Bacaan: Galatia 5:16-26

SALAM SORBUM!

Segenap sivitas UKDW yang terkasih,

Di pertengahan tahun 2021 ini kita masih bergulat dengan pandemi COVID-19. Mungkin kita sudah bosan mendengarnya, namun hal ini tidak bisa membuat kita lengah dan memperlemah pertahanan diri kita masing-masing. Oleh karena itu dalam Siraman Rohani edisi bulan Juni ini kita akan merenungkan sebuah tema yang terkait erat dengan pengalaman iman kita berjalan di jalan kehidupan dengan pendampingan Sang Roh Kudus, Roh Kebangkitan Kristus, Roh Api Cinta Kasih yang diturunkan Allah pada hari Pentakosta, dan Roh yang senantiasa akan menaungi dan melindungi kita hingga purna tugas dan karya kita di muka bumi ini. 

Untuk mengawali renungan kali ini, kami ingin ajak Anda sekalian mengunjungi negara di ujung paling Selatan benua Afrika, Afrika Selatan. Siapa yang tidak kenal dengan Nelson Mandela? Beliau adalah mantan presiden Afrika Selatan. Penduduk Afrika Selatan dengan nada sayang dan akrab memanggilnya dengan sebutan ‘Madiba’, panggilan untuk menghormati orang yang lebih tua, tetua masyarakat yang disayangi, seorang yang berpengaruh dalam masyarakat. Beliau adalah pembela keragaman dan penentang sistem politik apartheid yang gigih. Mandela adalah Bapak Rekonsiliasi dari Afrika Selatan, seorang pecinta kemeja batik dari Indonesia, seorang yang berjiwa pendamai, dan Bapak bangsa Afrika Selatan. 

Dalam sebuah kutipan, Madiba pernah mengatakan, “I’m not a saint, unless you think of a saint as a sinner who keeps on trying.” Terjemahannya kurang lebih demikian: saya bukan orang kudus, kecuali kalau Anda mengartikan orang kudus sebagai orang berdosa yang tekun berusaha untuk mencoba dan terus mencoba. Apa yang bisa kita pelajari dari kutipan ini? Kalimat ini padat, berlapis maknanya, dan yang tentu saja memberi inspirasi kepada banyak orang yang mendengarnya. 

Seperti yang banyak orang ketahui bahwa dalam hidupnya, Mandela mengalami pasang-surut kehidupan. Mandela pernah mengalami tindak kekerasan dan ketidakadilan dari pemerintah rezim apartheid yang berkuasa di Afrika Selatan kala itu (1948-1991), dia juga pernah berkali-kali dipenjara, menelan secara mentah-mentah penghinaan-penghinaan dari penguasa politik di zamannya, pernah juga mengalami kegagalan di dunia politik, bercerai dengan istrinya, dll. Mandela hanyalah orang biasa yang memiliki visi luhur bagi bangsanya. Visi Mandela adalah melihat sebuah bangsa di mana kesetaraan di antara semua warganya terjamin kelestariannya. Dia memimpikan sebuah Afrika Selatan yang berwarna-warni seperti pelangi, the Rainbow Nation.

Saat Madiba mengatakan bahwa ‘orang kudus’ pada hakikatnya adalah orang berdosa yang mencoba dan terus mencoba untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, dia sebenarnya sedang memberikan pengertian baru yang seakan mengajak setiap orang yang mendengarnya untuk menilik ke dalam diri masing-masing dan berefleksi. Walaupun banyak ketidaksempurnaan dalam diri kita masing-masing namun hal tersebut tidak dapat menurunkan derajat kita sebagai pribadi-pribadi yang diciptakan oleh Yang Mahakuasa. Menyadari dan mensyukuri segenap ketidaksempurnaan diri sebagai bagian dari anugerah bisa menjadi langkah awal untuk menuju kehidupan yang lebih manusiawi dan kreatif. 

