Bedah karya ilmiah dalam wacana populer ini merupakan rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Laboratorium Sejarah, Kajian Teknologi dan Desain Fakultas Arsitektur dan Desain (FAD) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Kegiatan diskusi kali ini merupakan edisi kedua yang bertepatan dengan kuliah perdana Magister Arsitektur, sehingga kegiatan ini diselenggarakan secara bersama-sama. Kegiatan yang dilaksanakan di Ruang Seminar Pdt. Dr. Harun Hadiwijono ini dibuka oleh Dekan Fakultas Arsitektur dan Desain dan Kaprodi Magister Arsitektur UKDW ini dihadiri oleh peserta dari berbagai perguruan tinggi baik dari Yogyakarta maupun diluar Yogyakarta, seperti UII, UAJY, UGM, UTY, ITS, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan lain sebagainya.
Kegiatan ini sebenarnya dilakukan karena ingin mencoba membuat sebuah tradisi yang baru. Tujuannya adalah untuk mengembangkan dan menyebarluaskan disertasi/ tesis kepada khalayak yang lebih luas sehingga kegiatan ini tidak diberi nama bedah disertasi atau bedah tesis yang terkesan ‘berat’, melainkan diberi judul Bedah Karya Ilmiah dalam Wacana Populer. Selain itu, diharapkan akan ada banyak mahasiswa arsitektur yang akan meminati teks-teks lokal seperti ini. Seperti diungkapkan Linda Octavia, S.T., M.T.: “Teks-teks lokal ini sudah sering kita bicarakan, namun kita perlu membangkitkan minat itu lagi supaya lebih banyak yang meminati kajian-kajian lokal”.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ir. Priyo Pratikno, M.T. dibuka dengan penyataan bahwa: Ini masalah yang baru dan ada yang agak aneh. Kita berbicara arsitektur namun tidak panggah. Padahal, selama ini yang kita bayangkan kalau membuat arsitektur adalah panggah sehingga bisa dinikmati turun-temurun sampai anak cucu. Dengan demikian, kepanggahan itu luar biasa tetapi bukan berarti ketidak-panggahan itu tidak luar biasa. Ini bukan dua hal yang berlawanan atau berkebalikan, akan tetapi ini adalah dua hal yang berbeda.
Hal ini disampaikan sebagai pengantar untuk masuk ke pembahasan dari buah pemikiran Dr. Revianto Budi Santosa yang diberi judul Arsitektur yang Fana dan Tak Purna; Hikmah dari Trusmi. Judul tersebut diadaptasi dari judul disertasi Dr. Revianto Budi Santosa, yaitu Ketidak-panggahan dalam Arsitektur; Kajian tentang Arsitektur Kramat Buyut Trusmi. Yang fana atau tak purna bisa disebut tak panggah (non-permanent), yang selalu mengalami perubahan dan pembaruan terus-menerus, seperti kasus yang terjadi di Kramat Buyut Trusmi, Cirebon.
Dr. Revianto Budi Santosa mengkritisi bahwa di dalam teori arsitektur Barat (Eropa dan Amerika), arsitektur merupakan sebuah produk akhir (final) dan juga permanen yang pada akhirnya harus dipertahankan agar kondisinya ‘tetap’ seperti pada saat produk tersebut selesai dibangun. Namun, ada faktor-faktor alamiah ataupun yang disebabkan oleh ulah manusia membuat arsitektur itu berubah. Hal ini dibuktikan oleh banyak praktik berarsitektur di Nusantara yang tidak hanya menerima perubahan, namun memang perubahan itu dirayakan sehingga arsitektur diciptakan dengan konsep yang tidak abadi, siap untuk berubah dan dapat terus-menerus diperbaiki. Disinilah terjadi perbedaan yang mendasar antara prinsip kepanggahan dan ketidak-panggahan yang menjadi fokus utama dari disertasi ini.
