Matius 1:23

“Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” –yang berarti: Allah menyertai kita.

Shalom! Salam damai sejahtera untuk kita semua,

Apa kabar kawan-kawan sekalian? Tahun ini adalah tahun yang berat bagi kita semua. Pandemi COVID-19 ganas menunjukkan taringnya ke hampir semua bangsa di dunia ini. UKDW juga tidak luput terkena imbasnya. Tidak hanya para dosen dan karyawan namun Anda sekalian para mahasiswa juga ikut merasakan akibat dari perubahan pola belajar dari yang semula luring menjadi daring. 

Di akhir tahun ini kita ingin diam sejenak untuk melihat kembali apa yang telah kita lalui bersama sebagai bagian dari sivitas akademika UKDW. Saya ingin mengawali renungan saya hari ini dengan menyajikan sebuah puisi yang ditulis oleh Pdt. Hendri Mulyana Sendjaja, M.Hum., Lic.Th, Dosen Fakultas Teologi UKDW yang melaksanakan tugas belajar S3 di Belanda dan tidak bisa pulang ke Indonesia karena terhalang pandemi COVID-19. 

NATAL PANDEMI NATAL KAMI (©hendrisendjaja, 2020)

“kunyalakan lilin di natal-Mu ya Yesus

bersama doa yang kuangkat terus

selama kami hidup di bawah bayang virus

pandemi merenggut nyawa beratus-ratus

 

kami rindu dunia makin membaik

sukacita dan damai tidak tercabik

tiada lagi jarak untuk kami bercakap asyik

berdoa bersama melayani dengan enerjik

 

kami bawa perayaan natal ini ya Tuhan

bersama hati ini kami angkat pergumulan

Kaulah yang mencukupi segala kebutuhan

Kaulah yang memberkati segala kerinduan

 

kulihat lilin-lilin natal semakin terang

itu karena kasih Tuhan sudah datang

kasih yang membuat kami tak lagi bimbang

kasih yang membuat hidup ini jadi tenang”

 

Saudara-saudara sekalian,

Saya mencoba meresapi puisi di atas dengan hati. Mencoba merasakan apa yang sedang dirasakan oleh penulisnya. Saya juga ingin menggali hal-hal indah apa saja yang bisa saya dapatkan dari puisi tersebut di atas. Puisi di atas mengungkapkan carut-marut kepedihan situasi dunia di masa pandemi. Kepedihan apa saja yang Anda sekalian rasakan saat menjalani perkuliahan secara daring di semester ini? 

Dari hasil kajian seorang peneliti ilmu kesehatan dari UNS Solo didapatkan bahwa selama PJJ berlangsung masih banyak mahasiswa yang bingung dengan pembelajaran daring, mahasiswa menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak produktif, penumpukan informasi/ konsep pada mahasiswa kurang bermanfaat, mahasiswa mengalami stress, peningkatan kemampuan literasi bahasa mahasiswa (Argaheni, 2020, hlm. 1). 

Di sisi lain, kami melihat adanya penguatan paradigma bahwa di masa pandemi ini semua mahasiswa semakin sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak punya waktu untuk mengurusi orang lain, benarkah itu? Bisa jadi demikian adanya. Boro-boro nolongin orang lain Pak… Pak… nolongin diri sendiri masih pontang-panting. Karena sebelum pandemi terjadi, dunia gadget sudah merambah dalam kehidupan kaum muda Indonesia tanpa kecuali. Gadget sudah jadi kebutuhan primer dan bukan sekunder lagi. Namun gadget juga membuat mereka semakin sendiri dan tidak merasa perlu berjumpa dengan orang lain. 

Sebelum pandemi, masih ada pertemuan di kelas dan masih bisa bertatap muka dengan kawan-kawan lainnya. Ketika pandemi, para mahasiswa semakin terkucil di pojok kamar masing-masing karena mau tidak mau semua kuliah, registrasi, pertemuan kelompok, wawancara, konsultasi dengan dosen, tugas mandiri, tugas kelompok, UTS dan UAS harus dilakukan secara online via e-Class. Sudah sendiri karena gadget, ditambah lagi harus PJJ dengan pakai gadget lagi. Ini yang saya sebut jenis kesepian yang berlapis-lapis. Hal ini yang membuat kantong, dompet, dan saku mahasiswa meronta-ronta karena harus beli paket internet yang cukup agar bisa ikut perkuliahan secara daring. Corona… Oh Corona… kapan kau akan lenyap dari bumi ini? Demikian terdengar sayup-sayup suara mereka.

 

Saudara-saudara sekalian,

Di mana terang lilin-lilin yang jadi tanda-tanda damai bisa kita temukan dalam situasi seperti ini? Puisi di atas tidak hanya menyerukan kepedihan tapi juga kerinduan untuk dunia yang lebih baik lagi tanpa virus Corona. Kerinduan untuk dapat beraktivitas kembali seperti waktu-waktu sebelum pandemi. Bukannya apatis, namun saya lihat kita harus lapang dada menyambut kenormalan baru dengan segenap plus daN minusnya. Natal Pandemi adalah Natal Kita merupakan ungkapan yang pas untuk menyatakan hal ini. 

Ketika seorang malaikat menampakkan diri kepada Yusuf, tunangan Maria, dalam sebuah mimpi, Yusuf sejatinya juga sedang memasuki era kenormalan baru yang tidak dia nyana-nyana sebelumnya. Semua rencana yang sudah dia buat jadi ambyar ketika sang malaikat tadi muncul dalam mimpinya dan memintanya secara khusus untuk ikut ambil bagian dalam rencana Ilahi demi menggenapi sebuah nubuatan Nabi Yesaya yang berbunyi, “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” –yang berarti: Allah menyertai kita.” (ayat 23; lihat Yesaya 7:14). 

