Bacaan IMAMAT 25:35-37
35 “Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. 36 Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. 37 Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba.”
Shalom,
Salam SORBUM untuk semua warga UKDW,
Di bulan September ini kita bersyukur bahwa UKDW dapat memulai tahun ajaran yang baru 2020/2021 dan diberi kepercayaan untuk membimbing sekitar 933 mahasiswa baru yang akan belajar di semua jenjang pendidikan (S1, S2, S3). Kita patut bersyukur karena di tengah situasi yang tidak menentu akibat pandemi COVID-19 ini Tuhan masih mempercayakan sejumlah mahasiswa baru di kampus kita tercinta ini. Tanggung jawab besar ada di pundak tiap pengajar dan staf pendukung akademik UKDW demi mempersiapkan tiap mahasiswa agar menjadi insan terdidik dan mampu menjadi agen-agen perdamaian yang menghayati nilai-nilai kedutawacanaan dalam setiap kiprah kehidupannya.
Siraman Rohani kali ini ingin memakai momentum awal semester baru ini dengan mengajak kita bersama merenungkan bersama satu bagian dari Kitab Imamat yang berbicara tentang kaitan antara aksi memberi dan berbagi dalam rangka pembangunan perdamaian yang menjawab persoalan nyata di konteks kita masing-masing. Renungan ini sekaligus ditulis dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Sedunia yang jatuh pada tiap tanggal 21 September. Oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), tema Hari Perdamaian Sedunia tahun ini adalah “Membentuk Perdamaian Bersama” (Shaping Peace Together).
Ada banyak tokoh-tokoh penerima Nobel Perdamaian (1901-sekarang) yang secara individual aktif memberikan sumbangsih nyata perdamaian dari bidang-bidang mereka masing-masing, misalnya ilmu Kimia, Fisika, Fisiologi atau Kedokteran, dan Sastra. Dalam perkembangannya, Nobel Perdamaian diberikan setiap tahun dan mencakup orang-orang (tertentu dan terpilih) yang dinilai telah berusaha keras memperjuangkan persaudaraan antar bangsa-bangsa, berperan dalam usaha perlucutan senjata-senjata berhulu ledak nuklir, pengurangan angkatan bersenjata serta bagi mereka yang dengan gigih mempersiapkan, mempromosikan kongres-kongres perdamaian (Wikipedia). Tapi siapa kira-kira tokoh perdamaian di masa pandemi COVID-19?
Agaknya segenap umat manusia saat ini memiliki satu musuh yang sama yaitu virus Corona dan meningkatnya angka kemiskinan di tingkat dunia. Bank Dunia (World Bank) mencatat bahwa di periode pandemi COVID-19 ini angka kemiskinan dunia berpotensi meningkat dan diestimasikan sekitar 49 juta terpuruk di bawah garis kemiskinan (extreme poverty) di tahun 2020 (World Bank). Beberapa penelitian bahkan memproyeksikan penurunan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia 1-4% dan kenaikan angka kemiskinan dari 9,2% di tahun 2019 ke 9,7% di akhir tahun 2020. Di atas kertas, jika imbas COVID-19 tidak terlalu parah maka ini berarti sejumlah 1,3 juta orang dengan terpaksa akan terdorong di bawah garis kemiskinan. Jika imbas COVID-19 dikategorikan parah maka prosentase angka kemiskinan di Indonesia akan naik ke angka 12,4%. Ini berarti sekitar 8,5 juta orang akan menjadi miskin. Keadaan ini tentu saja membuat usaha pemerintah menghapus kemiskinan di 10 tahun terakhir sia-sia. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus memperluas program-program pemerintah untuk membantu warga miskin yang baru dan warga yang sebelumnya memang sudah berada di bawah garis kemiskinan (A. Suryahadi, R. Al Izzati, D. Suryadarma, 2020).
Pemaparan statistik di atas seakan membuat tekanan di dada kita semakin berat dan menyesakkan nafas. Masihkah kita dapat temukan secercah harapan akan perdamaian jika kemiskinan merajalela sedemikian rupa? Di tahun 2006 Ketua Komite Nobel Ole Danbolt Mjoes pernah mengatakan, “Perdamaian tidak akan dapat diraih hingga sebagian besar rakyat menemukan cara keluar dari kemiskinan…,”. Kala itu Hadiah Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Muhammad Yunus berjuang untuk mengentaskan kemiskinan di konteks Bangladesh dengan memperkenalkan produk mikro kredit dari Grameen Bank. Dia memberi secercah cahaya harapan di tengah gelapnya kehidupan. Mikro kredit tersebut telah mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat Bangladesh. Bagaimana dengan Indonesia? Di manakah tanda-tanda harapan itu bisa kita temukan di Indonesia saat ini?
