Salam Sorbum!
Selamat Tahun Baru 2020 untuk kita semuanya. Kemeriahan pergantian malam Tahun Baru telah berlalu namun benak kita masih dipenuhi dengan berita, video, ulasan, dan deskripsi bencana banjir yang melanda Jakarta, Ibukota Republik Indonesia (RI). Banyak korban berjatuhan justru di saat kemeriahan pernak-pernik Natal & Tahun Baru masih terpasang dan masih dirayakan di Jakarta dan di pelosok-pelosok Indonesia lainnya. Ironis memang, seakan harapan dan masa depan para korban di tahun yang baru pupus saat banjir bandang datang mengepung Jakarta dan memporak-porandakan lingkungan hidup mereka.
Kesaksian demi kesaksian semakin menguatkan dampak negatif banjir ini bagi segenap korbannya. Semua kalangan terkena imbas banjir bandang ini. Tak peduli kaya atau miskin. Di hari pertama tahun 2020, seorang bapak korban banjir sedang sibuk menyelamatkan perabot rumah tangga dari banjir yang sudah setinggi paha. Tiba-tiba dia dihampiri anak bungsunya yang berlari sambil menangis dan berteriak mengabarkan kakak sulungnya yang wafat tersengat aliran listrik. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dia berlari menuju tempat kejadian. Betapa hancur hati bapak tersebut melihat putra sulungnya sudah terbujur kaku tak bernyawa tertutup kertas koran lusuh yang menutup jasad putranya. Ternyata ada kabel yang terkelupas pada tiang listrik yang dipegang putra sulungnya secara tidak sengaja. Pihak PLN telah meminta maaf kepada keluarga atas kelalaian mereka dan telah memberikan bantuan dana kepada keluarga bapak tersebut. Walaupun banjir tidak memandang korbannya, namun jelas mereka yang tak berpunya selalu menjadi korban yang paling menderita
Foto di atas juga secara simbolis menggambarkan sebuah realita saat banjir terjadi di Jakarta dan daerah sekitarnya. Foto tersebut menceritakan keadaan sebuah hotel berbintang di Jakarta yang sama sekali tidak terdampak banjir karena dibangun lebih tinggi dari paras jalan dan lingkungan sekitarnya. Sehingga saat banjir datang tingginya luapan air banjir tidak sampai masuk dan menggenangi kolam renang eksklusif yang mereka miliki. Kenyamanan dan kemewahan hotel tetap bisa mereka pertahankan dan persembahkan ke tamu-tamu mereka. Sementara di luar tembok hotel, tim SAR dan masyarakat setempat berusaha keras menyelamatkan diri dan mengamankan korban banjir lainnya. Cerita dan kesaksian seperti di atas bisa kita dapatkan tersebar di banyak media sosial di awal bulan Januari 2020. Berempati dengan para korban banjir bandang Jakarta kita dengar seakan mereka bertanya-tanya: Masih adakah harapan? Masih cerahkah masa depan kami? Siapa yang akan menyebarkan harapan? Bagaimana kami akan meniti masa depan kami?
Di awal tahun baru 2020 ini, saya ingin mengajak kita sekalian merenungkan pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas dengan menggunakan inspirasi sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Mazmur 46:1-3. Tiga ayat yang ditulis oleh Pemazmur di atas merupakan bait pertama dari trilogi puji-pujian yang tersusun rapi menjadi satu kesatuan guna menonjolkan kehadiran Tuhan yang selalu memberikan kehidupan. Bait pertama (ayat 1-3) menggambarkan kehadiran Allah ketika bumi dan segala isinya bergoncang. Bait kedua (ayat 4-7) menggambarkan kehadiran Allah sebagai sungai yang membelah kota dan memberi kehidupan pada semua penghuni kota. Bait ketiga (ayat 8-11) menggambarkan Allah sebagai Petarung yang handal, kota benteng yang teguh, pemenang dalam peperangan.
Unsur-unsur apokaliptis di dalam tiga bait ini digunakan oleh penulis untk menghiburkan dan membesarkan hati bangsa itu di tengah krisis yang kini mereka hadapi. Secara tradisional, Mazmur 46 dan ketiga baitnya dipahami sebagai bait-bait Mazmur yang memberikan jaminan bagi umat Tuhan yang kala itu sedang gelisah menjalani masa pengasingan dan masa-masa sesudahnya. Siapapun bakal gelisah dan frustrasi jika harus hidup di tanah pengasingan yang bukan tanah leluhurnya dan bukan tanah kelahirannya. Mereka seperti kehilangan akar tempat kaki mereka bisa dipijakkan.
