Menyambut hari Epifania 6 Januari 2020
(Perenungan atas Matius 2:1-12)
Bintang di tengah pelawatan dan krisis
Bintang dalam peristiwa kelahiran Yesus hanya dicatat oleh Matius. Ia tidak ada dalam Lukas yang lebih detail memberi bingkai sejarah. Juga tidak ada dalam Injil Markus dan Yohanes yang memang tidak menyinggung kisah kelahiran Yesus dalam pelaporan mereka. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa peristiwa kelahiran Yesus yang terkait dengan bintang dan kedatangan orang Majus ini pastilah penting bagi penginjil Matius yang dalam teologi Perjanjian Baru (PB) dikenal cukup kental kadar Yudaisme-nya.
Mengapa hal itu penting bagi Matius? Sangat mungkin karena Matius ingin menunjukkan muatan krisis yang dibawa oleh kelahiran Yesus bagi kuasa-kuasa politik dunia. Mulai dari pasal 1 yang berisi silsilah Yesus hingga pasal 3 tentang Yesus yang kembali dari Mesir setelah kematian Herodes Agung, kita mendapat kesan bahwa Matius ingin menyaksikan jalinan yang amat erat antara pelawatan Allah dan krisis sebagai narasi sejarah keselamatan (heilsghechicte).
Di bagian silsilah (1:1-17), di tengah-tengah sekian banyak deretan nama, tiba-tiba kita mendapati keterangan tentang peristiwa pembuangan (ay 11 dan 12). “Interupsi” data peristiwa di tengah data nama-nama ini diulangi lagi oleh Matius, bahkan kali ini dalam satu kalimat kesimpulan di ayat 17 : “Jadi seluruhnya ada empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.”
Bila kita memperhatikan kalimat penyimpul ini, ada dua hal yang patut diperhatikan. Pertama adalah periodisasi waktu per empat belas keturunan. Apa makna 14 keturunan memang bisa jadi penting, tetapi bisa juga tidak sepenting nama-nama dan peristiwa (Kedua) yang dianggap sebagai tonggak periodisasi itu yakni : Abraham, Daud, pembuangan Babel, dan Kristus. Sebetulnya kita bisa bertanya misalnya : “Mengapa Matius tidak memulai silsilah dari Adam?”. Jawaban terhadap pertanyaan itu tidak diberikan oleh Matius, namun berdasarkan kepentingan Injil yang ditulisnya dalam konteks Yudasime, kita boleh menduga bahwa ketiadaan data dari Adam ke Abraham memang tidak dimunculkan Matius karena yang mau ditonjolkan oleh Matius bukan sekedar data kronologis yang menggapai sejauh mungkin ke belakang, melainkan data silsilah yang menjelaskan signifikansi peristiwa Yesus bagi Yudaisme. Oleh karena itu Matius mulai dengan kalimat “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham” (Mat 1:1). Abraham adalah nenek moyang orang Yahudi, Daud adalah raja ideal bagi mereka. Kedua nama itu menandai signifikansi Yudaisme dalam sejarah mereka. Namun Matius ingin menonjolkan juga hal lain yang juga signifikan, yakni fakta bahwa umat yang berpatron kepada Abraham dan Daud ini pernah dibuang ke Babel! Ini peristiwa pedih dan tak jarang dikenang dengan rasa sesal dan malu. Namun toh Matius hendak mengemukakan bahwa peristiwa pembuangan itu adalah tonggak sejarah mereka juga. Peristiwa itu bahkan sedemikian penting bagi Matius sehingga layak disejajarkan dengan nama-nama tokoh patriakh dan raja yang memberi periodisasi dalam sejarah Israel. Bila apa yang terjadi sejak 587 s/d 539 BCE di pembuangan Babel itu bagi Matius adalah tonggak sejarah terpenting maka itu berarti bukan hanya masa jaya sajalah yang hendak ditekankan oleh Matius sebagai keniscayaan kesadaran sejarah Israel, tetapi juga masa krisis. Dengan sengaja kedua pokok penting (kejayaan dan krisis) ini dimunculkan sebagai pengantar pada peristiwa kehadiran Yesus Kristus.
