“Dimanakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah kalau engkau mempunyai pengertian!” (Ayub 38:4)
Seorang lelaki pada suatu hari menemukan sebuah telur burung rajawali dan dia meletakkan telur itu bersama dengan telur-telur lain di sarang seekor induk ayam peliharaan yang sedang mengeram. Telur itu menetas bersama telur ayam yang lain, dan anak burung itu tumbuh bersama anak-anak lain, diasuh oleh induk ayam itu.
Selama hidupnya burung rajawali itu bertingkah laku sama seperti ayam dan menganggap dirinya ayam peliharaan. Dia mengais tanah untuk mencari cacing dan serangga. Dia berkotek dan berkokok. Dia akan mengepak-ngepakkan sayapnya dan terbang beberapa meter di udara. Tahun berIalu dan burung rajawali itu menjadi tua.
Suatu hari dia melihat seekor burung yang sangat gagah terbang di angkasa yang tak berawan. Burung itu melayang dengan anggun dan berwibawa dalam hembusan angin yang kuat, dia hanya membentangkan sayapnya dan jarang sekali menggerakkan sayapnya itu. Rajawali tua itu terpesona memandang ke atas. “Siapakah itu?” tanyanya. “Itu adalah burung rajawali, raja dari segala burung,” kata ayam yang ada di dekatnya. “Dia penghuni langit dan kita penghuni bumi, kita adalah ayam”. Demikianlah rajawali itu hidup terus dan mati sebagai seekor ayam, karena begitulah anggapannya tentang dirinya. (Awareness, de Mello, 2000, xiii xiv)
Entah kenapa, kita tidak mudah memahami hidup kita sendiri. Selalu ada pertanyaan yang tertinggal dan tanda tanya yang menyambut. Mungkin karena memang hidup itu misteri. Padahal kita sebelumnya ada di dalam hidup itu. Hal ini sama dengan rajawali yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah rajawali. Hasilnya, ia hanya merasa diri sebagai ayam. Demikianlah hidup mungkin lebih dari yang kita tahu dan sadari, karena kita yang kurang wawasan atau malah justru karena hidup itu, secara faktisitas, memang sarat misteri.
Tidakkah kita perlu berfilsafat?
Kitab Ayub adalah sebuah kitab hikmat. Membaca Ayub berarti belajar hikmat. Belajar hikmat yang dilakukan dengan gembira dan sungguh-sungguh berarti mencintai hikmat. Siapa yang mencintai hikmat sebetulnya adalah seorang filsuf.
Sebab filsuf adalah orang yang philo (mencintai) sophos (kebijakan, hikmat). Dalam pengertian ini kitab Ayub jelas adalah kitab filsafat. Dengan segala hormat, mohon agar filsafat jangan ditanggapi dengan sinis apalagi alergi sebelum benar-benar memahami.
Bukankah bila kita mau jujur setiap orang suka akan hikmat dan kebijakan? Jika demikian halnya, maka sebenarnya secara substansial setiap orang suka ber-philosophia, suka berfilsafat. Bukankah setiap orang ingin menjadi berhikmat dan bijak? Bukankah secara hakiki, orang rindu jadi filsuf? Namun demikian harus segera dikemukakan bahwa berpikir yang dimaksudkan di sini bukanlah sekedarnya saja. Tidak semua pikiran, ide adalah kebijakan, tidak semua olah otak adalah sophia. Barulah bisa dibilang sebagai filsafat bila orang berpikir sedemikian rupa terhadap suatu realita hingga sampai kepada halnya, sari pati, substansi, inti terdalam, the core of things.
