Ruang Seminar Pdt. Dr. Tasdik, Ruang Seminar Pdt. Dr. Harun Hadiwijono, dan Lecture Hall Pdt. Dr. Rudi Budiman adalah tiga dari banyak ruangan di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta yang menyandang nama tiga tokoh besar yang berjasa dalam perkembangan Duta Wacana terutama pada masa-masa awal pendiriannya. Ruangan-ruangan ini kerap digunakan sebagai tempat seminar dan rapat. Namun tahukah kita siapa sebenarnya mereka dan apa peran mereka bagi Duta Wacana? Siraman Rohani edisi Dies Natalis ke-57 Duta Wacana kali ini mencoba menghadirkan kembali pandangan atau visi awal dari tiga tokoh besar tersebut tentang pendirian Duta Wacana dan mencoba merenungkannya dari sudut pandang nilai-nilai ke-Duta Wacana-an yang seringkali digaungkan di lingkungan UKDW yang didasarkan pada perenungan atas Mazmur 127:1-5. Nilai-nilai tersebut terangkum dalam empat kata mutiara yakni Obedience, Integrity, Excellence, Service (O.I.E.S).
Perintisan, pengakaran, pertumbuhan, dan perkembangan Duta Wacana bukanlah melalui proses ‘cepat saji’ melainkan telah melalui proses jatuh bangun yang panjang, penuh liku, dan terus bergulir seiring dengan perkembangan zaman. Perjalanan ini tentu saja membutuhkan banyak pengorbanan waktu, tenaga, dan pemikiran dari tokoh-tokoh perintis serta para pendukung UKDW. Seiring berjalannya waktu, tidak heran jika ketiga tokoh di atas juga menganggap Duta Wacana sebagai rumah mereka. Yogyakarta sebagai kota tempat berdirinya Duta Wacana juga menjadi lokus dan konteks berkiprahnya ketiga tokoh di atas dalam kapasitas mereka sebagai anggota masyarakat. Sedangkan dalam pergulatannya sehari-hari, Duta Wacana juga memikul tanggung jawab guna mempersiapkan insan-insan muda Indonesia yang profesional di bidangnya masing-masing bak anak panah yang dipersiapkan di tabung panah guna melesat dan menjawab tantangan-tantangan di masa yang akan datang (Mazmur 127:4-5).
Baik Pak Tasdik, Pak Rudy Budiman, dan Pak Harun Hadiwijono adalah rekan sejawat sebagai Dosen Teologi di UKDW. Dalam karya-karya pengabdian mereka baik di dalam maupun di luar UKDW mereka tidak pernah luput untuk mengandalkan campur tangan Tuhan. Demikian pula kata-kata kebijaksanaan dalam Mazmur 127:1-5 yang mengundang kita untuk menelaah lebih jauh kedalaman makna dari kelapangan hati umat beriman untuk mengandalkan kekuatan Tuhan dalam segala laku kehidupannya.
Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya (Mazmur 127:1a)
Kitab Mazmur 127 seringkali diyakini mengusung tema campur tangan Tuhan dalam pembangunan rumah, kota, dan keluarga. Dalam Perjanjian Lama tidak asing untuk membicarakan kata ‘rumah’ dalam artian sebagai sebuah ‘bangunan keluarga’ atau ‘rumah tangga’. Ditambah lagi akar kata anak laki-laki (ben), anak perempuan (bath), dan rumah (beith) memiliki kedekatan dengan kata membangun yang dalam bahasa Ibraninya berbunyi ‘banah’. Sebagaimana bahan material bangunan seperti batu, kayu, pasir, batu-bata, besi baja, dan paku yang digunakan para pembangun untuk membangun sebuah rumah demikian pula anak-anak di sini diandaikan sebagai pilar terbangunnya sebuah bangunan rumah tangga.
