“Maaf itu menghapus bekas luka di hati, jadi tidak benar itu istilah saya maafkan tapi tidak saya lupakan. Kalau anda maafkan, anda harus lupakan, sudah tidak ada lagi di dalam hati.” 

Perkataan tersebut disampaikan M. Quraish Shihab, salah satu ahli tafsir Al-Qur’an di Indonesia dalam video bertajuk “Memaafkan Haruskah Melupakan?” yang dirilis di akun Youtube Najwa Shihab. Baginya, setiap manusia berpotensi melakukan kesalahan. Kesalahan yang orang lain lakukan dapat kita lakukan dalam bentuk yang sama meski di waktu yang berbeda. Untuk itulah sikap memaafkan sangat dibutuhkan dalam menjalin relasi kehidupan sesama manusia untuk menjaga keharmonisan. Perspektif M. Quraish Shihab tentang memaafkan menunjukkan bahwa maaf adalah cara yang paling ampuh untuk merawat kebersamaan. Maaf menghentikan kekecewaan akibat salah yang sengaja ataupun tak sengaja. Maaf juga menjadi pintu bagi mereka yang bersalah untuk kembali pada ruang yang benar dan memperbaiki kehidupannya.

Memaafkan atau mengampuni juga merupakan salah satu ajaran penting yang Yesus tekankan pada para murid-Nya. Salah satu teks yang menunjukan ajaran tersebut adalah Lukas 17:1-6. Dalam perikop pendek ini ada pesan kuat yang coba disampaikan oleh penulis Injil Lukas dalam refleksi imannya atas ajaran Yesus tentang meniadakan kesalahan seseorang.

Menyesatkan itu Suatu Kesalahan

Kemana dan kapanpun manusia pergi, pasti berpotensi untuk bertemu atau mendapatkan masalah. Mengapa? Secara sederhana, manusia memang bukan sosok sempurna yang bisa mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan harapannya atau harapan orang lain. Kesalahan-kesalahan kecil atau besar sangat mungkin terjadi. Inilah yang membuat manusia punya masalah. Penulis Injil Lukas juga menyadari bahwa manusia tidak bisa terlepas dari dosa atau kesalahan, karena hal-hal yang menyebabkan dosa tersebut ada di sekitarnya. Namun Yesus tidak menyoroti kekurangan manusia yang membuat mereka berkemungkinan untuk berbuat dosa. Yesus lebih menyoroti penyebab dosanya. Hal-hal yang menyebabkan dosa itulah yang disebut sebagai penyesat (ayat 1). Penulis Injil Lukas menunjukan bahwa Yesus tidak menoleransi orang-orang yang menyebabkan orang lain tersesat (melakukan kesalahan atau dosa). 

Manusia memang lemah. Sangat mudah melakukan kesalahan. Ia tidak dapat benar-benar menjaga dirinya agar tidak melakukan kesalahan. Namun Yesus memperingatkan supaya kita tidak dengan sengaja membuat orang lain menjatuhkan dirinya ke dalam dosa. Baik itu melalui perkataan (ajaran-ajaran yang tidak seturut dengan firman Allah dan membuat orang lain menjalankan kehidupannya berpatokan pada kehendaknya sendiri) ataupun perbuatan (segala sikap atau kebiasaan yang diteladankan kepada orang lain namun sebenarnya menunjukan ketidaktaatan pada Allah dan justru menjadi patokan bagi orang lain untuk menjalankan kehidupannya). Apa yang Yesus janjikan pada mereka yang menyesatkan orang lain? Hukuman yang berat!

Dalam Lukas 17:2 dituliskan, “Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.” Batu kilangan adalah sebuah batu berukuran besar dan padat yang biasa dipakai untuk menggiling gandum atau biji-bijian lainnya. Hukuman yang Yesus sebutkan merupakan sebuah hukuman yang diterapkan dalam budaya Syria dan Yunani untuk orang-orang yang melakukan kejahatan seperti pembunuhan bayi ataupun kejahatan yang mematikan banyak jiwa. Hal ini menunjukan bahwa Yesus melihat orang-orang yang menyesatkan orang lain adalah orang yang melakukan kejahatan yang besar! Mengapa? Bagi Yesus, keselamatan satu jiwa saja merupakan suatu hal yang sangat penting. Keselamatan yang dimaksud bukan hanya soal selamat dari maut, tetapi juga selamat yang berarti hidup sejahtera dan tenang seturut dengan apa yang Allah siapkan bagi mereka. Ketika seseorang bersalah, dirinya dipenuhi perasaan takut akan dosa yang ia lakukan, ataupun ia telah dibenci dan kemudian membenci orang lain, maka ia sudah tidak lagi selamat. Mereka yang mengakibatkan hal tersebut, para penyesat, adalah sosok yang harus dihukum. Hukumannya setara dengan orang-orang yang melakukan pembunuhan. 

