, dll). Kata spiritualitas yang dimaksudkan di sini adalah keadaan/kesejahteraan diri (state of well-being) dari seorang individu secara utuh. Keadaan/kesejahteraan diri yang dimaksudkan mencakup berbagai keseimbangan dalam beberapa aspek seperti mental, emosional, relasional, rekreasional, lingkungan, spiritual, finansial, dan tubuh jasmani.
Secara sederhana aspek-aspek tadi juga berkaitan langsung dengan keseimbangan dalam tubuh (body), pikiran (mind), roh (spirit), hubungan dengan sesama manusia (people), konteks tinggal (place), dan peduli bumi (planet). Ambil contoh misalnya keseimbangan tubuh dan pikiran.
Tubuh (body) kita juga butuh keseimbangan agar bisa sejahtera. Di masa pandemi ini penting untuk melakukan olahraga sederhana secara teratur, misalnya 10-20 menit jalan kaki di sekeliling lingkungan rumah bisa memutus rutinitas domestik kita. Jogging, berkebun, bersepeda ke pasar, menari, pokoknya gerakkan tubuh kita. Mengapa ini penting? Karena gerak tubuh yang dilakukan secara sederhana bisa membuat diri kita merasa lebih baik dan mendorong pikiran dan tubuh lebih sehat. Pilih aktivitas fisik yang pas dengan keadaan fisik Anda, yang jelas tetap aktif!
Pikiran (mind) kita juga butuh keseimbangan agar bisa sejahtera. Cara yang bisa kita lakukan adalah terus belajar hal baru, tetap aktif senam otak, bermain catur, isi teka-teki silang, berlatih dengan puzzle game, belajar bermain musik, belajar memasak, dan menemukan kembali hobi yang dulu pernah tertunda karena satu dan lain hal. Mengapa ini penting? Karena dengan belajar hal baru kita memberi rangsangan dan tantangan pada otak kita sehingga kerja otak kita semakin variatif dan susunan saraf di otak menemukan jalur-jalur baru yang bisa memperlambat atau mencegah penyakit pikun. Selain itu, latihan-latihan di atas bisa mempertinggi rasa percaya diri dan selera humor kita.
Kita bisa simpulkan bahwa belajar dari Petrus, kita mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi setelah masa pandemi ini berlalu. Akankah pandemi ini akan terus ada di negeri kita? Kita tidak tahu jawabannya, namun kebiasaan baru harus kita terapkan dalam hidup kita sehari-hari seperti wajib memakai masker saat keluar rumah, sering cuci tangan dengan sabun, jaga jarak dengan orang lain, menyapa orang lain dengan lambaian tangan dan belajar menyapa mereka dengan mata kita, serta menghindari keramaian jika tidak diperlukan. Hal terpenting yang tidak boleh kita lupakan adalah menjaga keseimbangan tubuh, pikiran, spirit, relasi dengan sesama, peduli lingkungan, serta menjaga dan merawat bumi kita.
Akhir kata, tetap jaga kesehatan, tetap berharap semoga pandemi ini cepat berlalu dan korban meninggal dunia bisa terus berkurang. Semoga usaha kita mencapai keseimbangan dan mawas diri tidak sia-sia serta membawa hasil. Mari kita tetap berkarya bagi UKDW dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan. AMIN. (PKK/Adham)