Namun pemahaman ini mengandaikan sebuah bangunan yang mati dan tidak berpindah tempat atau hidup berumah tangga yang dipahami sebagai siklus tetap yang wajib dilalui. Di ayat 3-5 anak tidak dipandang lagi sebagai pilar namun sebagai milik pusaka dari pada TUHAN (ayat 3). Pusaka itu bentuknya adalah anak-anak panah (ayat 4) yang disiapkan dan dimasukkan ke dalam tabung panah (ayat 5). Senjata pusaka biasanya hanya digunakan sebagai senjata terakhir untuk memukul mundur lawan. Di sini anak-anak panah ini seakan-akan menjadi semacam jaminan bagi sang pemanah bahwa kekuatan yang dia miliki sudah cukup kuat untuk melawan musuh yang mengancamnya. Dia sudah menyiapkan anak-anak panah tersebut dengan baik dan siap menggunakannya untuk berhadapan dengan musuh-musuh di pintu gerbang (ayat 5b). Sang pemanah dalam Mazmur tidak bermaksud untuk menggunakan anak-anak panah itu untuk melukai musuhnya. Dia hanya ingin agar musuh di pintu gerbang yang jadi lawan bicaranya tahu bahwa di tabung panahnya masih ada cukup banyak anak-anak panah yang siap digunakannya. Agar dalam pembicaraan dengan pihak musuh dia akan punya wibawa yang cukup kuat agar nilai atau posisi tawarnya bisa lebih baik lagi.
Sebagaimana yang Pak Tasdik telah teladankan di sepanjang hidupnya, ayat di atas juga bisa dibaca sebagai berikut: Jika bukan TUHAN yang menolong, maka sia-sialah usaha sivitas akademika UKDW untuk mendirikan Rumah Duta Wacana. Ada banyak pihak dan lembaga-lembaga gerejawi di Indonesia yang berdiri di belakang Rumah Duta Wacana ini dan siap mendukungnya. Mereka tidak sendiri namun dengan bergandeng tangan mereka saling bahu-membahu mewujudkan cita-cita bersama membesarkan Duta Wacana.
Saat Sekolah Tinggi Theologia (STTh) Duta Wacana diresmikan pendiriannya pada tanggal 31 Oktober 1962, Pak Tasdik masih ada di Malang dan belum pindah ke Yogyakarta. Dengan mobil pinjaman dia rela mondar-mandir Malang-Yogyakarta tanpa kenal lelah demi melaksanakan tugas mengajar dan mendampingi mahasiswanya dalam belajar teologi. Sebagai dosen dan pimpinan aktif IPTh Bale Wiyata Malang, dia harus pindah ke Yogyakarta dan menjadi dosen di STTh Duta Wacana. Visi Pak Tasdik saat itu cukup sederhana namun punya jangkauan yang jauh dan luas. Dalam dirinya bergelora semangat untuk berjuang demi kepentingan gereja di masa yang akan datang dan demi pengembangan Duta Wacana menjadi perguruan tinggi yang mampu menjawab tantangan zamannya (Bakker, D., et.al., 1996, Percikan Riwayat Hidup Pengabdian Pendeta R. Tasdik. Yogyakarta, Indonesia: Nafiri Offset., hal.98).
Kemauan untuk beradaptasi dan kerendahan hati ikut terlibat dalam perubahan konteks hidup ini membuatnya menjadi contoh nyata dari semangat ke-Duta Wacana-an untuk terampil beradaptasi dengan situasi yang sedang berkembang dan piawai dalam menyikapi perubahan demi perubahan, termasuk perubahan yang terjadi dalam dalam dirinya sendiri dan keluarganya. Mondar-mandir Malang-Yogyakarta, pindah ke Yogyakarta (1965), menjadi dosen di Bale Wiyata dan Duta Wacana, penguji ATESEA, koordinator stage, rektor STTh Duta Wacana (1972-1975) dan berbagai jabatan lain yang harus diembannya adalah sedikit contoh dalam dinamika hidup Pak Tasdik dan keluarganya. Dr. D. Bakker dalam tulisannya menekankan bahwa penyatuan dua lembaga akademis teologi di Malang dan Yogyakarta ini sebagai ‘laboratorium karakter’. “Dapatkah partner-partner itu saling menghargai, saling membantu satu dengan yang lain dengan kerendahan hati? Siapakah yang rela meninggalkan posisinya, dengan kediamannya yang historis, pengaruhnya penuh perasaan?” (Bakker, D. et.al., 1996, hal.139).