Nah, ada masanya di mana hampir setiap orang waras (paling tidak sekali dalam setahun) berfilsafat, berpikir, dan berefleksi dengan hikmatnya atas realita hingga kepada yang benar-benar substansial, hingga ke halnya, yaitu pada saat orang ada di realita tutup dan buka tahun. Pelbagai pikiran dan refleksi muncul. ”Sebenarnya aku sudah buat apa di tahun lalu? Apa makna hidup yang kudapatkan di tahun lalu? Bagaimana mesti memaknai waktu sekarang, tahun yang baru ini? Apa yang telah benar-benar mewarnai hidupku? Apa realita yang masih tersembunyi dalam hari-hari di tahun yang datangi? Bagaimana hidup ini jadinya nanti?”. Pada saat kita merenung, memikirkan, mencari makna, memberi makna, menghayati dengan amat sangat mendalam seperti itulah kita sedang berfilsafat. Kemampuan untuk memikirkan, menghayati, menilai, menimbang, mengkaji, menganalisa, memaknai, menghidupi hidup dengan kesadaran demi kesadaran adalah karunia akbar yang membedakan kita dengan hewan dan tumbuhan. Di pihak lain dan simultan sekaligus di dalam hidup dan kehidupan kita, terbentanglah suatu misteri yang merangkul kita dalam pikiran – perasaan – tubuh – jiwa dan kerohanian baik di masa lalu, kini maupun masa depan.
Dalam rangka inilah kita perlu belajar pada peristiwa Ayub. Sebab peristiwa Ayub menggugah kesadaran kita bahwa kita selalu berdiri di depan suatu misteri, suatu misteri besar yang tak akan dapat dipecahkan oleh akal kita. Lalu kalau bukan dengan akal, dengan apakah modal kita menghadapi misteri itu? Jawaban terhadap pertanyaan itulah yang akan menjadi titik konsentrasi kita dalam perenungan kita bersama.
Misteri Itu Rahmat
Hidup manusia sarat dengan misteri, justru di situlah menariknya. Coba bayangkan bila kita mengetahui semua-semua. Maka vibrasi (getar) kehidupan tak akan dinamis. Orang hanya akan dilanda kepastian yang dingin, dan bukan hidup dalam harapan yang hidup. Coba bayangkan bila kita selalu tahu tentang segala sesuatu, misalnya kapan kita mati dan bagaimana caranya, dengan siapa kita menikah, kapan kita jadi miskin dan kapan pula akan bangkrut, kapan jari kita akan pedih perih kena silet, dan lain-lain. Bila semua hal kita tahu, malah menakutkan bukan? Bukan hanya menakutkan, bisa-bisa kita tak lagi beriman, sebab bukankah iman merupakan ”bukti dari yang tidak kita lihat dan dasar dari semua yang kita harapkan”, tulis surat Ibrani 11?
Ada baiknya kita bersikap positif terhadap ketidaktahuan kita terhadap misteri hidup. Malah bila anda mau maju lebih lagi, adalah karunia Tuhan bahwa kita tidak tahu banyak hal. Dengan ketidaktahuan itu kita berserah, kita percaya, kita beriman, kita ber-Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya ketidaktahuan itu bisa dipahami sebagai rahmat. Ketidaktahuan di sini pastilah berbeda dengan a vidya atau a-widya (a: tidak; vidya/ widya: tahu) dalam agama Budha. Istilah a vidya yang dalam agama Budha dipahami sebagai dosa dan penyebab kesengsaraan manusia, lebih dimaksudkan pada ketidakmengertian batiniah manusia tentang jalan menuju nirwana (savific theory of Budhism).
Sedang ketidaktahuan dimaksudkan sebagai rahmat dalam ulasan ini adalah ketidaktahuan manusia sebagai realita keterbatasannya mencermati diri dan dunianya. Banyak hal yang tidak kita tahu, banyak hal yang menjadi misteri dalam kehidupan manusia. Siapa tahu apa yang tepatnya akan terjadi di Indonesia diwaktu-waktu mendatang, siapa tahu berapakah jumlah rambut yang masih bertahan hitam di tengah proses pengubanan, siapa tahu wajah janin yang masih sedang dikandung ibunya? (Anda tentu bisa dengan mudah memperpanjang daftar ini). Banyak yang kita tidak tahu. Namun justru itulah hidup mendapatkan kemanusiawiannya.
