Di Kupang, kekristenan merupakan komunitas beragama terbesar dan tersebar, dengan gereja Protestan dan Katolik yang berdiri di setiap sudut kota. “Kupang adalah tempat di mana pluralitas agama dan tradisi gereja sangat terasa. Hal ini menjadi pendorong bagi saya untuk terlibat lebih dalam pelayanan ekumenis,” ungkap Castio. Melalui Komunitas Solidaritas Misericordia, yang beroperasi di bawah payung Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Keuskupan Agung Kupang, Castio bersama komunitasnya berusaha menawarkan semangat rekonsiliasi dan dialog kerja sama antar gereja.
Salah satu momen penting dalam perjalanan ekumenisnya terjadi pada Pekan Doa Sedunia (18-25 Januari) tahun 2021. Castio memotori dialog ekumenis antara Gereja Paroki St. Helena dan Gereja GMIT Sion Camplong, melibatkan berbagai komunitas gereja untuk bersama-sama melakukan pendalaman Alkitab. “Dialog ini kami gunakan sebagai jembatan pemersatu dan saluran rekonsiliasi di antara perbedaan yang ada,” kenang Castio. Acara tersebut tidak hanya berhenti pada diskusi teologis, tetapi ditutup dengan aksi nyata berupa penanaman 1.000 bibit pohon di Hutan Camplong, Kupang. Baginya, teologi ekumenis tidak hanya hidup dalam doa dan komunitas internal, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang mencerminkan pertobatan ekologis.
Motivasi Castio dalam mengembangkan cinta gereja dan ekumenisme tidak terlepas dari keyakinannya bahwa perbedaan adalah sebuah kekayaan yang harus dirayakan. “Persahabatan lintas gereja bagi saya adalah sebuah anugerah yang meskipun dibalut perbedaan, namun mampu memperkaya makna perjalanan spiritual kita di dunia ini,” ujarnya dengan penuh semangat. Bagi Castio, ekumenisme bukanlah tentang menghilangkan perbedaan, tetapi tentang bagaimana kita bisa berjalan bersama, saling belajar, dan saling menghormati di tengah-tengah perbedaan tersebut.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, Castio melihat adanya kebutuhan mendesak bagi gereja untuk beradaptasi tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar yang dipegang teguh. “Gereja harus mampu menemukan cara-cara pewartaan baru yang memanfaatkan teknologi digital seperti YouTube, Facebook, dan platform lainnya. Hal ini penting agar pesan Kabar Baik bisa diakses oleh semua orang beriman, tanpa meniadakan esensi pewartaan liturgis yang lazim,” jelasnya. Menurut Castio, di era digital ini, evangelisasi memiliki sifat misioner yang harus mampu menembus batas zaman dan membawa pesan keselamatan kepada semua orang.
Keterbukaan diri juga menjadi kunci untuk mampu beradaptasi dalam perbedaan. Hal inilah yang membawa Castio untuk mempelajari banyak hal baru dengan bergabung di banyak komunitas, termasuk Taize. Terlebih ketika pada tahun 2024 ini, selama 4 bulan Castio mendapat kesempatan mengikuti kegiatan Pertemuan Kaum Muda Internasional di Taize, Perancis. Taize, sebuah komunitas biara ekumenis di Perancis, menawarkan pengalaman yang sangat mendalam bagi Castio. “Di Taize, saya menemukan kedamaian yang luar biasa melalui doa dan meditasi. Namun, lebih dari itu, Taize mengajarkan saya tentang keseimbangan antara hidup doa dan hidup karya,” ujar Castio. Di sana, hidup doa dan kerja nyata saling melengkapi, para Bruder dan umat yang datang dari berbagai belahan dunia bersama-sama mengerjakan pekerjaan umum untuk kebutuhan komunitas, seperti memasak, membersihkan, dan menyiapkan gereja.
Salah satu pengalaman yang sangat berarti bagi Castio adalah pertemuannya dengan beberapa pemimpin gereja ternama, seperti Kardinal Jose Cobo Cano dari Spanyol dan Metropolitan Paris Dimitros Ploumis. “Pertemuan ini adalah momen spesial bagi saya, di mana saya diberi kesempatan untuk berbincang tentang kekristenan di Indonesia dengan mereka. Ini adalah sebuah kehormatan dan menggambarkan kerendahan hati seorang pemimpin gereja,” kenang Castio. Dalam pertemuan tersebut, ia merasa sangat terhormat bisa berbicara tentang kondisi kekristenan di Indonesia, sekaligus merasakan perhatian khusus dari para pemimpin gereja internasional terhadap dialog bersama kaum muda sebagai masa depan gereja.