Baik kesedihan, nyeri, sakit hati, kemarahan, frustasi semuanya pernah dialami oleh Pak Tasdik. Namun semuanya itu tidak mengurangi tekadnya untuk menjalankan tugas dan panggilannya demi kemajuan gereja dan perkembangan teologi di Indonesia. Bahkan seringkali beliau menganggap orang lain jauh lebih utama daripada dirinya sendiri.
Sang pemazmur dalam tulisannya juga ingin membuka cakrawala iman pembacanya bahwa tanpa keterbukaan akan campur tangan Tuhan maka ada kemungkinan usaha mereka akan gagal. Renungan untuk kita: seberapa pentingkah keterbukaan akan campur tangan Tuhan ini bagi kita segenap sivitas akademika Duta Wacana?
Jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga (Mazmur 127:1b)
Ayat ini tidak sedang mengandaikan sang pengawal kota beriman buta dan sepenuhnya mengandalkan kekuatan Tuhan dengan hanya bersantai saja dan tidak mau melakukan apa-apa. Demikian pula di bagian sebelumnya sang pemazmur juga tidak sedang mengatakan bahwa para ahli bangunan lebih baik tidak bekerja saja, toh tanpa bantuan Tuhan pekerjaan mereka tetap sia-sia saja.
Sang pemazmur, yang diyakini sebagai tulisan Salomo, dalam kebijaksanaannya ingin mengatakan bahwa baik para pengawal maupun para ahli bangunan tetap harus bekerja semaksimal mungkin dan melakukan yang terbaik. Namun jika mereka hanya semata-mata memusatkan perhatian pada usaha manusiawi mereka tanpa memberi ruang bagi campur tangan TUHAN dalam karya mereka maka semuanya akan sia-sia saja. Pembaca zaman sekarang mungkin akan tergelitik untuk bertanya demikian: kira-kira di mana peran campur tangan TUHAN itu dalam laju gerak dan derap langkah Duta Wacana dalam usianya yang ke-57 tahun ini? Pertanyaan ini sangat penting untuk direnungkan bagi kita insan-insan sivitas akademika Duta Wacana zaman ini. Kira-kira bagaimana tanggapan kita?
Tokoh kita selanjutnya adalah Pak Harun Hadiwijono. Bagi Pak Harun Hadiwijono campur tangan TUHAN ini terjadi jika dalam tiap insan pendeta terjadi transformasi dari figur ‘pendeta yang tidak setia’ menjadi ‘pendeta yang saleh’. Pak Harun Hadiwijono pernah mengatakan demikian, bahwa pendeta yang saleh, yang tidak hidup sendiri dari firman Tuhan, akan dapat menggali harta benda yang sebanyak-banyaknya, yang terpendam dalam firman Allah itu. Tetapi pendeta yang tidak setia, yang lebih mencari kepentingan sendiri daripada kepentingan Kristus, akan menarik gereja dalam lembah kesengsaraan. Dalam kata-kata beliau ini tersirat segenap keprihatinan beliau sekaligus tekad beliau untuk mengabdikan hidup dan tugas-tugas pelayanannya bagi pengembangan sebuah Sekolah Teologi yang sehat, yang memungkinkan transformasi iman dan intelektual dapat terjadi, serta demi menjamin kelangsungan hidup gereja Tuhan di masa depan. Di situlah profil nyata dari pengabdiannya dan bisa jadi di situ juga titik temu dan letak campur tangan Allah yang dialaminya (Panggabean, Y., Handayani, R., & Ginting, J., 2000. Menuju Manusia Baru: Penabur Benih Mazhab Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal.44).
Sebagai salah seorang arsitek pendirian Sekolah Calon Pendeta (SCP) di Yogyakarta beliau sempat menjabat sebagai guru tetap tunggal, kurator, dan direktur SCP (1946-1949). Semua fungsi rangkap ini diembannya tanpa berpikir mengenai prestise apapun, kecuali obsesi menjawab kebutuhan gereja atas pendeta. (Panggabean, Y., Handayani, R., & Ginting, J., 2000, p.42).
Profesionalitas Pak Harun Hadiwijono dalam mengolah secara provisional tahapan demi tahapan proses pengembangan dari SCP (1946-1956) menjadi Akademi Theologia Yogyakarta (1956-1962) serta berubah menjadi STTh Duta Wacana (1962-1982) hingga selanjutnya menjadi Universitas Kristen Duta Wacana (1982-sekarang) merupakan bukti kepiawaiannya tidak hanya dalam hal beradaptasi dan berubah, namun juga dalam hal bertumbuh demi terwujudnya Duta Wacana yang diimpikannya.
