15:9 “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. 15:10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. 15:11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh. 15:12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. 15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.
Salam Sorbum!
Ketaatan pada Allah (obedience to God) adalah salah satu nilai inti dari Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Nilai ketaatan ini mengandung makna pengucapan syukur kepada Allah. Jadi nilai ketaatan ini mula-mula tidak didasarkan pada rasa takut yang diwujudkan dalam kerja nyata sebagai anugerah yang Tuhan telah percayakan kepada kekuasaan yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri, misalnya ketaatan seorang hamba kepada majikannya. Ketaatan ini juga bukan bukti adanya paksaan dari pihak luar yang mewajibkan tiap-tiap pribadi untuk mengikatkan diri padanya. Ketaatan di sini mempunyai makna sebagai sebuah kata kerja yang dengan sadar dipilih dan dilakukan oleh masing-masing pribadi yang menempatkannya sebagai salah satu nilai dasar bagi kehidupannya.
Ketaatan pada Tuhan seringkali diidentikkan dengan ketaatan seseorang pada agama atau kepercayaan yang dipeluknya (believing). Ini terkait dengan sejauh mana seseorang tersebut berafiliasi dengan salah satu institusi agama tertentu (belonging). Ketaatan pada Tuhan juga acap kali dikaitkan dengan pandangan seseorang terhadap agama-agama dan relasi antara agama-agama tersebut (worldview on religions). Belajar dari hasil penelitian Win/Gallup International Survey on Religion, Race and Culture (October-December 2016) kita baca di sana bahwa di Indonesia terdapat persentase responden yang cukup signifikan menanggapi isu kemajemukan dan superioritas agama, ras, budaya, dan relasi yang ada di antara ketiganya. Survei ini mencatat bahwa di Indonesia ada sekitar 54,2% responden yang menyatakan ‘sangat setuju’ (strongly agree) bahwa ada agama-agama (tertentu) yang lebih superior dari agama lainnya. Survei juga mencatat bahwa di Indonesia ada sekitar 55,6% responden yang punya kecenderungan ‘sangat setuju’ (strongly agree) bahwa ada ras-ras manusia (tertentu) yang jauh lebih superior jika dibandingkan dengan ras manusia lainnya. Terakhir, survei juga mencatat bahwa di Indonesia ada sekitar 55,9% responden yang ‘sangat setuju’ (strongly agree) dengan pernyataan bahwa ada budaya-budaya (tertentu) yang posisinya lebih superior dari budaya-budaya lainnya.
Membaca hasil penelitian tersebut di atas, bagaimanakah kira-kira kita dapat memahami arti ketaatan pada Tuhan di tengah konteks agama, ras, dan budaya yang secara garis besar diwarnai oleh munculnya benih-benih rasa superioritas satu agama, ras, budaya terhadap agama, ras, dan budaya yang lain? Dan bagaimanakah kira-kira Alkitab memberikan petunjuknya pada kita akan hal ini?
Bacaan Injil kita hari ini menawarkan satu sudut pandang yang baru dalam melihat apa dan bagaimana ‘ketaatan kepada Allah’ bisa dimaknai. Injil Yohanes melihat ketaatan pada Tuhan sebagai perwujudan kasih kepada Allah dan bukan masalah siapa yang superior dan inferior. Kata kunci yang muncul dari bacaan kita hari ini adalah kata “Seperti Bapa telah mengasihi Aku…”. Kata ‘seperti’ yang muncul di sini juga dapat diterjemahkan dengan ‘sebagaimana’, ‘sama seperti’, ‘demikian juga’. Apa maksudnya? Di dalam kata ‘seperti’ terkandung sebuah motif kunci dari teologi Injil Yohanes yang mengungkapkan hubungan timbal balik antara Sang Bapa, Sang Putra, dan komunitas para murid-Nya. Kasih Sang Putra mencerminkan dan melahirkan kembali tindakan kasih Sang Bapa. Kasih Sang Putra yang mengorbankan hidup-Nya bagi para sahabat-Nya bukanlah tanpa asal-usul. Kasih-Nya mengalir keluar ‘sama seperti’ Sang Bapa yang telah mengasihi Sang Putra. Tinggal dalam kasih Sang Putra berarti mengakarkan diri dalam kasih yang sama dan muncul dari hubungan kasih antara Sang Bapa dan Sang Putra.
