Bacaan: Yeremia 9:19-22
“(19) Sebab terdengar ratapan dari Sion: Wahai binasalah kami! Kami sangat dipermalukan! Sebab kami harus meninggalkan negeri ini, karena rumah-rumah kediaman kami dirobohkan orang. (20) Maka dengarlah firman TUHAN, hai perempuan-perempuan, biarlah telingamu menerima firman dari mulut-Nya; ajarkanlah ratapan kepada anak-anakmu perempuan, dan oleh setiap perempuan nyanyian ratapan kepada temannya: (21) Maut telah menyusup ke jendela-jendela kita, masuk ke dalam istana-istana kita; ia melenyapkan kanak-kanak dari jalan, pemuda-pemuda dari lapangan; (22) mayat-mayat manusia berhantaran seperti pupuk di ladang, seperti berkas gandum di belakang orang-orang yang menuai tanpa ada yang mengumpulkan.”
Salam SORBUM!
Warga UKDW yang terkasih, kami ucapkan Selamat Tahun Baru 2021. Di tahun yang baru ini kita membuka lembaran baru dan tentu saja kita ingin menulis cerita baru agar di tahun yang baru ini ada warna atau cerita baru yang bisa kita torehkan. Namun saat ini, kita tidak bisa menuliskan cerita baru jika kita abai membaca kelanjutan dari cerita tahun lalu yang tentu saja masih berlanjut di tahun 2021 ini. Penerapan PROKES, Rapid Test/ SWAB Antigen, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Work from Home (WFH), Work from Office (WFO), isolasi mandiri telah menjadi kosakata umum yang hampir setiap beberapa detik sekali kita dengar dan baca di banyak media sosial. Rajin menerapkan 3M: Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, Menggunakan Masker juga sudah menjadi kewajiban yang secara otomatis kita lakukan saat kita pergi keluar rumah.
Demikian juga saat pemerintah memperbolehkan digunakannya kembali tempat-tempat ibadah. Peraturan tersebut tidak luput dari rambu-rambu yang dikeluarkan pemerintah terkait berapa persen jumlah jemaat yang boleh memasuki ruang ibadah dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 tahun 2020 menuliskan aturan bahwa jumlah maksimal jemaat yang diperbolehkan hadir adalah sekitar 20% dari kapasitas total ruangan dan tidak boleh lebih dari 30 orang jemaat.
Ibadah Perjamuan Kudus contohnya, juga tidak bisa lagi dilakukan secara tatap muka. Masing-masing keluarga yang ingin mengikuti Perjamuan Kudus diharuskan mendaftar terlebih dahulu agar Majelis Jemaat kemudian bisa mendistribusikan roti dan anggur yang sudah dikemas secara khusus kepada masing-masing anggota. Ibadahnya sendiri dilakukan secara virtual dan jemaat mengikuti ibadah Perjamuan Kudus dari rumah masing-masing, dari layar YouTube. Hal yang tidak biasa memang, namun yang membuat kami kagum adalah kesungguhan para jemaat untuk menaati segenap pembatasan-pembatasan ini. Walau dengan hati terpaksa mereka tetap berdoa agar sesegera mungkin pandemi ini berlalu.
Sejalan dengan hal itu, seakan-akan produk-produk komersil pendukung protokol kesehatan seperti masker, hand sanitizer, dan face shield sudah bersanding sejajar dengan salib serta roti dan anggur yang menjadi piranti-piranti ibadah di gereja kita masing-masing. Hal ini tentu saja bukan dimaksudkan untuk memasukkan masker, hand sanitizer dan face shield sebagai alat-alat ibadah dalam gereja, melainkan untuk menemukan keterkaitan produk-produk komersil tersebut dengan perilaku religius kita sebagai manusia beragama yang ‘diharuskan’ untuk menjalani hidup di masa pandemi seperti ini.
Bacaan singkat dari Kitab Yeremia di atas memberikan sedikit gambaran bagaimana dalam konteks kehidupannya kala itu Nabi Yeremia menggambarkan secara puitis kedatangan wabah penyakit yang seperti kedatangan seorang pencuri di malam hari. Pencuri masuk tidak lewat pintu utama, melainkan lewat jendela. Kalimat-kalimat ratapan ini pada masanya digunakan dalam ritual kedukaan yang mengiringi penguburan seseorang. Hanya saja yang mereka tangisi saat ini bukanlah kematian seseorang tapi ‘kematian’, kehancuran dan keruntuhan kota mereka akibat serangan bangsa lain (ay. 19). Konsekuensinya mereka harus angkat kaki dari kota itu. Ratapan ini dilakukan secara profesional dan dilakukan oleh para peratap yang secara khusus terlatih untuk melakukannya secara sempurna. Ironi dari ratapan mereka adalah bahwa mereka sendiri yang meratap, mereka sendiri yang berduka, dan ritual penguburan yang mereka gaungkan lewat ratapan mereka tidak lain sebenarnya adalah kematian yang mereka sendiri telah alami, bahkan ketika mereka masih hidup. Hidup mereka benar-benar telah musnah (ay. 22).