Kepada para pembacanya, sang pemazmur mengajarkan untuk bekerja semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keahliannya sambil tetap waspada dan ingat akan campur tangan Tuhan dalam pekerjaan mereka; hal ini bisa kita lihat dalam penghayatan hidup Pak Harun Hadiwijono. Baru-baru ini Pak Henry Feriadi (Rektor UKDW 2019-2023) dalam sambutannya sebagai rektor UKDW mengajak segenap sivitas akademika untuk tidak pernah berhenti memperjuangkan nilai-nilai mulia atau core values Duta Wacana yaitu untuk menaati kehendak dan rencana Allah (obedience to God), berkarya dalam integritas (walking in integrity), senantiasa ingin memberikan yang terbaik (striving for excellence), dan melayani dunia yang pluralistik berdasarkan kasih (service to the world)”.
Berangkat dari visi awal Pak Harun Hadiwijono menjadikan STTh Duta Wacana sebagai Sekolah Teologi yang sehat untuk meningkatkan mutu pendidikan terhadap para pelayan jemaatnya melalui pendidikan tinggi yang setara dengan universitas, kini visi UKDW berkembang untuk “menjadi universitas Kristen unggul dan terpercaya yang melahirkan generasi profesional mandiri bagi dunia pluralistik berdasarkan kasih”. Visi ini tetap mengedepankan pengembangan kemampuan diri untuk mampu beradaptasi, berubah, bertumbuh, mendukung keutuhan ciptaan. Upaya kreatif dan inovatif apa yang harus dilakukan demi tercapainya visi UKDW ini?
Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah–sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur (Mazmur 127:2)
Tokoh kita selanjutnya adalah Pak Rudy Budiman. Kepribadian dan karakter Pak Rudy Budiman bisa disebut sebagai seorang penginjil/pengkhotbah, seorang pastor/gembala, seorang pengajar/guru (Linandi, 2009). Beliau digambarkan sebagai seorang pelari jarak jauh (marathon) yang telah melalui banyak tahapan kehidupan yang berliku dan penuh makna. Pusat kehidupannya adalah Injil sebagai kabar baik dari Kristus. Semangatnya dalam berkhotbah membuatnya sering diundang berkhotbah di seluruh Indonesia sebagai pendeta kebangunan rohani. Di STTh Duta Wacana beliau mengemban tugas sebagai dosen mata kuliah Perjanjian Baru guna mempersiapkan para mahasiswanya menjadi pelayan firman yang handal. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya di Vrije Universiteit Amsterdam di tahun 1971, beliau kembali ke tanah air dan melanjutkan tugasnya sebagai Dosen Teologi di Duta Wacana.
Sebagai seorang intelektual, gembala, dan pengkhotbah, Pak Rudy Budiman memiliki kedekatan iman yang kuat dengan Sang Gembala Agung Tuhan Yesus Kristus. Keintiman iman ini membakar semangatnya untuk terus mengabarkan Injil baik pada saat yang baik pun kala bencana melanda. Agaknya teladan inilah yang ingin ditularkannya pada semua mahasiswanya. Bisa jadi ini merupakan cerminan dari etos kerja dan komitmen iman Pak Rudy yang tidak pernah lupa bahwa kekuatannya sebagai manusia hanya bisa menjadi berkat bagi orang lain jika melekat kuat dan bersenyawa dengan Sang Pokok Anggur (lihat Yohanes 15:5).