Kita dapat melihat bahwa Yesus tidak mau pengikut-Nya membuat orang lain berbuat salah. Yesus tidak mengajarkan para murid-Nya menjadi penyebab dari kesalahan orang lain. Oleh karena para murid inilah yang akan melanjutkan karya pelayanan Yesus, hal ini sangat penting disampaikan kepada para murid.  Jangan sampai menyesatkan orang lain, jangan sampai segala kata dan lakumu membuat orang lain melakukan kesalahan! Jika itu terjadi, maka engkau sedang menjauhkannya dari keselamatan yang Allah hantarkan kepadanya! Yesus ingin para murid-Nya dapat meneruskan apa yang Ia lakukan. Bukan menjauhkan manusia dari Allah, tetapi justru mendekatkan manusia kepada Allah. Ketika para murid di masa itu (juga kita sebagai murid-murid-Nya di masa kini) hidup sebagai penyebab daripada kesalahan dan dosa orang lain, maka kita sedang menjadi penyesat, kita sedang menjauhkan sesama kita dari Allah. 

Mengampuni yang Salah, Menyelamatkan Jiwa yang Lemah

Yesus bukan hanya mengantisipasi para murid-Nya agar tidak menjadi penyesat, di ayat 3, disebutkan bahwa mereka pun harus menjaga diri mereka. Maksudnya adalah mereka harus waspada, para murid harus senantiasa menjaga kesadaran mereka tentang apa yang sesuai dengan kehendak Allah dan yang tidak sesuai. Kewaspadaan itu hendaklah dipakai mereka untuk menolong sesama mereka. “Jika saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia”, itu yang Yesus ajarkan pada para murid-Nya. Memang ada banyak orang yang melakukan kesalahan karena kekurangan atau ketidakmampuannya dalam melakukan apa yang Allah perintahkan. Tetapi tidak sedikit juga yang melakukan kesalahan karena orang di sekelilingnya tidak menegur dia agar tidak berbuat salah. Orang-orang di sekitarnya memilih untuk tidak peduli. 

Akhir tahun lalu saya sempat berkunjung ke Kantor Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga tersebut merupakan lembaga independen yang bertugas mengawasi kinerja pelayan publik baik di tingkat lokal maupun nasional. Sistem kerja mereka yaitu memproses laporan dari masyarakat tentang kasus-kasus maladministrasi yang dilakukan oleh pelayan publik. Salah satu syarat laporan diterima yaitu jika pelapor telah menegur lembaga atau pelaku sistem tentang kebijakan atau praktik pelayanan yang dilakukan yang memang merugikan masyarakat dan tidak sesuai dengan ketetapan yang semestinya. Jika pelapor belum menegur yang bersangkutan, maka kasus tersebut tidak bisa diproses. Bagi saya, hal ini sangat menarik apalagi jika kita menyorotinya dengan kacamata Lukas 17:3. Seseorang yang salah haruslah diingatkan. Kira-kira begitulah yang ingin diajarkan Yesus pada murid-murid-Nya, dan semangat itu juga yang dipakai Ombudsman RI dalam sistem kerjanya. Kesediaan diri untuk menegur mereka yang salah adalah sebentuk kepedulian konkrit dari satu orang terhadap yang lain. 

Dalam penjelasannya saat itu, pihak Ombudsman RI mengatakan bahwa pelaporan yang diterima oleh mereka masih sangat sedikit. Apakah itu berarti pelayanan publik di Indonesia sudah berjalan dengan baik? Tidak! Itu justru tanda bahwa masih sedikit masyarakat Indonesia yang tidak peduli pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pelayan publik. Negara yang pelayanan publiknya baik bukanlah negara tanpa keluhan dari masyarakat, tetapi justru mereka yang menerima banyak keluhan sehingga punya banyak referensi untuk memperbaharui sistem dan para pelaku sistem. 

Menegur orang lain agar ia tidak terus menerus berkubang dalam kesalahannya juga termasuk dalam perbuatan kasih. Kritik dan teguran adalah pagar bagi seseorang agar dapat berjalan dan bertumbuh di tempat yang baik. Semakin aktif kita memperhatikan orang lain dan memberikan kritik pada mereka, semakin kecil peluangnya untuk melakukan kesalahan. 