Menurut Injil Yohanes, kasih adalah buah dari sebuah hubungan yang berkelanjutan antara Sang Bapa dan Sang Putra, kata ’sama seperti’ merupakan buah dari hubungan berkelanjutan yang dimiliki Sang Putra dan mereka yang mengikuti semua sabda-Nya. Konsisten dengan teologi ‘sama seperti’ yang diusung Injil Yohanes maka Tuhan Yesus juga digambarkan mengundang para murid-Nya untuk meneruskan atau melanjutkan perintah Sang Bapa sebagaimana yang Tuhan Yesus sendiri telah lakukan dengan setia hingga akhir hayat-Nya. Patron atau model kasih yang berkelanjutan ini tidak diciptakan oleh Tuhan Yesus dari nol, melainkan model tersebut telah diterima-Nya dari Sang Bapa yang telah mengasihi-Nya secara berkelanjutan. Dalam patron kasih seperti inilah kita belajar tentang tiga unsur ketaatan, yaitu tinggal tetap dalam kasih Tuhan (to abide), mengasihi Tuhan (to love), dan menjaga perintah Tuhan (to obey) semuanya diikat dalam sebuah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan pihak-pihak yang terikat di dalam-Nya.
Pembaca yang budiman, kira-kira ketaatan pada Tuhan seperti apakah yang ingin kita tumbuh kembangkan dalam lingkup UKDW? Di tengah maraknya berita tentang rentannya perguruan-perguruan tinggi di Indonesia terhadap penyebaran paham radikalisme tentunya kita berharap bahwa di UKDW tidak sedang berkembang yang namanya paham radikalisme agama tertentu. Kecemasan ini tentu saja dipicu oleh berita-berita di banyak media sosial yang beberapa waktu lalu dengan maraknya memberitakan banyak universitas ternama di Indonesia yang terpapar paham radikalisme. Sangatlah naif kalau kita kemudian dengan gegabah mengatakan bahwa UKDW ‘steril’ dari paham radikalisme. Tidak ada perguruan tinggi manapun di Indonesia ini yang ‘suci hama’ dari paham-paham radikalisme keagamaan tertentu. Termasuk perguruan-perguruan tinggi Kristen di Indonesia. UKDW perlu waspada dan mawas diri!
Apa ciri-ciri dari berkembangnya paham radikalisme itu? Paham radikalisme sendiri bisa diartikan sebagai sebuah bangunan pemikiran atau sikap yang mempunyai paling tidak empat tanda/karakteristik berikut: pertama, sikap intoleransi dan tidak menghargai pendapat serta keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik yang selalu merasa diri lebih benar dan menganggap orang lain selalu salah. Ketiga, sikap eksklusif dan membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner yang cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Jika keempat tanda/karakteristik di atas mulai disinyalir muncul dalam diri mahasiswa-mahasiswa UKDW maka pihak pimpinan UKDW perlu untuk segera mengambil langkah-langkah strategis untuk secara proaktif menanggulangi dampak negatif dari paham radikalisme ini semakin menyebar di tubuh segenap sivitas akademika UKDW.
Paling tidak ada lima hal yang bisa dilakukan oleh pimpinan dan segenap jajaran birokrasi UKDW dalam usaha mereka untuk menangani penyebaran paham radikalisme di lingkup perguruan tinggi UKDW. Pertama, melakukan pendekatan personal pada pribadi-pribadi yang dianggap berpotensi menjadi ‘sender’ paham radikalisme dan perekrut anggota baru. Kedua, mengimbangi gerak laju ideologi radikal dengan menawarkan nilai-nilai dasar UKDW yang berkarakter kristiani dan moderat (O.I.E.S). Ketiga, berusaha mengkomunikasikan nilai-nilai dasar UKDW pada seluruh anggota sivitas akademika UKDW. Keempat, melakukan penyaringan dan pengawasan media sosial di lingkup sivitas akademika UKDW terutama penanggulangan berita-berita yang cenderung menyebarkan paham radikalisme. Kelima, tanggap untuk mengkaji secara lebih dalam konteks sosial dan budaya yang saat ini sedang berlangsung di segenap lapisan masyarakat.
