Menjelang memasuki masa Prapaskah, ada beberapa gereja yang membuat kalender 40 Hari Niat Baik. Kalender ini berisikan satu tindakan kebaikan sederhana yang dihimbau untuk dilakukan oleh umat pada hari yang ditentukan selama 40 hari. Jadi ada 40 tindakan kebaikan sederhana yang dilakukan umat secara berbeda-beda selama masa Prapaskah. Tindakan kebaikan sederhana tersebut berkaitan dengan kebaikan untuk diri sendiri, sesama, dan seluruh ciptaan seperti membereskan rumah, membaca Alkitab, mentraktir seseorang dan mengajak berbincang, tidak menggunakan plastik sekali pakai, atau beribadah ke gereja. Bahkan ada juga gereja yang memasukan tindakan menggunakan hak pilih di Pemilu 2019 sebagai tindakan kebaikan sederhananya di masa Prapaskah (karena kebetulan tanggal 17 April masih masuk dalam masa Prapaskah). Sebenarnya apa itu masa Prapaskah? Apakah tepat jika kita mengisinya dengan tindakan kebaikan sederhana seperti yang dihimbau beberapa gereja kepada umatnya dalam kalender 40 Hari Niat Baik?

Masa Prapaskah: Bertobat dan Mengarahkan Diri pada Allah

Masa Prapaskah diperingati oleh gereja sebagai ruang umat untuk melakukan pertobatan. Masa Prapaskah dimulai dengan ibadah Rabu Abu. Dalam ibadah tersebut umat diingatkan bahwa dirinya adalah debu dan abu yang rapuh dan fana. Di dalam kerapuhan dan kefanaannya, manusia patut bersyukur karena Allah menerima dan mengasihinya dengan utuh. Cinta kasih dari Allah adalah anugerah yang sudah sepatutnya disyukuri melalui tindakan nyata dalam kehidupan manusia. 40 hari di masa Prapaskah adalah ruang untuk berlatih mengarahkan diri kepada Allah.

Ada dua hal yang dibiasakan oleh gereja Katolik kepada umatnya dalam mengisi masa Prapaskah yaitu berpuasa dan berpantang. Berpuasa berarti menahan diri untuk tidak makan dan minum selama waktu tertentu setiap hari kecuali hari Minggu. Sedangkan berpantang adalah sebuah usaha untuk berhenti mengkonsumsi makanan/minuman tertentu atau tidak melakukan kegiatan tertentu selama masa Prapaskah. Biasanya makanan, minuman ataupun kegiatan yang dihindari selama berpantang adalah sesuatu yang sangat disukai atau yang kepadanya umat bergantung, seperti pantang merokok selama masa Prapaskah.

Berpuasa dan berpantang adalah salah satu upaya untuk berlatih mengarahkan diri kepada Allah. Dengan berpuasa atau berpantang, umat diajak untuk bertobat dan melepaskan diri dari nafsu kedagingannya. Tujuannya untuk membuat umat bertobat dan lebih mengarahkan hati kepada Tuhan. Namun tak mudah untuk melakukan hal ini. Ada banyak orang yang kesulitan melakukan puasa dan pantang di masa Prapaskah dikarenakan beberapa faktor seperti kesehatan, pola hidup, ataupun pekerjaan yang tidak memungkinkan seseorang untuk melakukannya. Lalu, apakah orang-orang yang tidak mampu berpuasa dan berpantang di masa Prapaskah adalah orang-orang yang tidak dapat bertobat? Dan apakah orang-orang yang berhasil berpuasa dan berpantang selama 40 hari adalah orang-orang yang pasti telah bertobat dan mengarahkan hatinya pada Allah? Bukankah banyak juga orang yang menjadi sombong dan semakin mengarahkan dirinya kepada dirinya sendiri karena merasa punya kerohanian yang lebih baik dari orang lain?

Mungkinkah Manusia Bertobat?

Salah satu cerita pertobatan tokoh Alkitab yang terkenal adalah cerita pertobatan Zakheus. Yesus melihat dan mengapresiasi usaha Zakheus, sang kepala pemungut cukai berbadan pendek, yang naik ke atas pohon untuk dapat melihat Yesus. Apresiasi dari Yesus membuat Zakheus bersukacita. Yesus berkata padanya bahwa Ia akan menumpang di rumah Zakheus (Lukas. 19:5). Tindakan Yesus merupakan tindakan yang bertolak belakang dengan harapan masyarakat di masa itu. Pekerjaan Zakheus sebagai pemungut cukai membuatnya dicap sebagai orang berdosa. Ia mengambil pajak yang berlebihan dari orang lain. Ia merugikan dan menindas orang lain. Namun Yesus melihat bahwa Zakheus punya keinginan untuk mengenal Yesus. Dan Yesus memusatkan perhatiannya pada hal baik yang dilakukan oleh Zakheus meskipun orang lain tidak dapat memahami apa yang sedang Yesus lakukan.

