Bacaan: (2 Raja-raja 5 : 1-16)
Bangsa kita merayakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, yakni 72 tahun silam. Jika kita boleh menarik kenangan Indonesia saat terjadi kekosongan pemerintahan, mungkin kita semua teringat bagaimana para pejuang kala itu yang memperdebatkan kapan waktu yang tepat untuk memerdekakan Indonesia. Di antara mereka ada keyakinan bahwa kekosongan pemerintahan merupakan momen yang tepat, namun ada juga yang menyarankan untuk bersabar menunggu janji pemerintah Negara Jepang yang akan membantu bangsa Indonesia merdeka. Rasa percaya merupakan buah perdebatan utama waktu itu. Semua rakyat saat itu sama-sama mengalami kejenuhan, ketakutan, kesedihan akan penjajahan yang dialami selama 350 tahun. Namun jika waktu itu rakyat lebih memilih menunggu, mungkin empat hari yang lalu kita tidak akan merayakan kemerdekaan, bahkan untuk ke-72 kalinya. Ya, siapapun akan mengalami krisis kepercayaan ketika berada di tengah kesulitan hidup.
Seperti dalam nas yang menyatakan kisah Naaman yang tidak percaya, mungkin kita juga pernah mengalami krisis kepercayaan. Kenyataannya adalah bahwa keadaan sulit terus mendorong kita menjadi seseorang yang reaktif. Mengapa? Karena rasa takut dan sedih itu jauh bertumbuh lebih cepat mempengaruhi diri kita daripada rasa percaya. Keadaan itulah juga yang diekspresikan di ayat 7 ketika raja Israel mengoyakkan pakaiannya, sebagai kebiasaan bangsa Israel untuk memperlihatkan ketakutan dan kesedihan. Namun dari nas ini kita mau belajar, bahwa dalam keadaan sulit pun, di mana ada rasa takut dan sedih, kita harus tetap menunjukkan ketaatan kita kepada Allah. Dalam nas, ketika Naaman melihat kuasa Allah atas penyakitnya, ia pun akhirnya mengaku bahwa kekuasaan Allah lebih tinggi dibandingkan dengan kekuasaan apapun di bumi(ay.15).
Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah akan terlihat dari bagaimana cara kita berdoa kepada Allah. Seringkali doa yang kita panjatkan berisi permohonan-permohonan. Doa menjadi bentuk monolog, yaitu dari kita kepada Allah, bukan lagi dialog, yaitu mendengarkan suaraNya. Terlebih lagi kita pun berdoa jika hanya dalam keadaan terdesak atau mengalami pergumulan. Lalu kapan kita mengungkapkan syukur sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah? Untuk itu mari kita be-refleksi. Dalam perjalanan panjang kehidupan yang kita alami, khususnya dalam masa-masa sulit, apakah kita benar-benar sudah menjadi Kristen yang taat? Ketaatan kepada Allah sebenarnya juga dapat ditunjukkan dalam tugas panggilan kita di kampus ini, baik itu sebagai mahasiswa, dosen, rektorat dan para staff, maupun karyawan, yang tentunya masing-masing dari peranan tersebut juga mengalami masa-masa sulit.*(EFN).