Pembaca yang budiman, keprihatinan akan tersebarnya paham radikalisme di tubuh universitas-universitas di Indonesia semakin menegaskan semakin pentingnya perenungan tentang arti penting nilai ketaatan pada Tuhan di UKDW. Justru dengan kenyataan semakin tersebarnya paham radikalisme di kalangan universitas-universitas di Indonesia membuat relevansi untuk membahas dan mendiskusikan tema ketaatan pada Tuhan ini semakin kuat dan mendesak sifatnya.
Salah satu yang bisa kita tawarkan adalah untuk mengolah nilai ketaatan pada Allah demi tercapainya sikap batin taat kepada Allah dengan berdasarkan pada penghayatan bahwa keragaman agama, kemajemukan budaya, dan ras merupakan harta yang paling berharga dari bangsa Indonesia. Jika taat kepada Allah itu mengandung tiga unsur yakni tinggal tetap dalam kasih Tuhan, mengasihi Tuhan, dan menjaga perintah Tuhan, maka sudah seyogyanya ketiga unsur ini diarahkan demi terciptanya sebuah kerangka berpikir yang inklusif, berwawasan luas, tidak terjebak pada pola pikir biner, ‘kamu inferior, kami superior’, berani mendengarkan mereka yang berbeda pandangan dan pendapat, berkeyakinan bahwa yang satu-satunya patut diperjuangkan adalah ketaatan kepada Tuhan yang memanusiakan manusia sebagaimana mestinya dan yang memandang keragaman agama, budaya, dan ras sebagai sebuah kekayaan dan bukan petaka.
Pesan utama bacaan dari Injil Yohanes kali ini mengajak kita sekalian untuk menggumulkan makna ketaatan kepada Tuhan di dalam konteks semakin maraknya paham radikalisme yang tersebar dan merasuki sendi-sendi kehidupan universitas-universitas di Indonesia. UKDW tidak bisa hanya tinggal diam dan berpangku tangan serta membiarkan pada waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Bacaan Injil Yohanes kita kali ini mengundang kita untuk tidak taat pada Tuhan atas dasar rasa takut atau paksaan dari luar. Bacaan Injil kita hari ini mengundang kita dengan sadar melakukan laku ketaatan pada Tuhan sebagai ungkapan syukur dan wujud dari sikap batin yang tergerak dan termotivasi untuk merayakan kehidupan lengkap dengan segenap keragaman yang ada di dalamnya.
Jadi, masih perlukah kita berbicara tentang ketaatan pada Tuhan di tahun 2020 ini? Tentu saja masih sangat relevan membicarakan nilai ketaatan ini dalam konteks kemasyarakatan Indonesia saat ini. Sangat disarankan untuk diadakannya forum-forum diskusi antara Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK), Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK), Keluarga Mahasiswa Muslim (KMM), Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD), Keluarga Mahasiswa Buddhis Duta Dharma (Kamadhis), dan segenap sivitas akademika UKDW guna membicarakan relevansi nilai ketaatan pada Tuhan ini dalam kiprah mereka sehari-hari sebagai mahasiswa UKDW dan anggota masyarakat Indonesia. Semoga melalui forum-forum diskusi ini lahir sikap-sikap nyata dari segenap sivitas akademika UKDW untuk proaktif menangkis imbas negatif paham radikalisme agama yang saat ini marak terjadi. Sehingga bukan lagi ketaatan pada Tuhan yang muncul dari paham radikalisme yang sifatnya eksklusif dan konservatif, melainkan sebuah ketaatan pada Tuhan yang bersumber pada cerminan hubungan kasih Allah Bapa kepada Sang Putra. Ketaatan ini juga tercermin dari kasih Sang Putra yang telah mengorbankan diri-Nya sebagaimana layaknya seorang Gembala Agung yang mengasihi domba-domba-Nya hingga titik darah penghabisan-Nya.
Kiranya Tuhan memberkati tekad hati dan ketaatan kita sekalian pada-Nya. Amin. (PKK/Adham)