Ketika seseorang sudah terlanjur melakukan kesalahan, kemudian ia menyesali perbuatannya, Yesus mengajari para murid-Nya untuk mengampuni (ayat 3). Yesus menginginkan para murid-Nya punya hati yang ringan dalam memberi pengampunan. Dalam hal ini bukan berarti Yesus berkompromi dengan dosa dan kesalahan, penekanannya bukan tentang itu. Ia sadar bahwa manusia memang lemah, ada banyak hal dari dalam maupun luar dirinya yang membuatnya melakukan kesalahan dalam keseharian. Memberikan pengampunan adalah cara yang baik untuk merawat relasi antar sesama manusia. Kita tidak akan kehilangan apa-apa ketika kita mengampuni orang lain, sesering apapun itu. 

Sebagai seorang manusia, kita berpotensi untuk melakukan kesalahan yang dilakukan orang lain, mungkin hanya berbeda waktu dan kesempatan saja. Tentu tidak ada manusia yang ingin dengan sengaja melakukan kesalahan atau dosa di dalam kesehariannya, apalagi yang membuatnya menjadi tidak sejahtera. Ketika seseorang telah menyadari kesalahannya kemudian ia menyesal, sebenarnya ia sudah melalui masa yang sulit karena menemukan diri berada dalam kesalahan merupakan hal yang menyesakkan. Maka mengampuni adalah sebuah upaya dari kita untuk meringankan beban beratnya. Dari sini kita dapat melihat bahwa memberi pengampunan kepada mereka yang telah menyesal atas salahnya juga merupakan sebuah upaya untuk memberikan keselamatan kepada jiwa yang lemah. Ketika mereka terus menerus terperosok pada kesalahan namun menyesal dan butuh dukungan, maka kita pun harus terus menerus melepaskan pengampunan.

Iman yang Memampukan

Perikop pendek yang ditulis penulis Injil Lukas ini menunjukan pesan-pesan yang berarti tentang menghadapi orang yang berbuat salah. Murid-murid Yesus di masa itu juga di masa kini diberikan ajaran untuk tidak menyebabkan orang lain berbuat dosa atau kesalahan (tidak menyesatkan), menegur orang lain yang sedang atau akan berbuat salah (mencegah kesalahan), dan meringankan beban orang yang telah menyesali kesalahannya (memberikan pengampunan). 

Apa yang diajarkan Yesus ini bukan sesuatu yang mudah bagi manusia biasa! Maka wajarlah para murid-Nya berkata, “Tambahkanlah iman kami!” (ayat 5). Setiap manusia punya kekurangan terutama keegoisan yang membuatnya senantiasa berpusat pada kepentingan dirinya sendiri. Ajaran yang disampaikan Yesus mengarahkan mereka untuk senantiasa menunjukan kepedulian terhadap orang di sekitar mereka. Mereka harus punya ketaatan untuk dapat mengolah diri agar dapat memberikan teladan kebaikan supaya tidak menyesatkan orang lain melalui perkataan ataupun tindakannya. Mereka harus punya keberanian dan kepedulian untuk menegur juga mengampuni orang lain. Terlebih, mereka harus memiliki iman kepada Allah yang mengajarkan cinta kasih, iman yang mengarah kepada Allah. Tak perlu sebesar gunung. Yesus katakan iman sebesar biji sesawi (yang nyatanya sebenarnya sangat kecil) bisa memampukan mereka melakukan hal-hal yang besar (ayat 6), termasuk meniadakaan salah di antara kita dan sesama. Perkataan Yesus ini menunjukkan jika Ia mengerti bahwa para murid-Nya punya keterbatasan. Dan Ia mengingatkan bahwa iman yang mereka miliki akan memampukan mereka. Iman itu adalah tanda bahwa Allah juga bekerja bersama dengan mereka untuk meniadakan salah di antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Allah bekerja bersama dengan mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang lemah dari dosa dan kesalahan dengan tidak menyesatkan mereka, dengan menegur dan mengampuni mereka. 

Memaafkan atau mengampuni adalah tugas kita dalam menjaga relasi kita dengan sesama. Kita berupaya meniadakan salah lewat memaafkan atau mengampuni. Maka apa yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab adalah benar adanya, ketika kita memaafkan sudah semestinya kita melupakan kesalahan seseorang karena maaf atau ampun itu adalah jalan yang kita pilih untuk merawat relasi yang sempat rusak karena kesalahan. Yesus bahkan meminta kita untuk tidak hanya melupakan kesalahan orang lain. Kita diarahkan untuk membantu seseorang selesai dengan kesalahannya dengan cara mengampuni mereka, menegur mereka jika mereka hendak atau sedang berbuat salah, juga tidak menyesatkan mereka agar mereka tidak melakukan kesalahan. Meski kita lemah dan sangat rentan salah, kiranya ajaran Yesus ini menguatkan dan mendorong kita untuk berbenah serta meniadakan salah antara kita dengan Allah dan sesama manusia. (Ester Novaria, S.Si (Teol)/ Pusat Kerohanian Kampus)

Pin It on Pinterest

Share This