Misteri itu religius
Ayub dan sahabat-sahabatnya (Elifas, Bildad, Sofar) menyelamkan diri mereka ke dalam pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang begitu dalam dan mengagumkan tentang misteri kehidupan. Seolah mereka tahu semua. Pelbagai teori muncul, pendapat diajukan ini dan itu, sanggahan diberikan itu dan ini, pemetaan-pemetaan orang terhadap hidup dimunculkan. Juga demikian dengan pemetaan-pemetaan tentang Tuhan dan keterlibatan Tuhan di dalam kehidupan. Mereka bicara tentang Tuhan seolah mereka ahli Tuhan! Membicarakan tentang Tuhan pastilah masih sehat, namun memasukkan realita Tuhan ke dalam pendapat orang secara aksiomatis pastilah bukan hanya tidak tahu diri, tidak sopan namun juga sekaligus berbahaya.
Secara intuitif, empiris, kognitif kita mestinya bahwa pengetahuan manusia tentang Allah tidak mungkin tidak terbatas. Seharusnya orang menjadi sangat sadar bahwa memang hidup, kehidupan, Allah, bahkan diri sendiri adalah sesuatu yang misteri. ”Sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita (kai homologoumenoos mega estin to tes eusebeias musterion/Yun)”, tulis Paulus (I Timotius 3:16). Sadar bahwa kita, manusia, tidak akan bisa mengerti segala rahasia merupakan sikap batin yang baik. Bukan sebaliknya.
Thomas Aquinas, salah seorang teolog paling brillyan di milenium yang baru lewat, dalam komentarnya yang terkenal atas De Sancata Trinitate, karya Boethius mengatakan ada 3 cara untuk mengenal Tuhan: (1) dalam ciptaan, (2) dalam tindakan Tuhan sepanjang sejarah, (3) dalam bentuk tertinggi pengetahuan tentang Tuhan: mengenal Tuhan tamquam ingnotum (mengenal Tuhan sebagai yang tidak dikenal). Bentuk tertinggi dari pembicaraan mengenai Tuhan adalah mengetahui bahwa orang tidak tahu. Dalam pendahuluan Summa Theologica, yang merupakan ringkasan dari semua teologi yang ditulisnya, Aquinas berkata, ”Mengenai Tuhan, kita tidak dapat mengatakan apakah Dia, tetapi kita bisa mengatakan apa yang bukan Dia. Dengan demikian kita tidak dapat mengatakan bagaimanakah Dia, tetapi mengatakan bagaimanakah yang bukan Dia” (Mello, 210). Aha!!!
Setelah Ayub dan sahabat-sahabatnya berdebat panjang, mendalam, berdakik-dakik, berbelit-belit, menukik masuk ke pelbagai sasaran perbincangan, wahana, diskursus (discourse), keluar lagi lalu masuk kembali dengan lebih tajam di pelbagai topik universal – yang masih akan mengundang decak kagum dan keheranan kita sebagai umat milenium ke-3, makhluk abad 21, di pasal 38 ini. …Tuhan ikut rembugan!
Misteri Itu Kaya!
Tuhan mengajukan pertanyaan kepada Ayub. Ayub ditantang Tuhan, dan terbukti ia tak mampu bicara banyak lagi. Ternyata begitu banyak ragam macam hal yang tidak diketahui oleh Ayub. Ayub tak mampu menjawab pertanyaan Tuhan: ”Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Dimanakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah kalau engkau mempunyai pengertian! Siapakah yang menetapkan ukurannya – diikuti oleh pertanyaan retoris (yang tak memerlukan jawaban) – bukankah engkau mengetahuinya?” (Ayub 38:2-5a).