Krisis adalah bagian dari kehidupan manusia, juga manusia yang kepada-Nya Allah berkarya. Israel di sepanjang sejarahnya adalah bukti bahwa pelawatan dan kehadiran Allah tidak berarti menyingkirkan krisis, bahkan pelawatan Allah atas umat memang mengandung krisis. Dari situlah pengalaman dan penghayatan serta kesaksian akan karya Allah itu menjadi signifikan dan patut diperhatikan dengan keseksamaan.
Pada bagian selanjutnya mengenai datangnya berita kelahiran Yesus itu kepada Yusuf (2: 18-25), siapakah di antara kita yang tidak dapat menangkap adanya sense of crisis? Maria sang tunangan mengandung dari Roh Kudus, bukan hamil karena hubungan seksual dengan Yusuf sang tunangan lelaki yang dalam tradisi Yahudi sudah dianggap sebagai suami. Oleh karenanya Yusuf hendak menceraikan Maria dengan diam-diam. Sampai di kalimat ini setidaknya sudah ada dua krisis : hamil dan niat untuk bercerai. Namun segera di dalam konteks krisis itu masuklah penguatan Allah dalam bentuk kehadiran malaikat dalam mimpi yang memberikan penjelasan tentang sebab kehamilan Maria dan makna peristiwa itu bagi seluruh dunia :” Anak laki-laki yang akan dinamai Yesus itu adalah Ia yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka. (2:21)”. Pola teologi Matius lalu muncul kembali : krisis dan penguatan Allah saling jalin menjalin dengan rapat.
Pada bagian perikop tentang orang Majus yang mengikuti bintang hingga tiba di istana Herodes, kita juga melihat kedua hal (krisis dan pelawatan Allah) ini muncul kembali. Berita yang dibawa oleh para Majus mendatangkan kegemparan di seluruh Yerusalem (2:3). Herodes merasa amat terancam terutama setelah mendengar nubuatan kitab Mikha mengenai raja orang Yahudi yang baru lahir di Betlehem yang hanya beberapa kilometer jaraknya dari episentrum kekuasaannya. Dengan dalih untuk juga hendak menyembah raja yang baru lahir itu Herodes menyuruh orang Majus pergi dan menyelidiki dengan seksama tentang nubuatan dan petunjuk bintang. Padahal di balik dalih saleh dan ketundukan itu tersimpan rencana keji tentang pengunaan lembing dan pedang yang membuat Betlehem menjadi merah oleh banjir darah anak-anak badita yang sama sekali tidak tahu apa-apa dan tak berdosa. Krisis muncul terus menerus. Menghebat. Menggila. Di tengah-tengah krisis semacam ini, Yesus kecil diungsikan ke Mesir dan baru pulang ke Israel setelah raja jahat itu mati. Walaupun kita “lega” karena Yesus sang anak kecil itu selamat, semestinyalah kita prihatin bahwa untuk hal itu telah tertumbalkan entah berapa banyak anak-anak kecil lain. Kita semestinya jangan pernah melupakan kepedihan sekian banyak orang tua yang menangis dan meratapi peristiwa jahat ini sedemikian rupa sehingga “tidak mau dihibur” ( 2:18).