Warga UKDW yang terkasih,
Alkitab mencatat bahwa Tuhan Yesus pernah berkata, “Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.” (Matius 26:11). Di tengah pandemi ini, seakan kata-kata Tuhan Yesus ini semakin menguatkan anjuran dari Kitab Imamat untuk memperhatikan sesama yang ‘menjadi jatuh miskin’ dan menolongnya. Di Kitab Imamat kita membaca, “35 “Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. 36 Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. 37 Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba.” (Imamat 25:35-37). Dapatkah kita berbaik hati dan membantu sesama kita yang miskin jika kita sendiri miskin harta? Ya tentu saja dapat. Jawabnya adalah solidaritas (solidarity) dan inisiatif untuk memberdayakan sesama (empowerment).
Contoh nyata dari solidaritas dan pemberdayaan sesama di konteks pandemi saat ini ialah bermunculannya budaya ‘canthelan’ di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Canthelan ini artinya para warga desa yang ekonominya juga pas-pasan menggantungkan tas-tas plastik berisi sayur-mayur, telur, tahu dan tempe, tepung, serta bahan-bahan makanan lain di pagar depan rumahnya. Setiap warga yang lewat dan membutuhkan bahan makanan tertentu namun tidak punya uang untuk membeli dapat mengambil bahan makanan sesuai dengan kebutuhannya. Biasanya yang mengambil hanya diperbolehkan untuk mengambil satu tas saja.
Inisiator dari kegiatan ‘canthelan’ ini bisa siapa saja. Di beberapa desa para pemuda yang tergabung dalam karang taruna dan Ibu-ibu kampung bekerja sama untuk menyediakan bahan-bahan canthelan ini di tiap hari Minggu atau hari-hari lainnya. Aksi ini memang terlihat kecil, bahkan mungkin ada orang yang mencibir dan menyangsikan efektifitasnya dalam membantu warga yang miskin. Kita cenderung menantikan hal-hal besar dan menunggu sampai kita cukup mampu terlebih dahulu sebelum kita mau memberi dan berbagi.
Semangat yang ditularkan oleh bacaan dari Kitab Imamat seyogyanya memberikan inspirasi bagi kita sekalian untuk mencari aksi-aksi kecil yang mampu menularkan semangat solidaritas dan usaha untuk saling memberdayakan satu sama lain. Di dalam tradisi canthelan ini tidak hanya searah saja jalurnya. Selain orang dapat mengambil bahan makanan yang diperlukan, dia juga bisa menggantungkan (‘mencanthelkan”) tas plastik berisi bahan makanan lainnya di tempat itu. Sehingga aksi canthelan ini juga menumbuhkan keinginan untuk saling berbagi di masa-masa sulit ini. Bagi generasi milenial mungkin baru pertama kalinya mereka melihat hal semacam ini terjadi. Hal ini bisa menjadi bahan pelajaran hidup yang berharga bagi mereka.
Kita mungkin pernah membaca dalam Alkitab tentang Rasul Paulus yang berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kis. 20:35). Namun di dalam perenungan kali ini kita belajar dari Kitab Imamat bahwa adalah lebih baik lagi untuk bisa saling memberi dan berbagi. Inilah tantangan yang harus kita jawab di tengah masa pandemi yang berkepanjangan ini. Di tengah semakin tingginya angka penularan COVID-19 di masyarakat secara umum dan semakin tingginya angka kemiskinan, janganlah kiranya kita sampai kehilangan semangat untuk bersolidaritas dengan sesama kita yang ‘jatuh miskin’ karena pandemi ini, dan janganlah kita sampai mati rasa sehingga kita tidak mampu lagi merasakan penderitaan orang lain.
Kita sebagai warga UKDW, apapun agama dan kepercayaan kita, terpanggil untuk ikut mengemban amanat Kitab Imamat ini dalam hidup kita hari lepas hari. Di masa pandemi seperti saat ini, mungkin tidak ada hal yang lebih bertanggung jawab yang bisa dilakukan oleh segenap warga UKDW selain menggalakkan aksi-aksi solidaritas dan berinisiatif untuk memberdayakan masyarakat yang menjadi korban ekonomi dari pandemi COVID-19 ini.
Kiranya jalan menuju perdamaian semakin terbuka saat kita mau saling memberi dan berbagi dengan sesama kita yang membutuhkan. Semoga semangat Hari Perdamaian Sedunia tahun ini memberi kita dorongan positif bagi kita sekalian untuk mencari aksi-aksi kecil yang terjangkau dan bisa dilakukan oleh siapapun sehingga terang cahaya harapan bisa terpancar dari tiap-tiap insan Duta Wacana.
Tuhan memberkati kita sekalian.
[Adham K. Satria, MA. –PKK UKDW]