Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta mengundang tiga orang narasumber, salah satunya adalah Ayu Utami, novelis termasyur di Indonesia, untuk membedah buku “Bergulat di Tepian” pada hari Selasa, 21 Agustus 2019. Sebanyak dua ratus orang dari berbagai kalangan memenuhi Kapel Atas UKDW untuk mendengarkan kajian kritis dan turut mengulas buku karya Pdt. Daniel K. Listijabudi, Ph.D.
Pada kesempatan tersebut, Pdt. Daniel K. Listijabudi, Ph.D yang juga berprofesi sebagai dosen di Fakultas Teologi UKDW ini menjelaskan bahwa buku “Bergulat di Tepian” merupakan gubahan baru dari disertasi yang berhasil ia pertahankan di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda. “Buku ini menyandingkan teks dari dua tradisi religius yang berbeda yakni kisah antara Dewa Ruci dan Yakub di Yabok. Melalui buku ini, diharapkan dapat membuka kemungkinan dialog menuju saling pengertian, serta semangat membangun perdamaian untuk hidup bersama,” papar Pdt. Daniel.
Adapun tiga orang narasumber yang diundang untuk membedah buku tersebut adalah Ayu Utami, Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D, dan Pdt. Robert Setio, Ph.D. Dalam pemaparannya, Ayu Utami mengatakan Pdt. Daniel dan dirinya memiliki persamaan dengan menggunakan Dewa Ruci sebagai salah satu sumber. “Beliau melakukan cross textual reading atau pembacaan silang teks sedangkan saya mengeksplesitkan struktur persilangan yang ada secara implisit dalam teks-teks Jawa,” katanya.
Lebih lanjut, Ayu Utami menuturkan bahwa Pdt. Daniel dapat membuktikan bahwa Kristianitas, melalui teologi, mampu bersikap terbuka secara total. Berani menjadi rentan dan berani diterangi oleh kultur lain sekaligus menerangi kultur lain. “Dengan demikian, isi buku ini dapat menghilangkan sifat kolonialis yang selama ini mengiringi gereja,” tuturnya.
Sementara itu, Prof. Gerrit mengungkapkan bahwa buku “Bergulat di Tepian” cepat menarik perhatian dari banyak orang, termasuk mereka yang berada di luar bidang teologi. Isinya mendalam dan merupakan hasil kerja keras dalam menguraikan dua literatur yang berbeda isi dan konteks, yang satu mengenai perjalanan seseorang menemui saudaranya yang telah dicuranginya di Israel kuno, sementara yang lain mengisahkan perjalanan seorang tokoh pahlawan mencari air hidup dan dicurangi oleh gurunya di Jawa kuno. “Saya setuju dengan Pdt. Daniel bahwa kisah Yakub di Yabok merupakan pengalaman mistik dalam mimpi atau penglihatan. Namun saya mengamati bahwa Pdt. Daniel masih memaknai sebuah pengalaman mistik dari kerangka pengalaman mistik Protestan, karena ada pola dosa yakni kesombongan Yakub, pergumulan, pertobatan, dan hidup baru,” ungkapnya.
Sedangkan Pdt. Robert memaparkan bahwa yang ditulis oleh Pdt. Daniel dalam bukunya merupakan hal yang cukup anti mainstream. Secara tidak langsung ia mengatakan bahwa hermeneutika, ilmu tentang interpretasi asas-asas metodologis, tidak lagi hanya berpusat ke sejarah, namun bisa berpusat ke pembaca. “Akan tetapi yang dilakukan oleh Pdt. Daniel dengan menyandingkan dan menyilangkan dua teks tersebut mengingatkan saya akan metode strukturalisme yang sempat meramaikan jagad tafsir Alkitab di tahun 1970-1980an. Beliau mengingatkan saya akan strukturalisme sebagai sebuah metode sekaligus ujungnya yaitu utopia. Dalam hal ini utopia itu adalah perdamaian. Sebagaimana yang kita baca dari ulasan Pdt. Daniel, baik kisah Dewa Ruci maupun kisah Yakub di Yabok berakhir dengan perdamaian,” paparnya.