Melalui kasus yang terjadi di Kramat Buyut Trusmi ini, kemudian tradisi arsitektur yang menekankan pada ketidak-panggahan tersebut diungkap satu-persatu dengan sangat mendetail, mulai tentang pengelolaan waktu dan material yang dipakai per bagian bangunan yang harus diganti. Ada tradisi yang diselenggarakan setiap tahun untuk mengganti atap alang-alang (tradisi Memayu), tradisi yang diselenggarakan setiap empat tahun untuk mengganti atap sirap kayu jati (tradisi Buka Sirap) juga pembangunan lainnya yang dilakukan secara berkala. “Kramat Buyut Trusmi memiliki tradisi pembangunan berulang dengan material tak-panggah dalam skala besar, melibatkan masyarakat dalam jumlah yang banyak serta berakar pada budaya setempat dalam jangka waktu yang lama”, pungkasnya. Selain itu, hal ini juga merupakan upaya untuk dapat mewariskan aspek-aspek keteknisan kepada generasi berikutnya.
Selanjutnya, pembahasan dilakukan oleh Ir. Eko Agus Prawoto, M.Arch. – arsitek dan dosen senior dari Program Studi Arsitektur UKDW. Dalam pembahasannya, beliau menyatakan bahwa kesementaraan merupakan suatu nilai kearifan lokal, bukan sesuatu yang lebih ‘rendah’ tetapi sebagai suatu pilihan sikap, berkait dan berakar pada nilai budaya. Menjaga keselarasan hidup dalam alam secara harmonis adalah sikap yang sangat diperlukan dan inspiratif dalam menjawab persoalan krisis bumi secara global. “Nilai lokal sebagai inspirasi global”, ungkapnya.
Membangun dengan bahan-bahan lokal dan organik merupakan suatu kekayaan pengetahuan bagi masa depan, membangun secara arif dan berkelanjutan merupakan sikap yang maju progresif jikalau kita sungguh peduli pada kelestarian planet mungil ini sekaligus punya kebanggaan atas budaya yang cerdas ini. Berkait dengan hal itu, pengetahuan dan keterampilan lokal harus dipelajari lagi, bukan sekedar ditiru bentuk luarnya namun pada kajian atas prinsip universal dan ketrampilan ketukangan yang sudah teruji dalam rentang waktu yang panjang.
Pembahas kedua, Prof. Josef Prijotomo – guru besar arsitektur yang juga selaku promotor dari Dr. Revianto Budi Santosa ini mengawali pembahasannya dengan sekelumit kisah dari Dr. Revianto Budi Santosa tentang proses doktoral yang telah dilaluinya. Selanjutnya, beliau memaparkan tentang kata panggah dan tidak panggah yang menjadi pusat perhatian dari disertasi ini yang kemudian dicari kesetarannya dengan bahasa asing (Inggris). Kemudian, karena ini merupakan sebuah disertasi maka harus ada kejelasan metode yang digunakan. Metode yang digunakan bukanlah murni fenomenologi dan hermeneutik, tetapi adalah metode nrithil yang berarti rinci. Berawal dari uraian kecil-kecil tentang Trusmi yang dibahas secara rinci dan saling dikait-kaitkan, maka jadilah teori ketidak-panggahan ini. Selanjutnya, beliau menyanding-bandingkan dengan arsitektur Barat, bahwa arsitektur Barat itu bisa dikatakan sebagai bergelimang dengan arsitektur yang ‘mati’, sementara Trusmi menjadi kasus ketidak-panggahan dalam arti arsitektur yang ‘hidup’.
Diskusi pada edisi #2 ini berlangsung dengan sangat seru dengan banyaknya peserta yang sangat antusias memberikan pertanyaan maupun pendapatnya. Pada akhirnya, diskusi yang berlangsung hampir selama 4 jam ini ditutup dengan highlight (bukan kesimpulan) bahwa pertama, kita bisa membuat teori baru yang bisa disandingkan dengan Vitruvius. Kedua, permanen dan tidak itu bukan urusan arsitektur. Jadi, kita semakin yakin bahwa ketidak-mampuan bahan itu bisa disiasati dengan banyak hal. Ini merupakan satu pelajaran arsitektur yang bisa diajarkan. Oleh karena itu, marilah kita kembangkan arsitektur yang lebih bermanfaat untuk kita, generasi kita dan generasi masa depan. [LO]