Setelah ayat ini masih ada 33 lagi pertanyaan yang diajukan Tuhan kepada Ayub di sepanjang pasal 38 dan 39. Dan tak satupun dari pertanyaan-pertanyaan itu yang mampu dijawab Ayub. Hal-hal yang ditanyakan Tuhan sebetulnya menyangkut peristiwa sehari-hari, yang seolah biasa-biasa saja. Misalnya tentang fajar hari, air laut, bintang indah di angkasa, angin, mangsa singa betina, makanan burung gagak, lamanya kambing gunung beranak, sayap burung unta, tenaga kuda, burung elang yang terbang, dll, dll. Namun, ketika ke atas hal-hal ”biasa” itu dipertanyakan sebab musababnya, dipertanyakan asal-usul dan penyebab pergerakan alamiahnya, serta pendorong elan vital-nya, maka serta merta Ayub knock out! Kata Ayub kepada Tuhan, ”Sesungguhnya aku ini terlalu hina, jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututp dengan tangan…” (Ayub 39:38).
Di sini marilah kita munculkan kembali pertanyaan kunci kita, ”Kalau begitu dengan apa misteri hidup ini mesti disikapi sebagaimana mestinya? Bagaimana juga agar burung rajawali yang diceritakan di muka dapat ”bangun” sehingga ia mengerti bahwa ia bukan ”ayam”?” Ada petunjuk untuk itu. Perhatikan kisah Ayub selanjutnya.
Ketika Ayub mereaksi Tuhan dengan mengakui bahwa ia tidak bisa menjawab (39:38), Tuhan ternyata masih meneruskan pertanyaan-Nya. ”Bersiaplah engkau sebagai laki-laki,” demikian suara Tuhan dari dalam badai, ”Aku akan menanyai engkau dan engkau akan memberitahu Aku…” Lalu Tuhan membidikkan pertanyaan yang sifatnya sejenis kepada Ayub. Ada sekitar 14 pertanyaan tentang misteri kekuatan guntur, kuda nil, buaya yang dinarasikan oleh Tuhan dengan demikian dahsyat bahkan berkekuatan kosmis. Tuhan sudah bertanya. Apa jawab Ayub untuk kedua kali? Demikianlah ia berkata, ”Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui …hanya dengan kata orang saja aku mendengar tentang Engkau tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” (Ayub 42:1-6).
Sungguh baik Ayub menyikapi Tuhan dan menyikapi diri sendiri. Dalam dua kesempatan Tuhan membidik, dalam kesempatan yang sejumlah pula ia mengaku diri sebagai yang sebenar-benarnya tidak tahu. Ayub mengakui kemisterian Allah, Ayub menyadari bahwa apa yang ia anggap ia ketahui tentang ini dan itu ternyata memuat misteri yang tak mampu ia kemukakan jawabnya, kecuali dalam penyerahan-Nya akan ketidaktahuannya itu yang simultan dengan pengakuannya akan kemahamisterian Tuhan yang melibatkan diri dalam kehidupan segenap ciptaan. Untuk membantu Ayub mencapai tahap ini, agaknya pertama-tama Tuhan memberikan kesempatan bagi Ayub dan para sahabatnya (sebagai representasi tingkah polah dan sikap hati kita manusia) untuk memberikan jawab, bertanya, menjawab lagi, menganalisa dan sebagainya. Namun setelah tahap itu, Tuhan ingin membuktikan bahwa segala jawaban manusia yang mengatasnamakan diri mengatasi dan menguasai misteri tidaklah valid.