Berbicara masalah visi, kita tidak dapat memisahkannya dengan karakter diri seseorang. Keduanya saling terkait dan secara dinamis saling tarik ulur dalam keberadaan diri kita yang terdalam. Jika karakter sebagai kualitas mental dan moral yang unik dimiliki oleh masing-masing pribadi, maka visi kehidupan seseorang itu menjadi semacam tujuan hidup termulia yang dimiliki seseorang. Visi tersebut menjadi kompas hidup seseorang, atau bisa juga menjadi arah ‘Utara’ dalam hidup mereka. Dalam hal ini, Mandela bisa disandingkan dengan Paulus, karena keduanya merupakan tokoh berpengaruh di masyarakat pada zamannya masing-masing dan keduanya sama-sama memiliki visi. Mandela memiliki visi untuk Afrika Selatan yang merayakan segala warna-warni keunikan bangsanya. Sedangkan Paulus memiliki visi agar jemaat di Galatia menghayati iman mereka kepada Kristus dalam kebebasan yang bertanggung jawab.  

Dari bacaan kita hari ini, tema kemerdekaan sebagai pengikut Kristus membungkus petuah Paulus kepada jemaat Galatia. Dalam petuahnya di perikop ini (Gal. 5: 16-26) Paulus  mengangkat tema kemerdekaan Kristen sebagai pedoman bagi jemaat Galatia untuk menghadapi pertentangan antara pola hidup yang menurut ‘daging’ dengan pola hidup yang ‘dibimbing oleh Roh’. 

Apa arti kemerdekaan mereka sebagai orang Kristen dalam pertentangan ini? Bagaimana kita bisa menghayati kemerdekaan ini dalam iman dan dalam kebebasan yang bertanggung jawab? Apakah kemerdekaan ini artinya tanpa batas? Ataukah ini kemerdekaan yang sifatnya menghargai dan menghormati kemerdekaan orang lain? Ataukah kemerdekaan yang mementingkan diri sendiri? Ataukah jenis kemerdekaan sesama manusia lainnya? 

Paulus mengenal dengan baik perjuangan keras jemaat Galatia yang sedang terombang-ambing ajaran-ajaran penghasut yang membingungkan mereka. Paulus menyadari bahwa peperangan batin antara yang spiritual dan yang tidak spiritual itu berat, melelahkan dan membebani pundak. Paulus juga menyadari bahwa sebenarnya ada peperangan batin dalam diri tiap manusia, tanpa kecuali. Kita dengan aman bisa mengatakan bahwa orang yang dianggap paling suci sekalipun, seperti Mandela misalnya, juga tidak luput dari peperangan batin ini. Paulus bahkan mengingatkan jemaat Galatia untuk melihat teladan Kristus yang tubuh-Nya terpaku di kayu salib sebagai tanda hidup terpakunya segenap keinginan daging dari diri dan semua pengikut-Nya (Gal. 5: 23). Lalu di mana letak kemerdekaan atau kebebasannya?

Dalam petuahnya kepada jemaat di Galatia, Paulus mengajak jemaat Galatia untuk memaknai kebebasan sebagai sebuah komitmen untuk mengasihi satu sama lain dalam komunitas. Walaupun ada peperangan batin (dalam diri anggotanya) namun ada komitmen hidup bersama dalam komunitas yang juga harus dipertimbangkan. Di dalam konteks pekerjaan dan karya kita UKDW ini, kita tidak bekerja sendiri. Peperangan batin tidak hanya terjadi dalam diri seseorang saja. Namun peperangan batin bisa saja terjadi secara komunal dalam sebuah komunitas kerja seperti di UKDW ini. Peperangan batin ini bisa dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya kesehatian yang rapuh, miskomunikasi yang berlarut-larut, mengalami tekanan batin dalam bekerja, menunjukkan gejala depresi saat berada di kantor, sering terlambat masuk kerja, tidak fokus dalam bekerja, melakukan tugas yang bukan area job description-nya, dll. Menurut kami contoh-contoh ini manusiawi adanya. Yang diperlukan adalah usaha-usaha nyata agar setahap demi setahap bentuk-bentuk peperangan batin di atas bisa berkurang dan digantikan dengan bentuk-bentuk kesejahteraan batin yang konstruktif dan inspiratif. 

