Rabu Abu, sebuah tradisi gerejawi untuk menghayati momen penuh kesadaran akan keberdosaan dan kefanaan manusia. Berbicara mengenai Rabu Abu memang tidak lepas dari kesadaran akan keberdosaan manusia. Rabu Abu pun menjadi momen penanda rasa penyesalan dan pertobatan menjelang Paskah dengan menjalani puasa selama 40 hari atau selama enam minggu. Selama masa 40 hari itu, umat diajak untuk mengambil langkah penyesalan dan pertobatan serta berpantang.

Nuansa pertobatan itu juga terasa dalam dekorasi ruang Kapel Atas Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) dengan dominasi warna ungu, putih, coklat, dan ranting pohon kering yang menyimbolkan kefanaan manusia. Umat diajak untuk menyesap pergumulan kehidupan beriman dalam melawan dosa dan keinginan daging semata. “Sungguh lembut Tuhan Yesus memanggil, memanggil aku dan kau. Lihatlah Dia prihatin menunggu, menunggu aku dan kau…” -pun mengalun lembut menemani iringan prosesi sembari mengajak umat untuk merenungi kehidupan beriman dan bagaimana umat merespon panggilan Tuhan selama ini.

Ajakan untuk menyadari kehinaan manusia semakin terasa dalam proses peneraan abu di dahi. Apa sebenarnya makna peneraan abu? Dalam tradisi Yahudi, abu tidak hanya memiliki makna penyesalan dan pertobatan, perkabungan, tetapi juga punya makna keterbatasan atau ketidakabadian manusia. Cerita tentang abu ini banyak dijumpai dalam Kitab Suci. Muncul pertama kali dalam kisah penciptaan. Melalui kisah penciptaan itu diingatkan bahwa kita semua diciptakan dari abu atau debu tanah (Kejadian 2:7). Suatu saat nanti kita semua akan mati dan kembali menjadi abu. 

Yesus pun menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21). Narasi-narasi ini menunjukkan bahwa abu digunakan sebagai simbol perkabungan, penyesalan, dan pertobatan.

“Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” demikianlah Kejadian 3:19b diucapkan oleh Pdt. Daniel K. Listijabudi, Ph.D dan Pdt. Nani Minarni sembari menerakan abu di dahi umat yang merelakan dirinya untuk hidup dengan pertobatan yang terus-menerus dan hidup berpantang. Hidup berpantang berarti rela berpuasa untuk hal-hal yang selama ini dianggap begitu nikmat, misalnya daging-dagingan dan makanan berlemak. Hidup berpantang selama masa pra-Paskah juga berarti mengambil komitmen iman untuk tidak mengikat diri dengan hal-hal yang selama ini tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita, misalnya berselancar di sosial media dan menghabiskan waktu berjam-jam, atau membicarakan keburukan orang lain, menunda pengerjaan tugas, memilih untuk rebahan dibanding memulai pekerjaan. Masa berpantang selama pra-Paskah mengajak kita untuk menyederhanakan hidup kita.

Melalui peneraan abu di dahi, umat hendaknya terus mengingat tujuan pertobatannya dan memaknai penyesalannya. Namun, apakah hanya penyesalan, keberdosaan saja yang perlu kita sadari? Pada titik inilah, kita perlu mengingat khotbah Pdt. Daniel, “Rabu abu memang momen penuh penyesalan dan kesadaran akan keberdosaan serta kefanaan manusia. Hal itu benar, tetapi hanya benar separuh” demikian khotbah Pdt. Daniel. Lantas, apa yang separuhnya lagi? 

Kasih karunia Allah! Ya, mengingat dosa dan kefanaan akan begitu melelahkan dan memberatkan jika kita tidak menyadari bahwa kasih karunia Allah jauh lebih besar daripada keberdosaan kita. Jika hanya langkah penyesalan saja yang diambil, tanpa kesadaran akan anugerah Allah, maka teologi kita akan pincang. Kita butuh untuk sadar bahwa anugerah Allah jauh lebih besar dari keberdosaan manusia. Kebenaran yang utuh dalam memaknai rabu abu akan kita dapatkan jika kita juga menghayati keduanya; yakni keberdosaan kita sebagai manusia dan juga betapa besarnya kasih karunia Allah yang telah menyelamatkan kita dan mendorong kita untuk merasa terbebas dari belenggu dosa. Langkah penyesalan dan pertobatan kiranya disertai dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan telah mengaruniakan kasih setianya yang akan menolong kita menjalani masa berpantang. Hanya dengan kesadaran akan keberdosaan sekaligus anugerah Tuhan saja maka kita bisa menjalani masa pra-Paskah dengan penuh sukacita yang membebaskan.

Dengan kesadaran penuh akan keberdosaan serta kasih karunia Allah yang lebih besar dari dosa manusia, maka kita pun akan mampu melihat hidup berpantang selama 40 hari dalam masa pra-Paskah ini sebagai sesuatu yang membebaskan kita dan membuat kita mampu merasakan kasih Tuhan bahkan dalam hal yang paling sederhana sekalipun. Hidup berpantang tidak lagi hanya digerakkan oleh beban dosa, tetapi juga dengan pembebasan yang dikaruniakan Allah melalui kasih setia-Nya. Anugerah kasih setia Allah juga menghendaki respons aktif dari kita sebagai umatnya. Lantas, apa yang selayaknya menjadi respons kita kepada-Nya?

Respon yang selayaknya kita berikan kepada-Nya adalah bentuk kebaruan hidup beriman kita; termasuk dalam berbagai rintangan hidup kita. Rasul Paulus, dalam surat II Korintus 6:4-5 menyebutkan begitu banyak penderitaan yang pernah ia alami selama menjadi rasul Kristus, baik dari segi fisik, mental, disalahpahami, dipenjara, dan termasuk juga berpuasa. Beban yang ditanggung rasul Paulus tidaklah mudah, tetapi dalam tulisannya tidak ada nada menyesal bahwa ia dipilih dan memilih menjadi rasul Kristus, karena ia sadar bahwa kasih yang telah menyelamatkannya jauh lebih besar dan berharga daripada beban yang ditanggungnya.

Ajakan yang sama pun bergema bagi kita. Sudah sepatutnya kita memberikan respons aktif terhadap kasih karunia Tuhan bahkan dalam rintangan hidup dan masa berpantang sekalipun. Sebab setiap kesulitan yang kita alami adalah bentuk solidaritas kita dalam menghayati penderitaan Kristus. Masukilah sedalam-dalamnya realitas penderitaan sembari mengingat bahwa kasih karunia Allah lebih besar dari keberdosaan dan kefanaan kita. Justru dalam kesadaran akan keberdosaan kita, maka  kita dimampukan untuk menyadari betapa besarnya anugerah kasih Allah yang membebaskan. Demikianlah kita mampu melangkah dengan kesukacitaan penuh dalam melodi cinta kasih karunia Allah. (PKK/Grifith)

Pin It on Pinterest

Share This