Setiap kali kita menghayati peristiwa natal, semestinya kita selalu mengingat anak-anak Betlehem ini. Remember the children of Betlehem. Remember always! Ini barangkali memang kurang enak dibaca, kurang enak pula dikotbahkan, kurang enak didengar dan direfleksikan, membuat jengah perasaan menjelang perayaan hari Natal kudus. Tetapi, tulis Matius, memang demikianlah kisahnya! Tentu saja Matius tidak bermaksud mempersalahkan kehadiran Yesus, juga tidak bermaksud menyalahkan pelawatan Allah. Yang mau dilaporkan oleh Matius adalah munculnya ketegangan dialektis berkaitan dengan pelawatan Allah dan krisis : kehadiran Yesus memang membawa krisis, keterkejutan, kegemparan bahkan maut di dalam dunia yang sarat dengan kekerasan dan krisis, namun juga sebaliknya di dalam krisis yang terjadi dalam kehidupan manusia yang personal dan komunal (termasuk dalam aras politik, bdk Herodes), Allah itu hadir. Ia hadir tidak di dunia yang aman. Ia hadir di dunia yang rentan dengan krisis bahkan sarat kekerasan. Dunia bukan tempat yang netral. Dunia ini sejak dahulu memang sarat krisis, sarat kepedihan, sarat kemungkinan yang bisa saja memakan korban. Namun di dalam dunia yang semacam itu juga ada orang-orang yang berani mengelola krisis, kepedihan, dan kerentanan itu karena meyakini bahwa krisis bukan satu-satunya hal yang datang karena pelawatan Allah. Pelawatan itu juga mendatangkan harapan bahkan keselamatan. Harapan dan keselamatan yang dibawanya bukan barang murahan sebab hal itu hadir sebagai di tengah-tengah jalinan krisis dalam hidup orang di sepanjang zaman. Inilah bingkai teologis yang hendak disaksikan Matius sejak dari awal Injilnya : Tuhan datang, krisis tidak hilang bahkan sering justru meningkat, namun krisis seberapapun besarnya perlu dihadapi dengan keberanian memasukinya karena didasarkan pada iman yang terbuka dan percaya pada akan karya Allah yang menyelenggarakan keselamatan.
Jejalinan pengolahan hidup semacam inilah yang dapat memberikan makna mendalam bagi orang-orang yang mau terlibat di dalamnya. Tapi, agaknya tidak setiap orang sedia. Herodes, misalnya, tidak mendapatkan makna yang mendalam ini, dalam perikop kita, ia bahkan tidak pernah sekalipun diceritakan berjumpa dengan Tuhan. Tidak semua orang dapat bertemu dengan Yesus. Hanya mereka yang bersedia mengolah krisis bersama dengan iman kepada Allah yang menyelenggara itulah yang akan menikmati suatu jumpa. Saliknya Herodes dan orang-orang yang bermental Herodes di sepanjang zaman di setiap konteks kehidupan, yakni mereka yang hatinya dikuasai oleh kekerasan, ambisi busuk, kelicikan akan meleset dari perjumpaan itu. Meleset jauh!
Sebaliknya orang Majus dari Timur adalah salah satu model yang perlu kita renungkan dalam merefleksikan kisah Natal untuk menemukan makna perjumpaan dengan Tuhan. Dalam bahasa Yunani mereka disebut magoi, sebuah istilah yang merujuk ke banyak kemungkinan jenis orang termasuk para peramal, ahli sihir, imam, dan ahli perbintangan. Karena kaitannya dengan bintang dalam kisah ini, maka patut diduga mereka yang datang ke Yerusalem itu adalah kelompok yang disebut terakhir : ahli perbintangan. Diduga mereka datang dari Babilonia atau Persia, darimana kata magus itu berasal. Mereka dapat dipastikan bukan orang Yahudi, sebab jika mereka orang Yahudi mereka pasti akan tidak menanyakan pertanyaan maha sensitif tentang raja yang baru lahir kepada Herodes sang raja maniak kuasa itu.