Apresiasi yang Yesus berikan pada Zakheus dapat dikaitkan dengan suatu pendekatan dalam mengembangkan organisasi yaitu pendekatan Appreciative Inquiry (AI). AI merupakan sebuah pendekatan untuk mengembangkan suatu kondisi atau organisasi dengan cara memusatkan perhatian pada potensi/kekuatan/hal positif yang ada pada kondisi atau organisasi tersebut. AI dapat dijelaskan dengan kata kerja to appreciate (menghargai) dan to inquire (menyelidiki, meneliti). AI merupakan usaha untuk menemukan dan menghargai hal-hal positif yang ada pada kelompok atau organisasi. Selain pendekatan ini, ada pendekatan yang lebih dikenal yaitu pendekatan problem solving. Problem solving memusatkan perhatian pada masalah yang muncul pada suatu kondisi atau organisasi. Masalah tersebut kemudian dicari akarnya dan diselesaikan dengan mencari solusi dari permasalahan tersebut.

Appreciative Inquiry dipakai sebagai nama atas metode yang diterapkan oleh Cooperrider dan Srivastva, dua orang yang bergerak di bidang Organizational Behavior, saat melaporkan hasil penelitian mereka tentang mengembangkan kinerja di suatu klinik yang mereka teliti. Awalnya mereka melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan problem solving, namun ternyata prosesnya menjadi melelahkan karena ada banyak kekurangan yang ditemukan dan tidak mudah untuk menemukan solusinya. Satu selesai tetapi masih banyak masalah-masalah lain dan kekurangan yang lain.  Kemudian terinspirasi dari pemikiran A. Schweizer mengenai hormat terhadap kehidupan, maka mereka mengganti fokus penelitian mereka. Mereka memfokuskan pada apa saja yang menghidupkan, yang memberdayakan dan mendinamisasikan sistem, serta yang meningkatkan dan mengoptimalkan kinerja di klinik tempat mereka meneliti. Mereka memfokuskan pertanyaan dan galian mereka pada akar keberhasilan, bukan lagi akar masalah ataupun kekurangan. Dengan metode demikian, muncullah hasil yang berbeda. Relasi dan hasil kerja yang berkembang sangatlah baik. Metode ini pun banyak dipakai untuk mengembangkan organisasi-organisasi serta komunitas di berbagai bidang.

Apa yang Yesus lakukan pada Zakheus adalah sebentuk pendekatan AI. Ia berfokus pada potensi kebaikan yang ditunjukan oleh Zakheus. Yesus bahkan berani datang ke rumahnya meski banyak orang menghina dan menyangsikan apa yang Yesus lakukan. Namun kita bisa melihat bahwa Zakheus bertobat setelah menerima perlakuan Yesus. Lukas 19:8 menceritakan bahwa Zakheus bertekad untuk membagikan setengah dari hartanya kepada orang miskin. Selanjutnya, ia juga akan mengembalikan empat kali lipat jika ada sesuatu yang ia peras dari seseorang. Zakheus sang kepala pemungut cukai yang identik dengan sosok yang mengutamakan kepentingan golongannya/dirinya sendiri, kini berani melepaskan hartanya. Ia bahkan jadi memikirkan orang-orang miskin. Ia mau berbagi dengan mereka. Apa yang menggerakkannya? Cinta kasih dan penerimaan dari Yesus atas dirinyalah yang mengubahnya. Cinta kasih dan penerimaan dari Yesus yang ia lihat sebagai apresiasi atas kesediaannya mencari Yesus mengubah kehidupannya. Ia bertobat, ia mengarahkan hidupnya pada Allah, ia percaya bahwa hidupnya akan baik-baik saja meski hartanya berkurang atau mungkin hilang.

40 Hari Niat Baik: Aksi Pertobatan dengan Mengapresiasi Kebaikan.

Ada banyak orang yang terus menerus merasa kecil dan berdosa karena tidak dapat melakukan tindakan besar atau hebat semacam puasa penuh selama 40 hari. Bagaimana bisa bertobat jika menahan lapar saja tidak kuat? Bagaimana mengarahkan diri kepada Tuhan jika tidak bisa menjadi rohani seperti orang lain? Apakah mungkin jika dilahirkan di keluarga yang hidup dengan kekerasan, selalu menekan dan menghina orang lain, dengan melakukan puasa maka benar-benar menjadi sosok yang bertobat?

