BACAAN ALKITAB: Roma 8:18-30, ayat nas 28.
8:28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. |
Warga UKDW yang terkasih, Salam SORBUM!
Rubrik Siraman Rohani edisi khusus Dies Natalis ke-58 Duta Wacana kembali menjumpai Anda sekalian. Kali ini tema utama yang akan kita renungkan bersama-sama adalah “Melibatkan Diri dalam Pemulihan Keutuhan Ciptaan”. Terkait dengan tema ini, kami ingin menggaungkan kembali satu pertanyaan yang mungkin sudah ribuan kali didengungkan oleh banyak pihak yaitu bagaimana kiprah manusia terhadap alam dan sejauh mana manusia membangun relasi dengan alam?
Siraman Rohani kali ini ingin kami awali dengan sebuah cerita dari Tanah Poso, di Sulawesi Tengah. Cerita tentang keprihatinan warga nelayan kecil di sekitar Danau Poso yang penghasilannya berkurang drastis saat proyek pembangunan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sedang giat dilakukan di muara Danau Poso. Cerita yang kami angkat di rubrik ini bukan dalam rangka mendiskreditkan pihak-pihak tertentu, namun bertujuan untuk melihat salah satu contoh bagaimana kiprah manusia dan teknologinya, dengan segenap pengaruhnya (baik pengaruh positif atau negatif), ikut bertanggung jawab atas perubahan yang terjadi dalam sebuah ekosistem.
Ceritanya begini, kita mulai dengan mengenal kata ‘morono’ yang artinya sebuah tradisi menangkap ikan kecil di Danau Poso. Tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya secara berkesinambungan. Inilah sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Cara mereka menangkap ikan pun juga sangat sederhana, hanya dengan sebuah perahu sederhana tanpa mesin, dikayuh dengan tangan, diterangi hanya dengan lampu petromaks berbahan bakar minyak tanah, jala yang telah usang dan seribu kilometer kesabaran. Ikan Rono adalah sejenis ikan kecil atau ikan teri air tawar yang dulunya banyak ditemui menghuni perairan Danau Poso dan jumlahnya berlimpah.
Desmon seorang ‘Toporono’ (nelayan ikan Rono) yang sudah turun-temurun menggeluti usaha kecil ini. Kakek buyut, kakek, dan ayahnya juga ikut melestarikan tradisi ini dengan mewariskan budaya Toporono ini ke Desmon. Kini tiba gilirannya bagi Desmon untuk mengasah kemampuannya dalam menangkap ikan Rono. Hampir tengah malam dia mengayuh perahunya melintasi gelombang-gelombang kecil perairan Danau Poso menuju gabus-gabus yang sudah ditaruhnya di tempat-tempat di mana dia perkirakan banyak ikan Rono sedang berkumpul. Dengan hati-hati dia meletakkan dua lampu petromaks yang dibawanya ke atas gabus-gabus mengapung itu. Setelah itu dengan hati-hati dia menyingkir ke tepian danau dan menunggu di sana sekitar dua jam sambil menghisap sebatang rokok. Desmon menunggu sampai ada banyak ikan Rono yang berkerumun di sekitar sumber cahaya. Ikan Rono sangat sensitif dengan cahaya, jika ada sumber cahaya maka mereka mendekatinya karena biasanya dimana ada cahaya, di situ ada sumber makanan.
Setelah dua jam menunggu Desmon kembali menghampiri dua lampu petromaksnya tadi. Dia bergerak dan mengayuh perahunya hampir tanpa bersuara dan hampir-hampir tidak menimbulkan riak air agar tidak mengagetkan ikan-ikan Rono yang sedang berkerumun tadi. Diangkatnya kedua lampu petromaks dengan hati-hati ke atas perahunya dan dengan gerakan sangat pelan dikayuhnya perahu ke tepian danau. Jarak 30 meter yang biasanya hanya ditempuh 10 menit bisa ditempuh sejam jika sedang menggiring ikan-ikan kecil tadi. Sekumpulan kecil ikan Rono mengikuti sumber cahaya dan Desmon. Sesampai ke tepian Desmon menggunakan jalanya untuk menangkap ikan-ikan Rono tadi. Sambil menghela nafas, Desmon melihat hasil tangkapannya dengan pandangan sedih dan tak bersemangat. Malam itu hanya sekitar setengah tong saja hasil tangkapannya. Tak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan anak dan istrinya.
Sebelum mesin-mesin pengeruk pasir proyek PLTA baru itu menderu mengeruk deposit pasir di dasar mulut muara Danau Poso, Desmon bisa menangkap sampai dua tong atau paling tidak satu setengah tong ikan Rono tiap kali dia ber-‘toporono’. Satu tong dihitung 30 kati (1 kati = semangkuk kecil) ikan rono. Kalau harga normalnya satu kati itu dihargai Rp. 10.000,- maka satu kali tangkapan Desmon bisa untung sekitar Rp. 300.000,- jumlah yang cukup untuk menghidupi keluarganya kala itu. Namun dengan adanya proyek PLTA baru itu, penghasilan Desmon turun drastis, belum ditambah lagi pandemi COVID-19 yang melanda dunia ikut berimbas juga di lingkungan masyarakat sekitar Danau Poso.
