Label Negatif Pada Anak

“Kamu diluar aja, ini acaranya orang dewasa nanti kamu ganggu”, “kamu diluar aja nanti di dalem berisik”, “ boleh di dalem tapi jangan berisik.” Tentunya kita sering mendengar atau bahkan terlontar dari mulut kita sendiri, kalimat-kalimat itu ditujukan pada anak-anak. Namun sadarkah? Kalimat tersebut menunjukan bahwa kita sebagai orang dewasa melakukan pembedaan pada anak, orang dewasa cenderung memberi label negatif pada anak. Anak-anak sering dianggap sebelah mata dan bahkan harus dihindarkan dari pertemuan penting atau ibadah yang mayoritas di dalamnya adalah orang dewasa. Anak-anak dianggap sebagai pengganggu karena dapat memecah konsentrasi atau sumber keberisikan. Padahal jiwa anak-anak bukankah memang riang dan gembira? Bukankah anak-anak merupakan pemilik masa depan, baik keluarga, gereja, bahkan masa depan sebuah bangsa.

Padahal pelabelan negatif pada anak dapat menyebabkan si anak merasa tidak berharga. Terlebih bila anak akhirnya bersikap menerima label “pengganggu” tersebut oleh karena lingkungan yang memperlakukannya demikian, maka hal ini seolah dapat menjadi pembenar. Walaupun sebenarnya si anak tidaklah demikian. Jadi akibat dari pelabelan tersebut menjadi “pembentuk” gambar diri negatif pada anak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gambaran diri anak juga dipengaruhi oleh lingkungan tinggal dan pernyataan orang dewasa terhadap diri si anak. Anak menjadi baik atau buruk perilakunya tergantung juga cara kita orang dewasa turut membentuknya. Jadi, bagaimana seharusnya anak-anak diperlakukan dan dilihat? 

Inspirasi Yesus: Menyambut Anak-Anak

Dari teks Markus 10:13-16, kita belajar bagaimana Yesus menyambut anak-anak. Ternyata sikap “merendahkan anal-anak” juga pernah dilakukan oleh para murid Yesus. Para murid menghalau anak-anak dan memarahi orang tua yang membawa anak-anak saat berdesak-desakan untuk berjumpa Yesus. Tradisi Yahudi sangat patriakal, kaum laki-laki dewasa menjadi prioritas dalam pertemuan-pertemuan, sedangkan perempuan dan anak haruslah dibelakang. Jadi ketika dilihat anak-anak juga mendesak maju, maka selain menyalahi tradisi, anak-anak hanya menambah semrawut suasana. Para murid menganggap keberadaan anak yang diajak dalam pertemuan itu mengganggu, tidak penting, dan orang dewasalah yang lebih penting. Para murid berpikir bahwa Yesus lebih tertarik dan berbicara kepada orang dewasa saja, karena orang dewasa dianggap dapat melakukan lebih banyak hal daripada anak-anak. Meski demikian dari ayat 13, ternyata kita dapat mengambil pelajaran juga, bahwa orang tua pada jaman itu, memiliki kesadaran untuk membawa anak-anaknya dekat kepada Yesus. Orang tua disatu sisi memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengajaran keagamaan dan cara hidup rohani yang benar. Itu sebabnya sentuhan Yesus bagi anak-anak secara langsung diyakini sangat penting dalam perkembangan ke depan, sehingga berbondong-bondong membawanya pada Yesus. Apalagi mulai muncul pemahaman baru bahwa Yesus adalah Mesias (Penyelamat Yang Datang).

Melihat para murid menghalangi anak-anak yang datang kepadaNya, Yesus sangat marah. Persepsi keliru tentang kehadiranNya dan cara pandang masyarakat yang menganggap anak dan perempuan sebagai kelas dua setelah laki-laki inilah yang harus dirubah. Semua orang, laki-laki, perempuan, dewasa dan anak-anak berhak mendapat perlakuan sama dalam KerajaanNya. Tidak ada diskriminasi sosial. Sikap Yesus sangat “wellcome”, Dia memerintahkan supaya anak-anak tersebut dibawa kepadaNya, dan tidak ada yang boleh menjadi penghalang. 