Untuk membantu Ayub ke tahap ini, Tuhan dengan bidikan pertanyaannya membawa Ayub ke tahap ”threshold”, tahap ambang batas. Di tahap ambang batas inilah, Ayub ”melihat”, ”bangun”, ”sadar”!!! Apa yang ia lihat, apa yang ia sadari, dan terhadap apa ia bangun? Jawabnya: Misteri kehidupan, – koma – yang betapapun besar toh tetap ada di bawah pengetahuan Tuhan, Allah semesta alam. Di dalam Tuhan Ayub mendapatkan jawaban bahwa hidup memang misteri, memang banyak hal yang di luar jangkauan manusia, tetapi tidak apa-apa, jalan terus bersama misteri, terus hidup bersama misteri, sebab Tuhan lebih besar dari misteri itu. Sebab dalam kekaburan pandang Ayub karena ke-mega-an misteri Tuhan justru jelas, ketika Ayub berada di wilayah ambang batas. Di wilayah itu Ayub peka melihat dan menerima misteri. Ia tidak lagi mengulas ini dan itu seolah-olah ia ahli tentang misteri. Misteri itu besar, namun Tuhan mengatasinya. Bahkan Tuhan itu sebenarnya juga misteri: Ia tamquam ignotum. Cara tertepat berhadapan dengan Tuhan dan juga dengan misteri adalah menyadari diri bahwa dalam relasi dengan Allah yang mengatasi misteri itu kita ada di tahap “thresh-old”, ambang batas.
Namun itu baru langkah pertama. Ada langkah berikutnya yang merupakan kunci, yaitu bahwa pengertian baru tentang misteri hidup dan tentang Tuhan yang didapatkan Ayub ditahap ambang batas harus dialami sungguh-sungguh. Di tahap ambang, reaksi Ayub bukan reaksi kognitif (misalnya: “Nah aku tahu sekarang), melainkan reaksi mengalami (experiencing)! Katanya, “sekarang mataku sendiri memandang …oleh sebab itu akau mencabut perkataanku dan dengan menyesal duduk dalam debu dan abu.” Ia sudah mengalami, jati dirinya berubah seluruhnya. Ia sudah “bangun” sungguh-sungguh “bangun”. Ke’bangun’an itu membuat ia dengan utuh lembut penuh menyikapi Tuhan dan menyikapkan diri sebagai yang sadar sekaligus menyesal, sekaligus pula menyatakan “penemuan akan bangun” itu dengan “duduk dalam debu dan abu.” Artinya memang penyesalan, namun penyesalan ini adalah bukti pencerahan! Bangun!
Misteri kehidupan Tuhan, dan misteri-Nya akan menggugah orang untuk bangun, sadar penuh bila orang itu mengalami. Mengalami adalah kunci. Dengan mengalami orang menjadi utuh. Seperti orang buta yang tidak tahu warna hijau dan dibantu dengan analogi ”hijau itu lembut seperti sutra” lalu sembuh dari kebutaannya, dan ia sendiri mampu melihat apa itu hijau. Di tahap ini ia mengalami. Di tahap ini konsep tak mencukupi. Hijau tidak lagi ia pahami sebagaimana ia memahami kain sutra, namun hijau ia pahami sebagai hijau! Ia mengalami, ia utuh sadar. Ia bergerak dari anggapan diri sudah tahu ke-pengaku-an diri sebagai tidak tahu (tahap batas), lalu meloncat ke mengalami Tuhan, mengalami misteri. Di tahap ini semua dapat diterima dengan rela dan luas, walau tidak tahu tentang semua-semua. Tidak tahu?
Tidak apa-apa, tidak masalah yang penting adalah mengalami Allah dalam ketidaktahuan kita akan misteri hidup, yang penting adalah menyadari bahwa ketidaktahuan kita akan misteri justru adalah saat batas di mana kita melihat Tuhan yang bekerja di dalam misteri.
Hadapilah misteri masa lalu, kini dan masa depan, terimalah dengan tangan terbuka. Demikian juga dengan tahun 2020 ini, sambut dengan sikap batin yang sadar dan mengalami. Maka apapun yang datang dalam kehidupan, apapun itu – pahit, asam, manis atau tawar – tidak akan pernah merenggut kita dari ketakjuban yang penuh syukur akan Tuhan dan misteri kasih-Nya.
Selamat meninggalkan tahun 2019 dengan tenang, dan memasuki tahun 2020 dengan hati mantap, teduh, dan terbuka. Terbuka pada Tuhan dan jalan-jalanNya.
Salam,
DKL, 31 Desember 2019.