Lampu-lampu petromaks milik Desmon kalah terang dengan lampu LED raksasa yang bertengger di tiap kapal keruk PLTA baru itu. Tentu saja semua ikan Rono akan memilih cahaya yang lebih terang untuk dihampiri, namun ternyata suara deru mesin pengeruk itu membuat kerumunan ikan Rono mudah takut dan jika sudah sekali terkejut mereka tidak mau kembali lagi ke permukaan. Semakin banyak ikan Rono bersembunyi di dasar Danau Poso dan menghindari permukaan air, karena takut dengan getaran yang ditimbulkan oleh mesin pengeruk pasir milik proyek PLTA tadi. Proyek PLTA baru itu tidak hanya berpotensi menghilangkan nafkah kehidupan Desmon tapi juga berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem muara Danau Poso dimana biasanya banyak ditemukan kerumunan ikan Rono yang menjadi tumpuan nafkah hidup para nelayan ikan Rono (Torono).
Cerita Desmon ini mewakili satu di antara ratusan kisah masyarakat sekitar Danau Poso yang sedang berjuang untuk mempertahankan serta melindungi keutuhan dan kelestarian ekosistem Danau Poso dari imbas negatif yang disebabkan proyek PLTA baru tadi. Cerita-cerita ini didokumentasikan oleh Institut Mosintuwu (http://www.mosintuwu.com/), sebuah lembaga non-pemerintah yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat di sekitar Danau Poso yang memiliki sejarah kelam konflik berdarah dengan latar belakang agama (Desember 1998 – Juni 2000). Institut Mosintuwu punya tujuan untuk menjaga repertoar narasi-narasi dari akar rumput yang menjadi jalan bagi pelestarian kebajikan dan kearifan lokal setempat yang memandang bahwa Danau Poso sebagai sumber dari kehidupan mereka sehari-hari. Narasi-narasi akar rumput tadi selain menjadi wujud nyata dari sebuah spiritualitas ‘jalan kebenaran’ yang berusaha memberikan suara bagi masyarakat kecil yang di Republik Indonesia tercinta ini seringkali suaranya diabaikan oleh pihak-pihak pembuat kebijakan.
Kisah Desmon ini ingin kami gunakan sebagai kacamata untuk membaca dan merenungkan teks bacaan kita hari ini. Bagian dari surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma yang kita baca saat ini berbicara tentang bagaimana alam semesta sedang mengalami kesakitan selayaknya seorang perempuan yang mengalami kesakitan saat melahirkan buah hatinya. Alam semesta yang dipahami dalam surat Roma adalah alam ciptaan yang telah jatuh ke dalam dosa seiring dengan kejatuhan manusia pertama dalam dosa. Alam dan manusia yang telah jatuh dalam dosa ini dirangkul oleh karya penyelamatan Kristus. Bagian pasal 8:18-30 ini merupakan bagian yang sangat puitis dan cukup powerful dalam artian membuka wawasan kita bahwa karya penyelamatan Kristus tidak hanya ditujukan kepada semua manusia di bumi ini melainkan juga mencakup alam semesta ciptaan Tuhan. Paulus sebagai penulis dari surat ini, tidak hanya menjadi saksi dari kebangkitan Kristus namun juga sebagai pemberita yang gigih memproklamirkan kekuatan kebangkitan Kristus ini. Paulus punya kepercayaan diri penuh bahwa kebangkitan Kristus sanggup memulihkan kembali hubungan Allah dengan manusia yang telah retak oleh kejatuhan manusia dalam dosa.
Menggunakan kacamata Desmon maka kita seakan dituntun untuk melihat bahwa potensi kerusakan ekosistem yang sedang mengancam kelangsungan hidup baik alam sekitar, flora dan fauna serta semua orang yang sejauh ini menggantungkan mata pencaharian mereka dari sumber daya alam yang dapat mereka temukan di Danau Poso. Penderitaan yang sedang dibicarakan oleh Paulus di Roma 8:18 mengacu pada penderitaan alam semesta yang telah dinodai oleh noktah merah dosa manusia pertama dan harus ikut menanggung konsekuensi yang mengikutinya (bandingkan Kejadian 3:14-19). Kegelisahan Desmon adalah ketika ia melihat bagaimana penderitaan alam Danau Poso ini seakan tiada bertepi. Kerusakan alam Danau Poso yang sudah di ambang pintu itu tidak hanya gambaran kerusakan alam lokal tapi juga salah satu contoh dari beragam kerusakan alam yang terjadi secara global di bumi kita ini. Kerusakan alam yang dilakukan manusia dalam waktu singkat ternyata tidak sebanding dengan waktu yang dibutuhkan alam untuk memulihkan kembali dirinya ke keadaan semula. Seakan kerusakan alam yang sedang terjadi di sekitar Danau Poso menjadi gambar bisu yang berbicara tentang kejatuhan dan kerapuhan manusia itu sendiri.