Yusuf memilih taat menjalankan tugas yang dipercayakan sang malaikat kepadanya. Dia tidak mangkir, tapi dia juga mungkin bingung harus bagaimana selanjutnya melangkah. Bukankah masyarakat saat itu melihat kalau pasangan muda-mudi yang terikat dalam pertunangan harus menjaga keperawanan masing-masing agar saat menikah mereka tetap murni untuk masuk ke dalam pelaminan. Bisa jadi suasana hati yang tidak menentu inilah yang membuat Yusuf juga lebih banyak diam dan tidak terdengar suaranya di kitab-kitab Injil. Prinsipnya, tugas harus dijalankan apapun resikonya. Di sanalah Yusuf memenuhi panggilannya sebagai pendamping Maria untuk melahirkan Sang bayi Immanuel ke dunia. 

Kisah perjumpaan antara Yusuf dan malaikat dalam mimpinya ini memberi saya empat inspirasi Natal yang ingin saya bagikan ke saudara sekalian. Yusuf memilih taat pada perintah Ilahi (nilai ketaatan pada Allah); Yusuf menjaga semua rahasia dalam hati (nilai berjalan dalam integritas); Yusuf tidak mangkir dari tugasnya (nilai melakukan yang terbaik); Yusuf memilih mendampingi Maria (nilai melayani dunia). Empat inspirasi ini menjadi semacam pilar-pilar iman bagi Yusuf untuk ikut berpartisipasi dalam melahirkan Sang Immanuel, Raja Damai. Yusuf tidak menyalahkan sang malaikat, Yusuf tidak menyalahkan Maria dan Yusuf juga tidak menyalahkan keadaan, dia menerima keadaan yang Tuhan percayakan padanya, lengkap dengan segala carut-marutnya, dan siap mengolah diri sehingga dia bisa beradaptasi dengan cepat dan dapat memutuskan apa yang harus segera dilakukan. Dia juga tidak segan-segan untuk menyelam dalam dinamika hidup pertunangan yang unik dengan Maria. Pertunangan mereka unik karena ada campur tangan Ilahi yang ikut menjungkir-balikkan rencana-rencana manusiawi mereka sebelumnya. 

 

Saudara-saudara sekalian,

Sikap Yusuf dan Maria ini hendaknya menjadi teladan bagi kita sekalian yang hidup di masa pandemi ini. Sebagai sivitas akademika UKDW pelajaran apa yang kira-kira bisa kita ambil dari kisah Yusuf ini? Melalui kisah Yusuf ini kita belajar KETAATAN pada Allah dan diajak untuk melihat Natal di masa pandemi ini sebagai Natal kita. Artinya, kita menerima keadaan pandemi ini sebagai konteks aktual di mana kita berjuang memaknai kehidupan yang tercabik-cabik pandemi dengan semangat ketaatan. Melalui kisah Yusuf ini kita juga belajar berjalan dalam INTEGRITAS, seperti Yusuf yang tidak mangkir dari tugasnya dan menyimpan segala rahasia Ilahi dalam hatinya. Melalui kisah Yusuf ini kita juga belajar untuk menunjukkan KEUNGGULAN dalam hal iman dengan mendampingi Maria sampai akhir dengan setia dan tidak mencemooh peristiwa kehamilannya yang ajaib dan di luar akal sehat itu. Melalui kisah Yusuf kita juga belajar untuk MELAYANI DUNIA dan ikut serta dalam proses melahirkan kedamaian ke dunia, lengkap dengan segenap suka dan dukanya. 

Namun jika tanda-tanda damai tadi tidak kunjung kita dapatkan, mungkin inilah saatnya yang tepat bagi kita untuk menjadi tanda-tanda damai dan harapan baru itu sendiri. Sambil meneladani Yusuf yang dengan otentik tetap menjadi dirinya sendiri, maka inilah saatnya kita menjadi diri sendiri dan berani mengambil inisiatif untuk menjadi tanda-tanda hidup dari damai Allah bagi semua orang di sekeliling kita. 

Jadilah seorang guardian angel bagi satu orang saja dan itu sudah lebih dari cukup untuk melatih kepekaan diri kita pada orang lain. Di kelas Pendidikan Agama Kristen yang kami ampu, ada program guardian angel dimana setiap mahasiswa diminta berpasangan dengan seorang mahasiswa lainnya. Masing-masing bertindak sebagai guardian angel bagi partnernya. Tugas mereka sederhana, saling mengingatkan tugas-tugas mandiri, presensi, tugas kelompok, dan lain-lain. Ternyata ada yang melanjutkan fungsi guardian angel di luar perkuliahan PAK. Bahkan meneruskan persahabatan mereka sampai ke jenjang pacaran. Ternyata kegiatan ini justru memberikan nilai tambah positif bagi mahasiswa dan membawa mereka keluar dari kesepian di masa pandemi. 

Harapan kita hanya satu di akhir tahun 2020 ini. Semoga pada tahun 2021 nanti, kita bisa kopi darat dan merayakan Natal secara on site. Tetap semangat, tetap sehat, jaga kesehatan, jaga hati dan jaga mata hati kita. Semoga kebahagiaan dan damai sejahtera senantiasa melingkupi hati kita masing-masing. Dari lubuk hati kami yang terdalam, kami ingin menyampaikan Selamat Hari Natal dan Selamat Menyambut Tahun Baru 2020. Tuhan Yesus memberkati. (PKK/Adham)

Pin It on Pinterest

Share This