Cuplikan dari Kitab Yeremia ini tentu saja adalah salah satu bentuk atau cara bagaimana kemanusiaan menggambarkan akhir hidup mereka seakan-akan seperti korban keganasan wabah penyakit yang masuk dalam kehidupan layaknya pencuri yang menjarah rumah. Wabah itu masuk tanpa suara, tanpa permisi, tanpa aba-aba, dan langsung menyerang inti kehidupan. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk melakukan ritual kedukaan. Di dunia Perjanjian Pertama memang bentuk ritual-ritual seperti ini bukan pertama-tama menawarkan jalan keluar atas bencana yang sedang dihadapi. Ritual-ritual kedukaan seperti yang disampaikan dalam Kitab Yeremia ini seakan-akan menggarisbawahi sebab-musabab dari bencana tersebut. Jika ritual tersebut terkait dengan sebuah wabah penyakit maka bukan obat manjur penyembuh yang mereka cari melainkan sebab-musabab dari wabah tersebut. Kita belajar bahwa tiap manusia mungkin tidak dapat mengontrol tiap detik dalam kehidupan mereka di bumi ini. Namun dengan mengadakan ritual seperti ini mereka mendapatkan sedikit kepastian ketika melalui bencana tersebut.
Keadaan ini hampir sama seperti keberadaan virus Corona yang sangat sulit kita deteksi dengan kasat mata. Kita tidak tahu siapa saja yang sudah terjangkit, siapa saja yang Orang Tanpa Gejala (OTG), atau siapa yang pembawa (carrier). Kita dibuat was-was setiap kali kita keluar rumah dan berjumpa dengan kerumunan orang. Bahkan surat Rapid Test/ SWAB Antigen dengan hasil negatif-pun belum tentu menjamin seseorang itu benar-benar terbebas dari virus Corona. Apalagi di tengah suasana seperti ini, banyak pihak yang justru mencari keuntungan dengan menawarkan proses tes Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Rapid Test/SWAB Antigen dengan harga bombastis dan menjamin akurasi hasil tes yang dapat segera diterima dalam hitungan menit. Hal ini tentu saja membuat kita semua mempertanyakan validitas hasil tes. Ditambah lagi, ada banyak pihak yang memiliki kepentingan masing-masing dalam pengambilan keputusan hasil tes seperti apa yang bisa diterima, diakui, atau ditolak.
Di masa pandemi COVID-19 ini kita dapat membaca di berbagai media sosial bagaimana orang-orang yang menyebut dirinya beragama, memberikan beragam tanggapan religius untuk berusaha memberi jawab dalam situasi yang penuh tanda tanya. Sedangkan yang lainnya lebih suka untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang lebih bersifat sosial guna meringankan beban mereka yang oleh sebagian masyarakat dikucilkan lantaran disinyalir telah terinfeksi COVID-19. Keduanya memang tidak secara langsung berbicara tentang sumber pandemi ini, melainkan apa yang telah mereka lakukan ikut memberikan semacam kepuasan rohani dan emosional. Setidaknya, mereka menemukan saat yang tepat untuk menumbuhkan kembali jiwa mau berbagi dengan sesama. Dan hal ini positif sekali nilainya baik bagi yang bersangkutan dan bagi mereka yang telah ditolong.
Warga UKDW yang terkasih,
Kita akan terus berusaha menemukan tanda-tanda damai dan harapan baru di tengah situasi pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir ini. Kita dapat saja berpikir bahwa segala sesuatu terjadi demi tujuan tertentu dan bahwa kita dapat belajar sesuatu darinya. Kita perlu untuk mengenal kecenderungan manusiawi ini untuk mencari pemaknaan-pemaknaan yang dapat diterima nalar/ akal sehat agar kita dapat memahami beragam tanggapan yang banyak orang lontarkan terkait dengan pandemi ini. Bagi kita yang yang sedang WFH atau WFO atau yang lainnya, jangan lelah untuk menemukan ‘blessings in disguise’ yang mungkin saja terselip dalam carut-marut keseharian yang diwarnai keprihatinan akibat COVID-19.
Selamat menapaki hari-hari baru di tahun 2021 dan tetap semangat! Jangan lupa selalu bawa masker, hand sanitizer, dan salib Anda masing-masing di masa-masa pergumulan komunal ini. Tuhan memberkati kita sekalian.
Salam SORBUM! [AKS-PKK, 11 Januari 2021]