(Bacaan: 1 Samuel 18:1-5)
Inspirasi Peristiwa Surabaya (10 November 1945)
Setiap tanggal 10 November, Indonesia memperingati hari Pahlawan Nasional. Pada umumnya diwarnai sukacita oleh segenap warga, khususnya mahasiswa dan pelajar, karena tanggal 10 identik dengan tanggal merah, yang berarti hari libur. Tetapi, bukan libur di tanggal merah yang dianggap penting, melainkan mengenang satu peristiwa bersejarah. Yakni peristiwa serangan umum di Surabaya oleh Sekutu yang diboncengi Belanda tepatnya tanggal 10 November 1945.
Pada hari itu, rakyat Surabaya bertempur habis-habisan menjaga kota Surabaya dari serangan Sekutu melalui serangan udara, darat, dan laut. Singkat cerita, pertempuran ini terjadi karena penolakan rakyat Surabaya atas ultimatum yang diedarkan Belanda agar senjata yang dimiliki rakyat Surabaya diserahkan kepada Belanda. Batas ultimatum ini adalah tanggal 10 November. Namun ultimatum ini ditolak, sehingga pertempuran pun tidak dapat dielakan.
Pada hari itu ribuan pejuang Indonesia (tidak hanya dari Surabaya) tewas dalam mempertahankan
Surabaya. Jika melihat dari sejarah ini, maka sebenarnya peringatan hari Pahlawan Nasional menjadi momentum bersejarah bangsa Indonesia untuk mempertahankan kebebasan hidup pasca kemerdekaan. Peristiwa itu membuat kita takjub atas semangat para pejuang yang rela gugur demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak jarang kita mengelu-elukan mereka sebagai pahlawan bangsa yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana dengan kita yang hidup dijaman “now”, apakah semangat perjuangan atau kepahlawanan yang rela berkorban bagi bangsa masih terasa ada? Tentu saja ada, meski tidak lagi seperti para pejuang tadi. Satu hati, tekad dan setia bela negara. Di era sekarang orang yang mengabdi kepada negara seolah hanya dilakukan oleh mereka yang menjadi publik figur dan menguasai media sosial hingga menjadi “popular”. Tak jarang orang berlomba-lomba update aktivitas lewat media supaya kelihatan sudah memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara. Misalnya di kalangan mahasiswa dikenal istilah “aktivis”, yaitu mahasiswa yang terlibat aktif berkegiatan atau berorganisasi di kampus ataupun di luar kampus. Melalui organisasi atau kegiatan yang dilakukan
dengan tema kebangsaan, sosial, ekologi, anti korupsi, atau kegiatan-kegiatan lain yang menunjukan sikap peduli pada kepentingan orang banyak. Bagi kalangan dosen, pengajar, atau pekerja biasanya juga berlomba melalui kegiatan riset atau pengabdian masyarakat. Demikian, melalui kegiatan sosial ataupun kegiatan yang mengarah “keluar” guna menjadi bukti kontribusi bagi orang banyak. Jika demikian, lalu bagaimana dengan orang-orang yang menjadi pekerja rendahan, pesuruh, kuli bangunan, buruh tani, tukang sapu taman, juru parkir, yakni orang yang tidak terlibat kegiatan semacam riset, aktivis atau pengabdian? Apakah mereka boleh dicap sebagai orang yang tidak memiliki jiwa nasionalis atau jiwa kepahlawanan, dan semangat juang untuk memajukan bangsa?
Yonathan Pahlawan “Kerendahan Hati”
Mari kita belajar dari kisah Yonathan. Yonathan tidak terlalu dikenal oleh pembaca kebanyakan jika dibandingkan dengan Daud. Daud terkenal dengan kisahnya mengalahkan Goliat yang fenomenal. Kisah kemenangan Daud ini terus diberitakan sampai-sampai kita jadi hafal di luar kepala. Daud memang orang yang dapat dikatakan memiliki jiwa kepahlawanan dan nasionalisme, dengan berjuang demi negrinya dalam peperangan yang ia pimpin.
Kemenangan-kemenangan Daud menggambarkan perjuangan yang dilakukannya. Namun mari kita melihat sejenak kepada Yonathan yang seringkali tenggelam oleh popularitas Daud. Yonathan adalah anak sulung Saul, berarti ia adalah putra mahkota yang suatu saat akan menggantikan Saul sebagai raja Israel.Yonathan bersahabat baik dengan Daud. Sementara Daudlah yang kelak akan terpilih sebagai Raja karena kepiawaian dan keberaniannya. Secara manusiawi, bukankah Daud dapat mengancam posisi Yonathan sebagai putra mahkota?