Yesus menunjukan perhatiannya pada anak-anak, dengan tidak menghalangi anak-anak untuk datang kepadaNya. Yesus tidak memberikan label yang negatif pada anak, sebagai pengganggu dalam melakukan pekerjaan-Nya. Ia bahkan mengakui, bahwa anak-anak merupakan anggota dari kerajaan Allah. Yesus mengajarkan konsep kesetaraan yang dibangunNya dalam Kerajaan Allah. Sehingga, baik orang dewasa dan anak-anak memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai bagian para pengikut diri-Nya. Melalui sikap Yesus, jelaslah bahwa pengenalan akan Allah jauh lebih baik jika dilakukan sejak dini, yaitu pada saat masa anak-anak.  Usia anak-anak belajar dan menyerap dari apa yang mereka lihat, alami dan lakukan bersama keluarganya dalam kehidupan mereka. Mereka menemukan pengetahuan tentang dunia di luar dirinya bersama keluarganya, demikian juga mengenali karya Allah melalui kejadian-kejadian yang mereka alami dan direfleksikan. Jadi cara Yesus menyambut anak-anak bahkan diberi prioritas lebih dibanding orang dewasa. Tugas orang dewasa yakni mengajari kehidupan dan memberikan rasa aman dalam komunitas publik yang lebih luas. 

Belajar Dari Seorang Anak 

Bagian yang menarik dari Yesus dan pandangannya terhadap anak-anak, yakni pengandaiannya tentang cara menyambut Kerajaan Allah sebagaimana anak kecil lakukan dalam penyambutan. Jadi selain soal kesetaraan dan mematahkan persepsi negatif tentang anak sebagai pengganggu, Yesus memilih anak-anak sebagai contoh sikap beriman akan Kerajaan Allah. Hal tersebut tertuang pada ayat 15: “….seperti anak kecil…” terdapat karakteristik seorang anak yang Yesus bicarakan di sini. Karakter apa yang Yesus bicarakan? Yesus berbicara tentang KEPERCAYAAN. anak-anak memiliki karakteristik sangat percaya.  Ini adalah karakter yang Yesus ingin tekankan kepada kita, bagaimana agar kita bisa masuk sebagai member KerajaanNya, yaitu dengan PERCAYA kepada Yesus sepenuhnya, tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena Yesus menjamin “status dan posisinya”. Belajar seperti anak-anak yang tidak berdaya, dan sangat bergantung kepada orang dewasa. Itulah yang Tuhan ingin agar kita belajar, dan bergantung total pada kuasa-Nya. Melalui ketaatan pada Allah (Obedience to God), setiap orang dewasa diingatkan untuk mengandalkan Tuhan dalam berproses menjadi bagian dari Keluarga Kerajaan Allah yakni keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih dan kesetaraan. 

Jika demikian anggapan yang rendah terhadap anak-anak, pengganggu, dan belum mampu mengerti apa yang menjadi pembahasan atau kebutuhan orang dewasa, sebaiknya ditinjau ulang. Sebab dalam diri anak-anak memiliki jiwa “percaya”, dan tugas orang dewasa adalah mendampingi dan mengarahkannya agar mereka pun dapat merefleksikan, serta turut berproses di dalamnya. Anak-anak begitu percaya dengan apa yang disampaikan oleh orang dewasa, ketidakberdayaan mereka menjadikan mereka berserah penuh pada orang yang lebih dewasa, dan hal inilah seharusnya kita contoh dalam menjalani hidup bersama Yesus. Kita sebagai manusia menyerahkan segala sesuatunya kepada Yesus. 

Anak dan Ruangan Hidupnya

Dari renungan di atas, tentunya kita kembali diingatkan bahwa sosok anak tidak boleh diremehkan, apalagi mendapatkan label yang negatif. Berangkat dari hal ini, sudah seharusnya kita menciptakan ruang yang nyaman, menginspirasi pertumbuhan karakter positif bagi anak. Ruangan yang dimaksud adalah “suasana dan dukungan orang dewasa” melalui pendidikan keagamaan yang inklusif, kerelaan orang dewasa sebagai pendamping bagi anak-anak, dan melibatkan anak-anak dalam proses pertumbuhan spiritualitas. Semua orang dewasa berkewajiban menyediakan diri untuk melindungi anak-anak di ruang publik yang tanpa sekat. Bagian ini penting, jika memperhatikan fenomena global yang sekarang terjadi lebih cepat diterima oleh anak jaman “now”. Logikanya, jika anak-anak mengenal apa artinya hidup melalui gadget, maka ia sedang belajar menjadi duplikat hidup dalam dunia gadget, tetapi jika anak belajar dari orang dewasa yang baik dan bijak, serta berkarakter Kristus, maka ia sedang belajar menjadi manusia yang memanusiakan sesamanya. 

Akhirnya dengan tidak adanya perbedaan, ataupun label negatif pada anak, akan membawa perkembangan diri dan spirit yang baik bagi anak. Jadi kualitas hidup anak dipengaruhi oleh kita sebagai orang dewasa. Selamat Hari Anak. ”If you can save childs from destroyed of life, that mean, you was bringing the Kingdom of God for them……….to save the childrens is our responsibility”. (Nanda-PKK UKDW).

Pin It on Pinterest

Share This