Demikian pula dengan para korban banjir di Jakarta. Kegelisahan dan frustrasi yang mereka alami seakan berkait kelindan dengan kesulitan hidup yang telah dan akan terus melilit mereka tiap harinya. Bagi yang sudah lebih dari 20 tahun hidup di bantaran sungai Ciliwung, banjir tahunan di Jakarta ini sudah menjadi pil pahit yang harus mereka telan tiap kali musim penghujan datang. Bagaimana kita bisa temukan kehadiran Tuhan yang memberi kehidupan jika hingga hari ini (15/1/2020) sudah diberitakan telah jatuh korban sekitar 67 korban meninggal dunia?
Di samping semua hal yang membuat hati kita gelisah dan tidak tentram di awal tahun 2020 ini, penulis Mazmur ingin mengundang kita sekalian untuk menggaris bawahi ke-HADIR-an Allah di tengah pergumulan umatNya bahkan dalam situasi & masa terburuk sekalipun. Bagi pemazmur walaupun bencana silih ganti menimpa namun harapan dan masa depan masih ada. Pemazmur menganjurkan para pembacanya untuk: [1] tidak kehilangan fokus pandangan dan memusatkan perhatian hanya pada Tuhan semata terutama saat awan pekat dan badai mengancam (ayat 2-6); [2] mengingat kembali perkara-perkara besar yang Tuhan pernah lakukan bagi semua umatNya terutama saat mereka harus berhadapan dengan lawan-lawan mereka (ayat 7-10); [3] Allah memuliakan namaNya sendiri bukanlah demi keuntungan sendiri melainkan untuk memberikan penghiburan bagi umatNya yang hatinya sedang hancur berkeping-keping (ayat 11-12).
Lalu, masih adakah harapan di tahun 2020 ini? Masih cerahkah masa depan kita? Siapa yang akan menyebarkan harapan? Bagaimana kita akan meniti masa depan? Adalah tidak mungkin hanya dengan dengan berpangku tangan maka semua pertanyaan tadi bisa terjawab. Bercermin dari bait-bait dalam Mazmur 46 saya ingin mengundang kita sekalian untuk merenungkan beberapa hal berikut:
Jika harapan tak kunjung ditemukan, jadilah harapan itu sendiri. Jika masa depan tampak suram, pusatkan perhatian dan pandanglah pada Allah semata. Jika tidak ada yang mau menjadi duta-duta pengharapan maka hitunglah setiap karya Tuhan dalam hidupmu dan jadilah duta-duta harapanNya. Jika jalan setapak menuju masa depan tak tampak dan tertutup lumpur, jangan takut, raih tongkat ziarahmu, ikat tali sepatumu, kencangkan ikat pinggangmu dan majulah setapak demi setapak di tahun baru 2020 ini dengan penuh percaya diri.
Tuhan tidak pernah menjamin bahwa hidup kita akan bebas dari bencana. Tuhan juga tidak menjamin bahwa tahun baru 2020 ini akan luput dari segenap derita dan nestapa. Namun Sang Pemazmur mengundang kita sekalian untuk menjadi bagian dari solusi itu sendiri. Kita diundang untuk berani menjadi tanda-tanda harapan bagi mereka yang tidak dapat lagi melihat secercah harapan dalam hidup mereka. Menjadi tanda-tanda harapan maksudnya seseorang yang memiliki tekad hati untuk menjadi pelopor dalam melakukan hal-hal kecil yang dapat membawa imbas munculnya pengharapan-pengharapan baru bagi mereka yang melihat, membaca, dan merasakannya. Menjadi tanda harapan bisa dimulai dari diri sendiri: maukah saya menjadi inisiator harapan bagi diri saya sendiri? Benih-benih harapan seperti apa yang saya miliki dan bisa saya olah sehingga bisa menghasilkan bibit-bibit harapan baru? Jika ada orang lain yang membutuhkan suntikan harapan baru, bersediakah saya menjadi tanda harapan baru bagi orang tersebut?
Semoga pertanyaan-pertanyaan reflektif ini mendorong kita untuk semakin peka dengan ke-‘tiadaan’-harapan baik dalam diri kita maupun dalam diri mereka yang ada di sekeliling kita. Kiranya Tuhan memampukan kita sekalian untuk mau tergerak menjadi tanda-tanda hidup dari pengharapan guna meringankan beban penderitaan mereka yang sedang mengalami kedukaan yang mendalam. Tuhan memberkati kita sekalian. Amin. (PKK/Adham K. Satria)