Maka kata Yesus:
“Tinggal sedikit waktu saja Aku ada bersama kamu
dan sesudah itu Aku akan pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku.
Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku,
sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada.”
(Yohanes 7:33-34)
Yesus berkata kepada para murid-Nya:
“Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu.
Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang,
demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.
(Yohanes 13:33)
Naik Untuk Kembali
Pembaca yang budiman,
Mari kita baca cuplikan dari lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi Ebiet G. Ade di tahun ’80-‘90an dengan judul “Masih Ada Waktu”:
“(…) Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan tak ada yang bakal dapat menghitung
Hanya atas kasih-Nya, hanya atas kehendak-Nya
Kita masih bertemu matahari
Kepada rumpun ilalang, kepada bintang gemintang
Kita dapat mencoba meminjam catatan-Nya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng, semuanya terdiam
Semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu.”
Belakangan ini muncul versi terbaru lagu ini di media sosial. Aransemennya baru dan variasi instrumental yang disajikan memberi kesan segar dan meneduhkan. Ebiet tidak bernyanyi sendiri namun dia menggandeng dua putranya yang bernama Adera dan Segara untuk menyanyikan lagu ini secara trio. Perpaduan suara yang akan membawa Anda masuk ke dalam keteduhan lirik lagu-lagu Ebiet yang memang terkenal sangat reflektif itu.
Lagu ini seakan mampu menggambarkan keprihatinan kita sekalian di masa pandemi COVID-19 ini. Lagu ini mengingatkan hakikat dasar kemanusiaan yang rapuh adanya dan bergantung sepenuhnya kepada Sang Maha Kuasa. Lirik lagu ini pun mengingatkan kita untuk segera ingat akan Tuhan Yang Maha Kuasa dan kembali bersujud kepada-Nya.
Saat ini hampir semua negara di dunia berlomba-lomba dengan waktu untuk menaklukkan wabah COVID-19. Korban telah banyak berjatuhan dan akhir dari pandemi ini tak kunjung terbit di cakrawala. Tujuan utama mereka adalah agar kehidupan bisa secepat mungkin dinikmati kembali seperti sedia kala. Di waktu-waktu seperti ini seakan-akan kita membutuhkan uluran tangan Tuhan untuk membantu kita mencari jawab akan semua pertanyaan kita dan misteri dari COVID-19 ini. Siraman Rohani Koran Kampus kali ini ingin mengangkat peristiwa Kristus terangkat ke surga sebagai topik utama dan mencoba untuk menghubungkannya dengan konteks COVID-19 saat ini.
Jika kita perhatikan dua bacaan Alkitab kita kali ini maka dimensi waktu menjadi titik perhatian yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Dimensi waktu ini membungkus perkataan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya beberapa waktu sebelum Dia naik ke surga. “Tinggal sedikit waktu saja Aku ada bersama kamu dan sesudah itu Aku akan pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku.” (ay.33) Salah satu tafsir membahasakan kalimat Kristus ini dengan kalimat ‘Aku harus tetap di bumi sekejap lagi, dan di sepanjang waktu itu kamu tidak dapat membunuh-Ku, setelah waktu ini lewat kalian akan berhasil (membunuh-Ku), dan Aku akan pergi kepada Bapa-Ku. Ke sana kalian berharap untuk pergi, namun kalian tidak bisa masuk ke sana karena kalian tidak mengenal-Nya, dan orang seperti kalian tidak dapat masuk ke sana.’
Kalimat ini menggambarkan konfrontasi Yesus dengan lawan bicara-Nya. Dengan kalimat ini Kristus diingatkan kembali bahwa kematian-Nya sudah di ambang pintu. Injil juga mencatat bahwa untuk pertama kalinya Kristus, melalui kalimat ini, mengabarkan kematian-Nya sebagai sebuah ‘perjalanan menuju kepada Sang Bapa’. Kalimat Kristus ini nantinya juga akan menjadi tembok pemisah antara Dia dan mereka yang berusaha membunuh-Nya dan penanda akan kedatangan ‘awal dari sebuah akhir’. Akhir yang akan membawa Kristus ke dalam ‘kekalahan sesaat’ dan ‘kemenangan abadi’ dan bukan seperti lawan bicara-Nya yang seakan-akan terhisap dalam euforia ‘kemenangan sesaat’ namun sebenarnya mereka akan mengalami ‘kekalahan abadi’. Kontradiksi antara dua hal ini terjadi dalam rangkulan dimensi waktu sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan Yesus bahwa ‘Tinggal sedikit waktu saja Aku ada bersama kamu dan sesudah itu Aku akan pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku.’ (Yoh. 7:33).
Membaca kalimat Kristus ini dalam konteks pandemi COVID-19 yang saat ini terjadi seakan membuat kita tersadar dari keterlenaan kita bahwa ancaman penyakit ini begitu nyata, karena dalam waktu yang relatif singkat seseorang yang sehat bisa terjangkit COVID-19 dan dalam hitungan beberapa minggu saja dia wafat. Tidak cukup hanya disitu saja, saat kita mengikuti perkembangan berita di media massa tentang bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi keputusan pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dari pemerintah dengan euforia ‘kemenangan sesaat’ tanpa menghiraukan bayangan ancaman bencana ‘kekalahan abadi’.