Dalam 1 Samuel 18:1-5, digambarkan dengan singkat persahabatan Yonathan dengan Daud. Yonathan mengikat perjanjian dengan Daud dan dikatakan bahwa Yonathan mengasihi Daud seperti dirinya sendiri. Bahkan di ayat 4, Yonathan memberikan perlengkapan perangnya kepada Daud. Perlu diketahui bahwa jubah, baju perang, pedang, dan panah miliki bangsawan atau orang kerajaan biasanya menunjukan kasta atau jabatan seseorang. Sehingga ketika Yonathan memberikan perlengkapan perangnya kepada Daud, Yonathan secara tidak langsung mengindahkan jabatan yang ia miliki dengan kerendahan hatinya kepada Daud sahabatnya. Jika coba diinterpretasikan, Yonathan lebih mempedulikan sahabatnya dibandingkan dengan jabatan dan kuasa yang ia miliki. Apakah figur seperti Yonathan yang demikian tidak bisa dikategorikan sebagai sosok pahlawan?
Belajar dari kisah ini, paradigma umum bahwa memiliki jiwa pahlawan berarti harus seperti yang dilakukan Daud. Berani bertindak, berani melakukan aksi, itulah penggambaran sosok “pahlawan”. Pemikiran kita seringkali memaknai “menjadipahlawan” berarti melakukan “aksi keluar” yang terlalu jauh, sehingga terkadang lupa terhadap sekitar. Yonathan dengan kerendahan hatinya mau untuk memberikan hal yang penting dari dirinya demi
sahabatnya Daud. Yonathan mau menyingkirkan ego pribadinya, guna mendukung kesuksesan sahabatnya.
Yonathan bisa saja melakukan seperti yang dilakukan Daud untuk “unjuk gigi” dan mendapatkan popularitas.
Terkadang bukankah kita secara tidak sadar juga memiliki keinginan untuk bertindak demikian? Mengejar popularitas agar dapat disebut sebagai “aktivis” atau “pahlawan”. Namun kepada sesama terkadang kita bersikap angkuh atau meremehkan jika mereka tidak melakukan seperti yang kita lakukan. Pernahkah terfikir dalam benak kita untuk mau bersikap rendah hati dan berbuat kasih kepada orang- orang disekitar kita terlebih dahulu? Melalui keluarga, teman kuliah atau rekan kerja, kepada pengajar atau kepada mahasiswa, atau kepada orang terdekat di lingkungan kita? Atau justru kita tidak merasakan kehadiran mereka?
“Duta Heroes” (The humble heroes)
Tentu saja melakukan aksi “keluar” merupakan hal baik, tetapi baik juga melakukan tindakan bagi lingkungan terdekat. Sebagai keluarga besar Universitas Kristen Duta Wacana kita juga bisa menjadi “pahlawan yang rendah hati” seperti yang dilakukan Yonathan. Sebagai mahasiswa kita dapat mewujudkannya dengan menyatakan kasih kepada teman-teman seperkuliahan. Menghindari sikap angkuh, egois menjadi sikap mengasihi, dapat menjadikan kita sebagai pahlawan. Menjadi teman yang mau saling mendengarkan suka duka sesama, ikut berbahagia dikala suka dan mau berempati dikala duka. Tidak hanya kepada teman sesama mahasiswa, kepada karyawan dan dosen pun juga demikian. Melihat mereka tidak lagi sebagai karyawan atau dosen yang terasa jauh dalam relasi namun menganggap mereka sebagai sahabat dan guru yang membangun. Sebagai dosen, menjadi pahlawan yang rendah hati dengan saling mendukung satu sama lain sebagai sesama rekan kerja dan tidak bersikap angkuh atau egois.
Menjadikan mahasiwa bukan objek, melainkan subjek belajar bersama-sama, sehingga kadang mahasiswa dapat
sebagai rekan dan sahabat yang saling melengkapi dalam proses belajar. Berelasi dengan karyawan tidak dalam pola pikir hierarki yang menganggap dirinya sebagai pihak yang memiliki jabatan lebih tinggi. Berelasi dengan karyawan layaknya sebagai patner kerja, sahabat untuk saling mendukung dan saling berbagi ataupun saling belajar satu sama lain. Sebagai karyawan pun demikian, berelasi dengan mahasiswa dan dosen sebagai sahabat yang saling mendukung sesuai dengan tanggungjawab masing-masing. Bersikap ramah kepada setiap mahasiswa ataupun dosen, dan terbuka sebagai pihak yang saling membangun. Dan yang terpenting, baik sebagai karyawan, mahasiswa, ataupun dosen adalah bertindak dan berprilaku yang berlandaskan pada kerendahan hati. Memulai menghayati jiwa kepahlawanan yang tidak lagi berfokus pada popularitas, melainkan menghayati jiwa kepahlawanan yang dimulai dari kerendahan hati. Jadilah pahlawan yang rendah hati, bagi dirimu, bagi orang disekitarmu, dan bagi orang banyak!!! Be the humbe heroes! [LSAN]