Bagi Castio, Taize bukan hanya tentang kontemplasi spiritual, tetapi juga tentang hidup dalam komunitas yang saling mendukung dan mengasihi. “Pengalaman hidup bersama di Taize menggambarkan realitas kerajaan Allah, di mana semua orang dihimpun dalam kasih-Nya untuk hidup dalam damai,” tambahnya.
Pengalaman di Taize memberikan kontribusi yang sangat besar bagi iman Castio. “Taize mengajarkan saya untuk hidup dalam doa meditatif dan mengerjakan karya dengan cara pandang yang berpusat pada kemuliaan Tuhan, bukan untuk diri sendiri,” ungkapnya. Bagi Castio, kesempatan untuk melayani hingga ke negeri orang adalah sebuah anugerah yang memberinya makna mendalam dalam mengerjakan keselamatan.
Berbicara tentang perannya sebagai kaum muda, perjalanan kuliah Castio di UKDW dimulai pada tahun 2020, di tengah pandemi COVID-19. Sebagian besar masa perkuliahan dia lakukan secara daring dari Kota Kupang. “Pada awal tahun 2023, saya akhirnya bisa menjalani kuliah offline di Yogyakarta. Di sini, saya memilih untuk bergabung dengan komunitas Doa dengan Nyanyian Taize (DNTZ) bersama Campus Ministry UKDW. Hal ini menjadi pengalaman yang sangat bermakna di masa akhir perkuliahan saya,” kenangnya. Meskipun singkat, pengalaman ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi Castio, baik dalam aspek spiritual maupun akademis.
Sebagai Ketua Tim Doa di Doa dengan Nyanyian Taize (DNTZ) UKDW, Castio tidak hanya membawa semangat ekumenisme yang ia kembangkan di Kupang, tetapi juga memperluas jangkauannya di Yogyakarta. Setiap bulan, Doa Taize UKDW selalu diwarnai dengan kehadiran jemaat dari berbagai gereja, baik Katolik maupun Protestan. “Kami selalu berusaha untuk melibatkan berbagai komunitas gereja dalam setiap kegiatan doa. Bahkan, pada 29-30 September 2023, DNTZ UKDW bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menanam sekitar 100 anakan pohon di tiga lokasi berbeda di Yogyakarta,” ungkapnya dengan antusias.
Mempertemukan tradisi gereja Protestan dan Katolik, bagi Castio, adalah sebuah tantangan besar, namun bukan sesuatu yang tidak mungkin. Ia menekankan pentingnya orientasi kepada Kristus sebagai kepala gereja dalam setiap kerjasama ekumenis. “Ekumenisme bukan berarti mencampurbaurkan segala sesuatu. Perbedaan adalah panggilan dari sebuah ekumenisme. Oleh karena itu, perbedaan antara gereja-gereja tidak boleh disepelekan, tetapi justru harus diterima dan dihargai satu sama lain sebagai cara untuk membawa umat menuju Kristus,” tegasnya.
Sebagai seorang yang aktif dalam pelayanan gereja, Castio memiliki harapan besar bagi kaum muda gereja di Indonesia. “Kaum muda adalah ujung tombak masa depan gereja. Saya berharap mereka dapat bangkit dan bergerak dengan keberanian untuk memberi kesaksian hidup, meskipun menghadapi berbagai tantangan,” kata Castio dengan penuh keyakinan. Ia percaya bahwa kaum muda memiliki peran penting dalam membawa gereja ke arah yang lebih relevan dan kontekstual di masa depan.
Dengan latar belakang yang kuat dalam ekumenisme dan pelayanan, Castio Richardo Ludji terus melangkah dengan semangat dan harapan menuju masa depan yang cerah. Dia membawa pesan persatuan, cinta gereja, dan misi Kristus ke semua orang, dengan keyakinan bahwa setiap langkahnya adalah bagian dari panggilan yang lebih besar untuk menghidupi dan menyebarkan kasih Tuhan di dunia ini. Castio percaya bahwa dengan berjalan bersama, meskipun dalam perbedaan, kita semua bisa menuju pada satu tujuan yang sama—yaitu Kristus, Sang Kepala Gereja. [vio]