Ketika Yesus datang ke rumah Zakheus, Zakheus pasti memiliki perasaan kuatir dan takut. Apakah kedatangan Yesus ini benar-benar menghapuskan dosa? Tetapi ia tetap menerima Yesus. Ia mau mengenal Yesus dan memberanikan dirinya untuk melakukan satu kebaikan: menerima kehadiran Yesus di rumahnya. Tindakan itu memang tidak serta merta menghapuskan cerita kehidupannya sebagai kepala pemungut cukai, tetapi Yesus menghargai dan menerimanya. Yesus bahkan berkata: Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Lukas 19:10). Yesus meyakinkan Zakheus meskipun banyak orang yang melihat dan mencibir kasih karunia Yesus bagi Zakheus. Yesus menunjukkan bahwa Zakheus diselamatkan dan diterima oleh Allah. Ia yang berdosa diselamatkan ketika mau melakukan kebaikan walaupun kebaikan itu kecil dan tak berarti bagi orang lain.

Ada banyak orang yang patah semangat untuk bertobat karena melihat pertobatan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat diraih. Akan sangat sulit ketika muncul pemikiran bahwa ada banyak hal buruk dalam diriku dan aku lelah memperbaiki semuanya. Jika kita berfokus pada hal-hal buruk, pada ketidakmampuan untuk berpuasa, pada kisah masa lalu yang menyakiti banyak orang, pada kesalahan-kesalahan yang selalu berulang padahal sudah kita cegah, maka kita akan lelah dan berhenti bertobat. Kita akan merasa tidak mampu mengarahkan diri pada Allah. Pada akhirnya, kita akan berhenti berelasi dengan Allah. Hal terburuknya: kita akan berhenti merasakan kebaikan-kebaikan Allah dalam kehidupan kita. Sungguh menyedihkan jika itu yang terjadi pada kita.

Pertobatan adalah suatu kombinasi antara niat dan usaha yang tidak pernah putus. Niat dan usaha untuk apa? Untuk melakukan kebaikan. Sekecil apapun itu. Setiap hari kita harus bertobat. Tapi bukankah itu melelahkan? Tergantung. Tergantung cara pandang kita terhadap diri kita sendiri. Jika cara pandang kita seperti orang banyak melihat Zakheus, tentu kita tidak akan mampu bertobat. Akan ada banyak hal yang kita ubah, kita hapus, kita hilangkan dari diri kita. Dan itu tidak dapat kita lakukan. Maka pertobatan hanyalah utopia bagi kita. Tetapi jika kita melihat diri kita seperti Yesus melihat Zakheus, pasti beda ceritanya. Yesus memberikan apresiasi yang besar pada kebaikan kecil yang dilakukan Zakheus. Yesus melakukan pendekatan AI untuk mendorong Zakheus pada pertobatan. Dan hasilnya begitu memukau.

Ketika niat dan usaha untuk bertobat kita wujudkan dengan terus menghargai dan mengapresiasi kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan, kita tidak akan lelah bertobat. Kita akan terus bergerak dan bergerak. Kita tahu bahwa kebaikan yang kita lakukan adalah sebuah upaya kita untuk mengarahkan diri pada Allah. Sekarang mungkin baru kebaikan kecil, tapi besok dan selanjutnya kita semakin mendorong diri kita pada kebaikan yang tidak hanya berdampak pada diri sendiri tetapi kepada orang banyak, seperti Zakheus yang merasa diberkati Yesus kemudian memberkati orang lain.

Kalender 40 Hari Niat Baik yang dibuat oleh beberapa gereja di masa Prapaskah tahun ini merupakan upaya yang sangat baik untuk membangun paradigma yang berbeda tentang bertobat. Bertobat merupakan panggilan bagi kita setiap umat Tuhan yang lemah dan terbatas. Namun jika kita terus berfokus pada kelemahan, keterbatasan dan kesalahan, maka kita tidak akan mampu melihat hal baik yang bisa kita lakukan sebagai upaya pertobatan. Menjadwalkan tindakan kebaikan sederhana di tiap hari adalah suatu cara bagi kita untuk melihat bahwa ada banyak kebaikan yang sebenarnya mampu kita lakukan meskipun kita orang yang berdosa. Kita bisa melakukan kebaikan bagi diri sendiri, orang-orang terdekat, ataupun tumbuhan dan hewan di sekitar kita. Kita bisa melakukan kebaikan bagi negara kita meski kita hanya rakyat biasa. Kebaikan yang kita lakukan adalah upaya kita untuk mengarahkan diri kepada Allah. Tidak apa jika kebaikan itu belum berdampak besar, jangan cepat-cepat mengeluh dan membandingkan diri dengan orang lain. Percayalah, kebaikanmu itu berkenan di hadapan Allah. Ia mengapresiasimu! Lakukanlah kebaikan lagi dan lagi, bukan hanya 40 hari namun setiap hari! (Ester Novaria/ Pusat Kerohanian Kampus)

Pin It on Pinterest

Share This