“Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” [Amsal 16:32]
Masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. Mengingat kembali jasa dan pengorbanan para pahlawan pada masa-masa kelahiran Republik Indonesia berarti mengembalikan ingatan masa lampau dan memaknainya sesuai dengan konteks kehidupan saat ini. Ini bukan hal yang mudah bagi generasi masa kini yang tidak mengalami sendiri masa penjajahan dan perang kemerdekaan. Namun kesulitan ini tidak lantas menjadi alasan untuk mengurungkan niat mempelajari keteladanan pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan Indonesia.
Apa yang dapat kita pelajari dari mengingat jasa seorang pahlawan dan apa nilai tambahnya bagi kehidupan kita yang notabene tidak lagi mengalami perang kemerdekaan? Apa kaitannya mengingat para pahlawan dengan identitas diri? Apa yang terjadi saat kita tidak mengingat jasa para pahlawan? Apa nilai spiritual yang kita dapatkan dari usaha mengingat jasa para pahlawan?
Sam Ratulangi merupakan pahlawan nasional Indonesia yang dilahirkan di Tondano, Sulawesi Utara pada tanggal 5 November 1890 dan wafat pada tanggal 30 Juni 1949 di Jakarta. Sam Ratulangi dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, politikus, jurnalis dan guru. Beliau juga dikenal dengan pemikirannya yang berbunyi: “Si tou timou tumou tou”, yang bermakna bahwa manusia baru dapat disebut sebagai manusia jika sudah dapat memanusiakan manusia. Hakikat dari pemikiran ini menitikberatkan pada sifat mengasihi sesama manusia serta menjaga alam sekitarnya sebagai ciptaan Maha Kuasa. Selain memperhatikan kehidupan manusia, pemikiran ini juga menitikberatkan kearifan lokal yang memperhatikan alam sekitar sebagai bagian integral dari ciptaan Tuhan dan tanggung jawab manusia atasnya. Hal ini selaras dengan tekad Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk ‘beradaptasi, berubah, bertumbuh, dan mendukung keutuhan ciptaan’.
Di Minahasa, falsafah ini seringkali diwujudkan dalam cara hidup bergotong royong di setiap aktivitas kehidupan masyarakat setempat, atau yang kerap disebut sebagai ‘mapalus’. Sebagai bentuk sikap dan tindakan maka ‘mapalus’ ini juga menuntut kesadaran pribadi untuk berpartisipasi aktif dalam menghimpun dan mengintegrasikan segenap kekuatan dan kepandaian pribadi sebagai modal kekuatan sosial demi tercapainya tujuan bersama sebagai masyarakat (Sumual, 1995). Tarik ulur antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama merupakan dinamika yang lumrah terjadi saat kita menjadi bagian dalam hidup bersama dalam konteks hidup yang mengedepankan komunalitas daripada individualitas. Pengendalian diri menjadi tuntutan utama dalam konteks ini.
Amsal 16:32 mengatakan bahwa orang yang bisa menguasai dirinya digambarkan sebagai pribadi yang melebihi orang yang mampu merebut kota. Dalam terjemahan lain, kata ‘menguasai’ bisa juga diterjemahkan sebagai ‘memerintah diri sendiri’. Pembandingan ini seakan ingin menyampaikan bahwa adalah lebih baik seseorang yang dapat mempraktikkan penguasaan diri daripada mereka yang dengan tenaganya dapat menjungkir-balikkan seluruh isi kota. Penguasaan diri digambarkan sebagai kemenangan pribadi atas perang melawan kekuatan penentang yang lebih kuat karena asalnya dari dalam diri kita sendiri. Perang antara rohani dan badani. Perang ini pun juga tak terduga sifatnya dan musuh tidak mudah untuk begitu saja dijinakkan. Hal ini seakan-akan mengingatkan kita akan apa yang dituliskan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging–karena keduanya bertentangan–sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.” (Galatia 5:17). Bagi setiap orang Kristen tantangan untuk berjuang melakukan apa yang baik dan benar, apa yang menyenangkan hati Tuhan menjadi panggilan seumur hidup umat beriman yang layak untuk diperjuangkan, berapapun harganya.
Perjuangan yang dilakukan oleh pahlawan bisa menjadi satu inspirasi untuk mendasarkan penghayatan kehidupan dan keberadaan kita sebagai manusia yang memanusiakan manusia lainnya dengan tanpa melupakan tanggung jawab kita terhadap alam di sekitar kita. Dalam kesempatan peringatan Hari Pahlawan kali ini, sebagai bagian integral dari sivitas akademika UKDW, kita diundang untuk kembali menelaah lebih dalam tanggung jawab kemanusiaan kita kepada sesama manusia dan alam semesta. Menjadi manusia baru yang dapat memanusiakan sesama manusia, berani dan siap untuk beradaptasi, berubah, bertumbuh, serta mendukung keutuhan ciptaan. Inilah yang bisa menjadi sumbangsih pelayanan kita kepada dunia tempat kita tinggal dan wujud bakti kita pada Tuhan yang telah menempatkan kita di tempat ini. Semoga peringatan Hari Pahlawan tahun 2019 ini membawa warna baru dalam memperingati jasa pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Semoga Tuhan memberkati usaha dan perjuangan kita sekalian. Selamat Hari Pahlawan dan Salam Sorbum! (PKK/Adham K. Satria).