Seakan dia ingin mengamini kebijaksanaan sang pemazmur yang tidak pernah bermaksud untuk menyepelekan kerja para tukang bangunan membangun rumah (ayat 1a); atau kerja para pengawal yang menjaga gerbang kota semalam suntuk (ayat 1b); atau para pekerja keras yang telah bekerja seharian demi sepotong roti (ayat 2a). Sang pemazmur menekankan bahwa etos kerja pribadi itu selayaknya tidak hanya dijangkarkan pada kekuatan diri sendiri namun juga dijangkarkan pada keterbukaan iman bahwa Tuhan memberikan berkat hati yang damai karena tahu bahwa Tuhan tidak tidur (Gusti mboten saré), Tuhan terus bekerja dan mengawasinya walau saat dia terlelap tidur. Bagi sang pemazmur, dapat tidur nyenyak setelah sehari penuh membanting tulang adalah berkat yang tak terkira harganya. Sebaliknya, jika karena satu dan lain hal mata tidak dapat dikatupkan dan tidur lelap jauh api dari arang maka berkat kedamaian hati akan sangat sulit direngkuh. Seakan sang pemazmur ingin mengingatkan pembacanya akan sabda Tuhan Yesus yang mengingatkan: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. (lihat Matius 6:34). Kemampuan ini menuntut sikap batin yang tulus dan tabah. ‘Let go, and let God’.
Insan-insan muda adalah milik pusaka dari pada TUHAN, seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda (Mazmur 127:3-5)
Generasi muda profesional yang ingin dilahirkan oleh UKDW bisa jadi senada dengan gambaran sang pemazmur miliki tentang anak-anak panah. Mereka nantinya setelah lulus akan melesat jauh menuju tujuan dan sasarannya masing-masing. Mereka akan masuk ke dalam masyarakat dan mereka diharapkan bisa mengabdikan ilmunya bagi kebaikan masyarakat luas. Mereka juga diharapkan akan menjadi agen-agen penyebar nilai-nilai ke-Duta Wacana-an. Dunia yang majemuk dan tempo geraknya yang dinamis menjadi lokus dan konteks kehidupan mereka. Mereka diharapkan mampu untuk beradaptasi, berubah, bertumbuh, mendukung keutuhan ciptaan.
Kemampuan untuk mendukung keutuhan ciptaan merupakan kompetensi diri yang tidak bisa dilihat sambil lalu saja. Kemampuan ini mengasah kepekaan fungsi kognisi, afeksi, dan motorik dari tiap mahasiswa untuk memperluas fokus perhatian mereka dari yang semula hanya terpusat pada manusia (antroposentris) menuju kepedulian pada seluruh ciptaan secara integral. Seorang pemikir dari Amerika Serikat, Thomas Berry, pernah menuliskan dalam bukunya berjudul The Dream of the Earth (1988) demikian, “Kalau bumi menjadi tidak ramah terhadap kehadiran manusia ini terutama karena manusia telah kehilangan rasa santun terhadap bumi dan penghuninya, rasa terima kasih, kehilangan kesediaan untuk mengakui sifat kekudusan habitat ciptaan, dan kemampuannya untuk mengagumi serta mengenali kualitas ilahi dalam setiap realitas di bumi” (Elly Verrijt, 2014, hal. 4). Sikap terlalu lama memunggungi bumi dan alam semesta perlu dikikis dengan tindakan nyata. Bahu-membahu dengan gereja-gereja di Indonesia serta bangsa Indonesia secara umum maka UKDW punya tugas menjadi laboratorium pelestarian alam dan lingkungan yang berkait kelindan dengan iman kristiani serta kepedulian sosial.
Konstruksi Duta Wacana tidak hanya dibangun dari batu-bata dan semen saja. Secara lebih dalam bangunan Duta Wacana ini terdiri gereja-gereja pendukung, para karyawan non-akademik, para dosen, Yayasan Duta Wacana, dan para mahasiswa yang belajar di dalamnya. Semuanya diharapkan bersinergi demi melahirkan anak-anak panah baru yang siap untuk dilesatkan ke sasaran mereka masing-masing. Tujuannya adalah agar masing-masing mahasiswa lulusan UKDW bisa memberikan sumbangsih pemikiran dan opsi jalan keluar bagi keprihatinan bangsa Indonesia yang majemuk ini.
Akhir kata, semoga dalam merayakan Dies Natalis ke-57 Duta Wacana ini semua sivitas akademika UKDW, gereja-gereja pendukung dan para alumninya selalu mengingat bahwa sinergi pembangunan UKDW adalah tanggung jawab bersama dengan berdasar pada jangkar nilai-nilai obedience, integrity, excellence, dan service. Salam SORBUM! (PKK/Adham K. Satria).