Mungkin buah-buah Roh yang disampaikan oleh Paulus (Gal. 5:22) bisa menjadi petunjuk sumbangsih kita untuk mulai menapaki jalan-jalan kerja dan pengabdian kita di UKDW dengan restu pendampingan Roh Kudus yang memerdekakan. Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5: 22-23) bisa diterjemahkan ke dalam aksi-aksi nyata ketika kita berusaha membangun kultur korporasi kita sebagai pribadi anggota sebuah institusi pendidikan.

Di rubrik siraman rohani bulan Mei yang lalu kami sempat menyinggung tentang 8 (delapan) tips praktis (Patty McCord, 2017) yang bisa direnungkan dilakukan masing-masing elemen sivitas UKDW demi membangun sebuah kultur korporasi di UKDW. Kultur korporasi yang dimaksudkan di sini adalah pola hidup, kerja dan pengabdian yang mengajak tiap elemen sivitas UKDW memberikan sumbangsihnya dalam sebuah atmosfer kerja yang kondusif dan dinamis agar gairah kerja tiap sivitas UKDW bisa dikobarkan. 

Delapan strategi/ pendekatan McCord adalah sebagai berikut: yang pertama, hargai dan perlakukan orang lain seperti orang dewasa. Ketika seseorang diberi kepercayaan untuk mengelola sebuah tanggung jawab, maka seseorang akan terpacu untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan dan menjadikannya sebagai kesempatan untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya demi menunaikan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian mereka akan merasa dihargai dan diperlakukan sebagai orang dewasa atas dasar potensi dan kompetensi diri. Tugas pimpinan adalah menciptakan dan menjamin atmosfer kantor yang merangsang tiap pegawai untuk dapat mengembangkan kepercayaan diri, potensi dan kompetensinya. 

Pendekatan kedua adalah komunikasikan tantangan terbesar institusi secara berkelanjutan kepada semua elemen dalam institusi. Di sini masing-masing elemen dalam institusi akan mendapatkan penjelasan yang jelas dan berkelanjutan dari pihak pimpinan tentang konteks dari apa yang sedang mereka kerjakan. Hal ini akan menjadi semacam minyak pelumas bagi setiap sendi kerjasama yang diperlukan. Sebuah rantai pekerjaan akan berjalan dengan lancar jika didukung dengan komunikasi yang efektif berkaitan dengan kejelasan konteks pekerjaan yang akan/ sedang dikerjakan. 

Pendekatan ketiga adalah berlatih kejujuran secara radikal. Jika kita jujur maka diharapkan ketegangan-ketegangan yang ada akan berkurang. Sekaligus hal tersebut diharapkan akan mencegah kemungkinan seseorang untuk berbuat curang saat berada di belakang layar tempat kerja mereka. Kejujuran ini diharapkan dapat membantu terbangunnya usaha saling memahami dan saling menghargai di antara para elemen sivitas sebuah institusi. Kejujuran juga dapat merangsang bertemunya ide atau gagasan yang saling bertentangan dalam rangka usaha menemukan solusi dari sebuah permasalahan. Unsur penting yang tidak bisa diabaikan adalah kesediaan untuk mengakui kesalahan secara terbuka, jika memang demikianlah adanya. 

Pendekatan keempat adalah berlatih berani berpendapat secara mandiri berdasarkan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Sudah bukan rahasia lagi kalau keberanian berpendapat di muka umum merupakan kendala terbesar dari banyak elemen sebuah institusi. Peran budaya sangat berpengaruh dalam hal ini. Namun besaran grup diskusi juga bisa menjadi halangan bagi beberapa pribadi. Semakin kecil grupnya, maka semakin dimungkinkan lalu lintas pembicaraan lebih dinamis. Pendekatan ini juga akan mendorong tiap pribadi untuk menyiapkan data-data pendukung yang menguatkan pendapat pribadinya. Untuk ini, diperlukan latihan yang frekuensinya harus terpantau dan terukur secara ketat. 