Dalam buku The Mysteries of the Bible, dikatakan dalam tradisi Kristen yang terkemudian dikemukakan bahwa orang-orang majus itu bernama yakni Gaspar, Melchior, dan Balthasar. Sebetulnya kita tidak pernah dapat memastikan hal nama-nama ini. Kita tidak persis tahu karena fokus Matius bukan pada nama melainkan pada perziarahan mereka: Mereka datang dari jauh, dari Timur, dalam waktu yang tidak pendek, melewati entah berapa malam dan berapa siang, hingga akhirnya menjumpai Yesus sang kanak-kanak, karena mengikuti tuntunan bintang. Bintang apakah yang menuntun mereka? Para ahli astronomi, sebagaimana dikutip dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini mencoba memberikan hipotesa dengan menafsirkan bintang ini dengan tiga cara. Pertama, mungkin bintang itu adalah bintang berekor Halley (tahun 11 sM) atau bintang berekor lain yang muncul pada tahun 4 sM. Arah gerak bintang berekor ini berlawanan dengan bintang-bintang lainnya sehingga oleh para ahli perbintangan pasti dianggap mempunyai arti penting. Kedua, mungkin bintang itu adalah gabungan dari berbagai planet Yupiter, Saturnus, dan Venus yang terjadi pada awal tahun 7 s M. Ketiga, mungkin bintang itu adalah bintang supernova (bintang baru) yang muncul pada waktu-waktu tertentu, dari samar-samar bisa tiba-tiba benderang kemudian berangsur-angsur memudar dan hilang. Mana dari ketiga kemungkinan ini yang paling tepat. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini agaknya agak condong pada yang terakhir, karena tertulis di sana demikian :”Ungkapan en te anatole, pada waktu terbitnya, (di Timur/LAI) mungkin mencerminkan pengalaman dahsyat orang Majus menyaksikan terbitnya bintang baru, yang muncul pertama kalinya. Posisi letak bintang itu di langit serta merta memberikan kepada mereka makna astrologisnya. Adalah pantas bahwa sekian triliun kali cahaya matahari harus dipancarkan untuk menyiarkan kelahiran Juruselamat dunia”. Demikian komentar dari Ensiklopedia. Namun sebetulnya Injil Matius sendiri tidak menjelaskan tentang detail jenis bintang itu. Satu-satunya kata yang dipakai adalah “bintang-Nya”, autou tou astera. Maksudnya sederhana : bintang (aster) milik-Nya. Itu keberadaan bintang yang bagi kita tidak terlalu jelas jenisnya, bagi para Majus jelas sekali maknanya : bintang milik-Nya (Tuhan)!
Agaknya yang hendak dijelaskan oleh Penginjil Matius bukan pertama-tama tentang bintang itu, bukan tentang “bintang apakah itu”, melainkan tentang bagaimana orang Majus yang melihat bintang-Nya itu tergerak untuk menjumpai sang raja yang baru lahir. Bintang itu hanya petunjuk, yang ketika dipahami oleh para ahli astronomi menurut pengetahuan mereka dalam bidang ilmu perbintangan, ternyata membimbing mereka untuk mengalami perjumpaan dengan Yesus sang raja yang baru lahir, yang jauh lebih akbar dari sekedar bintang. Yang lebih penting dari petunjuk adalah apa yang ditunjukkan. Orang-orang majus berhasil memahami dan mengerti tentang makna ini. Petunjuk memang penting, tetapi ia tidak lebih penting dari hal yang hendak ditunjukkan. Hal ini perlu direnungkan lebih mendalam, sebab tidak semua orang dapat memperlakukan petunjuk dengan semestinya. Dalam filsafat Timur, sudah jamak diungkapkan, “Ketika jari menunjuk bulan, orang bijaksana akan melihat bulan tetapi orang bodoh akan melihat jari.” Ha!
Tidakkah kita perlu belajar dari para Majus yang jauh di Timur datang ke Yerusalem itu, entah siapapun nama mereka? Tentu saja bukan untuk menjadi pengamat angkasa luar, bukan untuk menjadi ahli perbintangan. Yang perlu kita pelajari adalah bagaimana menggunakan pengetahuan, memahami tanda-tanda, menafsirkan realitas dengan jernih, peka dan terbuka sedemikian rupa sehingga lewat hal-hal itu kita dapat bertemu dengan Tuhan, bukan sekedar terperangkap oleh petunjuk yang menunjukkan Tuhan. Yang menjadi muara dalam hidup umat manusia dan memberikan dorongan hidup dalam segala aspek hidup semestinya adalah perjumpaan dengan Tuhan. Untuk ini diperlukan banyak hal tetapi sekaligus sedikit hal. Apakah yang banyak namun sedikit itu, apakah yang sedikit namun sekaligus banyak itu? Dari para Majus kita belajar banyak hal yakni pentingnya menggunakan pengetahuan, pemahaman tanda-tanda dan penafsiran realitas. Namun yang mendasari hal-hal ini ternyata adalah sedikit hal, bahkan satu hal saja, yakni hati yang terarah pada Tuhan.