Ini terbukti ketika masyarakat Indonesia di wilayah ibukota Jakarta dikabarkan mulai memadati bandara Soekarno-Hatta untuk beperjalanan dengan menggunakan pesawat, atau menjejali area-area pasar dengan dalih membeli barang-barang kebutuhan Lebaran tanpa menggunakan masker penutup hidung dan mulut. Sekumpulan orang juga dikabarkan berkumpul di halaman restoran makanan cepat saji McDonald’s di Jakarta Pusat dengan dalih ingin menyaksikan penutupan restoran pertama Amerika di Jakarta yang mereka lihat sebagai momen bersejarah. Mereka ingin mengabadikan momen tersebut tanpa mengindahkan aturan pemerintah untuk tidak berkerumun di satu tempat dan mereka mengabaikan penerapan protokol kesehatan penanggulangan COVID-19 dengan menjaga jarak fisik dengan orang lain.
Berita kemunculan tanda pagar (tagar) #IndonesiaTerserah sejak beberapa hari belakangan ini juga disinyalir sebagai ungkapan kekecewaan para dokter, perawat, para tenaga medis dan segenap pendukungnya yang merasa bahwa perjuangan mereka untuk menekan laju penyebaran COVID-19 ini seakan-akan sia-sia belaka karena tidak didukung oleh ketegasan pemerintah dan kesadaran segenap lapisan masyarakat yang tinggi untuk menerapkan protokol kesehatan serta mengikuti anjuran untuk tetap tinggal di dalam rumah. Masyarakat yang dikritik oleh para profesional kesehatan ini seakan-akan tidak menghiraukan lagi keganasan COVID-19 dan seakan-akan memilih untuk tidak mau tahu akan semua protokol kesehatan yang sudah dianjurkan oleh pemerintah. Oleh karena itu tidak heran jika mereka menciptakan tagar #IndonesiaTerserah sebagai kritik sosial kepada masyarakat Indonesia secara umum.
Jika berita kematian Tuhan Yesus mendukakan hati para murid-Nya dan kepergian-Nya ke surga diratapi oleh pengikut-Nya yang lain, maka kepergian COVID-19 dari muka bumi ini justru amat sangat diharapkan oleh hampir semua penduduk bumi ini. Namun reaksi bebal, acuh tak acuh, ketidakpedulian dan keengganan masyarakat Indonesia mematuhi protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah seakan membuat harapan sirnanya COVID-19 dari Indonesia hanya akan sampai pada euforia kosong belaka.
Oleh karena itu saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk merenungkan peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga sebagai sebuah peristiwa penanda harapan bahwa setelah ‘kesengsaraan sesaat’ karena COVID-19 ini akan diubahkan menjadi pelajaran berharga akan ketabahan bertahan di tengah pandemi dan kedisiplinan untuk menahan diri tidak keluar rumah di waktu yang Tuhan kehendaki dan ijinkan untuk terjadi. Ini semua didasarkan pada bacaan Injil kita hari ini yang menggarisbawahi pengakuan dan iman percaya kita bahwa Kristus adalah Tuhan dan yang memiliki kuasa atas segala sesuatu yang ada di bumi dan di surga.
Pandemi COVID-19 ini menantang iman percaya kita kepada Tuhan Yesus yang kita imani sebagai Tuhan, Juruselamat dan Tabib yang ajaib (band. Luk. 5:27-32). Kita melihat kepada Kristus namun dalam Injil kita baca “Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku, sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada.” (Yoh. 7:34) Seakan kalimat Kristus ini berseberangan dengan undangan Kristus kepada para pengikut-Nya untuk ‘carilah, maka kamu akan mendapat’ (Mat. 7:7; Luk. 11:9). Walaupun tampak saling bertolak belakang namun konteks bacaan kita dalam Injil Yohanes menampilkan kebebalan kaum Yahudi yang berusaha mencari dan mendapatkan (baca: menangkap) Yesus namun menolak untuk mengakui asal-usul keilahian-Nya.
Sebagaimana yang telah diserukan oleh penulis kitab Amsal, “Pada waktu itu mereka akan berseru kepadaku, tetapi tidak akan kujawab, mereka akan bertekun mencari aku, tetapi tidak akan menemukan aku. Oleh karena mereka benci kepada pengetahuan dan tidak memilih takut akan TUHAN, tidak mau menerima nasihatku, tetapi menolak segala teguranku, maka mereka akan memakan buah perbuatan mereka, dan menjadi kenyang oleh rencana mereka. Sebab orang yang tak berpengalaman akan dibunuh oleh keengganannya, dan orang bebal akan dibinasakan oleh kelalaiannya.” (Amsal 1: 28-32)
Merayakan hari Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga di tengah pandemi COVID-19 mengajak kita untuk menyadari bahwa kita harus berani mendisiplinkan diri untuk tabah menelan pil pahit yang diakibatkan oleh pandemi ini baik bagi kehidupan pribadi kita masing-masing maupun kehidupan kita bersama sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Selain itu peringatan hari kenaikan Tuhan Yesus ini tidak kita rayakan dengan hingar-bingar di lingkungan UKDW karena memang hakikat dari peristiwa ini, untuk kita saat ini, adalah undangan untuk saling bahu-membahu melawan COVID-19 ini dengan menanggapi segenap keluhan dan ungkapan kekecewaan dalam tagar #IndonesiaTerserah dengan komitmen bersama melaksanakan protokol penanggulangan COVID-19 dengan penuh kedisiplinan. Semoga waktu yang Tuhan sudah percayakan kepada kita bisa kita gunakan untuk “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Semoga ini tidak hanya menjadi euforia sesaat belaka saja….mumpung kita masih diberi waktu!
Tetap semangat, tetap tabah dan tetap tinggal di rumah. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin. (PKK/Adham)