Pendekatan kelima adalah senantiasa berorientasi ke masa depan. Setiap elemen institusi yang terlibat tidak anti terhadap perubahan dan selalu siap untuk beradaptasi di tiap tahapan perkembangan institusi tempat dia bekerja. Secara teratur pimpinan bersama dengan anggota tim membuat proyeksi enam bulan ke depan guna menjaga performa kerja institusi tetap dinamis dan terkontrol. Kadang jumlah personil yang lebih sedikit dan berperforma tinggi sangat berguna bagi institusi. 

Pendekatan keenam yaitu, menempatkan orang yang tepat di tiap posisi/ fungsi kerja. Pendekatan ini memerlukan sebuah pemetaan yang luas dan menyeluruh tentang potensi dan kompetensi dari masing-masing elemen institusi. Tujuannya adalah optimalisasi personil yang ada tanpa terburu-buru menyewa jasa orang lain dari luar. Hal ini akan memperkuat dan menumbuhkan kepercayaan diri seseorang. 

Pendekatan ketujuh adalah dengan memberikan penghargaan atau kompensasi yang sesuai dengan kompetensi masing-masing. Kemampuan dan talenta masing-masing elemen institusi perlu dipertimbangkan secara transparan agar pemberian penghargaan dalam bentuk gaji bulanan, bonus, dll., bisa diapresiasi bersama dalam semangat keterbukaan. 

Pendekatan kedelapan adalah dengan melakukan pembenahan secara cepat dan menjadi institusi yang dapat dibanggakan. Setiap elemen institusi berhak untuk mengetahui apakah talenta dan gairah kerjanya benar-benar dibutuhkan demi pencapaian tujuan masa depan institusi? Ataukah mungkin lebih baik baginya untuk berpindah ke institusi lain yang lebih membutuhkan tenaga, talenta dan gairah kerjanya? Untuk itu diperlukan sebuah sistem yang secara berkala memberikan feedback atas performa dan prestasi kerja mereka. Pihak pimpinan dengan terbuka bisa membantu tiap elemen institusi untuk menemukan peluang-peluang kerja baru. Jika memang harus ada perpisahan, mungkin saja itu jalan terbaik. 

Warga UKDW yang terkasih, tidak ada jaminan bahwa jika kedelapan hal ini dilakukan secara sempurna maka kita akan sampai pada pelabuhan tujuan kita. McCord mengusulkan kedelapan pendekatan ini agar suasana kerja yang memerdekakan dan bertanggung jawab bisa terwujud secara berkesinambungan. Kira-kira pendekatan mana saja yang tepat untuk dilakukan di UKDW? 

Menurut kami, buah-buah Roh seperti yang disampaikan Paulus dalam petuahnya kepada jemaat di Galatia akan menemukan lahan subur jika kedelapan pendekatan ini dilakukan. Namun terlepas dari jumlah pendekatan atau jenis pendekatan mana yang akan diambil, tiap institusi wajib mengenali karakter institusi mereka terlebih dahulu dengan baik. Nah, kira-kira bagaimanakah menurut Anda kultur korporasi di UKDW ini? Apa sih yang sedang terjadi? Kira-kira hal-hal apa saja yang masih perlu diperbaiki? Apakah rasa memiliki (sense of belonging) kita ada di titik tertinggi, di tengah-tengah, atau di titik terendah? Apapun hasilnya, jangan takut untuk mencoba dan mencoba, karena memang dari kesalahan kita akan banyak belajar untuk berjalan lebih baik lagi kedepannya demi kemajuan UKDW yang kita cintai bersama. 

Tetaplah bersemangat dan bertanggung jawab dalam setiap pekerjaan dan karya yang dipercayakan oleh pimpinan UKDW kepada kita sekalian. Persiapkanlah lahan subur hati dan ikhtiar baik kita agar dalam setiap kerja dan tanggung jawab yang telah diselesaikan ada ungkapan syukur yang terucap kepada Yang Maha Kuasa.  

Tuhan memberkati kita sekalian. Amin. 

(Ditulis oleh: Adham Khrisna Satria, MA. Unit PKK)

Pin It on Pinterest

Share This