Sama dengan para Majus, si tokoh antagonis dalam narasi yakni raja Herodes juga punya banyak potensi. Ia memiliki banyak ahli tafsir kitab yang membuatnya memiliki pengetahuan tentang “di mana anak itu lahir”, punya tentara, punya kuasa, punya kepandaian menjalankan kuasa, punya jejaring, punya birokrasi, punya kemampuan menumbalkan anak-anak kecil, punya strategi (licik). Namun lihatlah, ia tidak pernah dapat berjumpa dengan kanak-kanak Yesus, Juruselamat umat itu. Sampai matinya, Herodes tak sekalipun jumpa. Mengapa? Karena perjumpaan dengan Tuhan membutuhkan hati yang sungguh terarah pada-Nya. Bukan semata-mata pada petunjuk-Nya –walau ini penting-. Yang paling mendasar adalah keterarahan hati, keterarahan sikap hidup, keterarahan aksi, keterarahan orientasi, keterarahan nilai-nilai kepada Tuhan.
Keterarahan itulah yang akan menjumpakan kita dengan Yesus Kristus. Waktunya bisa jadi singkat seperti para gembala di Efrata sebagaimana kesaksian Injil Lukas, tetapi bisa juga panjang dan lama sagaimana pengalaman para Majus dalam Matius. Panjang atau pendek, bukan ukuran utama. Yang penting keterarahan itu jalan terus. Buru-buru harus diingatkan pentingnya mengingat idea teologi Matius, bahwa adanya keterarahan itu tidak berarti otomatis menghilangkan krisis. Keterarahan itu bahkan sebaliknya harus sadar krisis, harus punya sense of crisis. Krisis justru adalah wahana di mana keterarahan itu mendapatkan kematangan dan kedalamannya karena pelawatan Allah di dunia adalah pelawatan yang menyapa dan sekaligus mematangkan dan mendalamkan kemanusiaan manusia sebagaimana kita lihat dalam peristiwa kelahiran Yesus di awal Injil ini.
Dengan demikian, krisis perlu dianggap sebagai bagian dari “ziarah” menuju Tuhan. Bila hendak bertemu Tuhan, orang mesti siap menghadapi krisis. Krisis tidak perlu didewakan, dipuja-puja, dan diabsolutkan. Krisis sebaiknya ditangani secara sadar sebagai bagian dari ziarah perjumpaan dengan Tuhan itu yang bila disikapi dengan iman yang terbuka, dengan keyakinan yang teguh, dan dengan hati yang terarah akan hadirnya Tuhan dalam kehidupan, malah dapat mematangkan hidup dalam segala lika likunya dan menghantar kita masuk dalam jumpa, karena “lihatlah bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada” (2:9).
Para majus, adalah teladan yang perlu direnungkan dalam peristiwa Natal. Bukan karena mereka tidak punya permasalahan dalam menjumpai Tuhan, melainkan justru karena mereka menjadi simbol dari perjuangan untuk menemukan, menjumpai sang Anak. Sang Anak itulah tujuan utama mereka, bukan bintang-Nya. Namun demikian sang bintang sungguh penting dalam memandu perziarahan panjang itu. Ada baiknya juga kita merenungkan pertanyaan : Apakah sang Anak itu sudah dijumpai oleh sebanyak mungkin para peziarah yang merindukan Tuhan? Sudahkah kita sendiri menemukan dan mengalami jumpa itu? Sudahkah melalui kita orang-orang lain dihantar untuk jumpa?
Selamat menyambut Epifani.
Diolah kembali dari bahan “Sudahkah Kau lihat bintang-Nya” dalam buku Meracik Jamu Kehidupan (oleh Daniel K. Listijabudi, Gloria Graha 2007)