Nature doesn’t need people. People need nature. (www.conservationinternational.org) Alam tidak butuh manusia, manusia lah yang membutuhkan alam. Seakan kutipan ini membuat kita tersadarkan bahwa tanpa alam kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini tentunya juga akan terancam. Jika alam dan akal sehat manusia telah menekan ‘tombol sirene’ tanda bahaya bencana akan segera datang, maka sudah seharusnya kita sigap pilih sikap antara ‘fight’ (berjuang, bertarung) atau ‘flight’ (lari dari kenyataan dan berharap untuk selamat). Tentu saja kami ingin undang Anda untuk berjuang bersama dan ikut terlibat dalam usaha memulihkan keadaan ini. Tujuannya tentu saja bukanlah demi kemuliaan manusia semata melainkan juga untuk membawa hati dan akal sehat kita semakin rendah hati di hadapan kebesaran alam dan Allah yang telah menghidupi dan memberkati kita selama ini.
Tentu saja kita tidak bisa menutup mata bahwa konteks Paulus berbicara masalah penderitaan di Roma salah satunya adalah derita penganiayaan yang dialami para pembacanya oleh karena iman mereka kepada Tuhan Yesus. Paulus secara tersurat dan tersirat menyebut pembacanya sebagai ‘yang mengasihi Allah’ (Roma 8:28). Ungkapan ini mengajak para pembaca surat ini untuk memegang teguh iman kepada Kristus yang telah bangkit terutama di kala penganiayaan mendera hidup mereka. Ungkapan ini juga mengingatkan mereka bahwa ‘Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia’ (ay. 28b). Hal baik yang akan terjadi sebaiknya jangan dimaknai sebagai imbalan, hadiah atau reward dari iman. Paulus mengajak pembacanya melihat bahwa Allah tetap bisa menggunakan pengalaman pahit penganiayaan mereka ini sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan ilahi yang sudah direncanakan-Nya. Tidak ada usaha manusia yang dalam hal ini dapat menggagalkan rencana Tuhan. Ini bisa kita maknai sebagai anjuran untuk menemukan percikan-percikan harapan saat situasi hidup memaksa kita untuk tidak berpengharapan.
Sebagaimana Desmon yang ada di Poso, kita yang saat ini di Yogyakarta dan sedang merayakan Dies Natalis ke-58 Duta Wacana juga diundang untuk merayakan peristiwa ini tidak hanya dalam suasana penuh kesederhanaan, keprihatinan tetapi juga dalam suasana penuh harap. Ratusan mahasiswa baru UKDW angkatan 2020 juga mengikuti Dies Natalis ini secara daring. Mungkin inilah saatnya yang tepat untuk menularkan semangat untuk peka akan apa yang sedang terjadi di lingkungan masing-masing dan melihatnya dengan kacamata seseorang yang ‘mengasihi Allah’.
Ikut serta dalam pemulihan alam ciptaan Tuhan hendaknya dimulai dari hal terkecil yang kita amati sedang terjadi di lingkungan kita masing-masing. Mungkin di masa pandemi ini kita tidak punya banyak waktu dan alasan untuk keluar rumah. Namun kami ingin mengajak seluruh keluarga besar UKDW untuk sesekali tidak lupa keluar rumah, jalan kaki, bersepeda atau melakukan olahraga ringan lainnya, sambil melihat apa yang sedang terjadi di alam sekitar kita. Kira-kira apa yang kita lihat dan temukan di sana? Apakah masih ada celah yang memungkinkan kita untuk menunjukkan kasih kita kepada Allah melalui tindakan nyata yang kecil untuk membuat alam di sekitar Anda dan saya menjadi lebih layak huni dan sedap dipandang mata (livable & likeable).
Akhir kata, kami ucapkan Dirgahayu kampus UKDW, tetaplah setia menghidupi panggilan menjadi pendidik putra-putri bangsa Indonesia yang berkepribadian taat pada Allah, berintegritas, punya tekad untuk memberi yang terbaik dari kemampuan mereka, dan berkarakter untuk melayani dunia dengan segala carut-marutnya atas dasar kasih. Kiranya Allah Sang Sumber kehidupan senantiasa mendampingi kiprah UKDW di bumi Nusantara ini. Salam SORBUM!
(A.K. Satria, staf PKK, 24-10-2020)